Cerpen: Sepenggal Berita Tentang Kita

103

Oleh: Rezy Marazasi*

“DEADLINE”, satu kata terakhir yang meluncur dari mulut kang Ari masih terdengar begitu jelas, menegangkan urat sarafku. Kulihat jam waker yang teronggok di atas lemari pelastikku yang tidak terlampau tinggi tepat di sebelah tempat tidurku, tinggal lima jam lagi sebelum kuserahkan rubrik profil yang seharusnya sudah aku selesaikan dua hari yang lalu. Kupandangi document kosong yang sedari tadi terpampang dari balik layar komputerku. Jemariku enggan tuk berpijak diatas keyboard. Apa yang harus ku ketik? Tak seorangpun dapat kujadikan nara sumber untuk kujadikan berita.

Kumatikan suara musik dari komputerku yang sedari tadi memekakan telingaku. Kututup progam Microsoft Word yang masih terlihat lengang untuk kemudian kusambar jaket tipisku yang terkapar di atas tempat tidurku. Kutinggalkan kamarku tanpa kubenahi terlebih dahulu.

Langit awal bulan Februari menggantung mendung di atas kota Bandung. Kulangkahkan kakiku, menyusuri jalanan komplek perumahan kosanku. Beberapa tetes kecil air hujan mulai mendarat mulus di atas rambut pendekku yang sudah tiga hari tidak kushampo. Tepat pukul enam sore, senja kerap merona samar-samar di balik gumpalan awan hitam yang bergerak tertiup angin. Menusukkan hawa dingin yang kerap menelusup ke dalam pori-pori kulitku. Tiba-tiba saja langkah gontai sandal jepit hitamku terhenti, mataku tertumbuk pada sosok mungil yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri. Mata bulat hitamnya sibuk memperhatikan rumah gedong berdinding kayu dengan pagar yang mengungkungnya setinggi hampir dua meter. Takut-takut aku memperhatikan sosoknya, entah mengapa wajahnya begitu sendu hari ini, tak sejudes biasanya.

Tak cukup waktuku tuk memikirkan apa yang menimpanya, tetes hujan yang memberondongku memaksaku tuk berlari menuju sebuah warung keci tak jauh dari tempatku berpijak. Kududukkan tubuhku yang sedikit basah di atas kursi bambu reyot yang teronggok di teras warung. Ku kernyitkan dahiku, ia masih berdiri di sana. Hatiku kerap bertanya, apa yang dilakukannya di depan rumahnya sendiri?

“Kasihan ya neng?”, suara ibu warung membuatku terkesiap dari lamunanku. Kutolehkan wajahku, tatapanku tertumbuk pada sosok wanita setengah baya, mengenakan daster bermotif batik yang tengah berdiri di sisi pintu warung, beberapa helai rambutnya sudah terlihat memutih.

“Memangnya, ada apa bu?”,

“Tadi pagi dia di usir.”, jawab ibu warung singkat. Aku terperangah tak percaya.

“Lho, memangnya kenapa?”,

“Neng, gak tau ya? Kemarin Pak Sugeng meninggal. Selama ini dia boleh tinggal di rumah itu karena pak Sugeng yang merajuk pada istrinya. Sekarang pak Sugeng sudah meninggal jadi isteri pak Sugeng bisa leluasa mengusirnya.”, terang ibu warung dengan gamblangnya. Wajahku sendu seketika, rasa kasihanku saat ini kurasa melebihi rasa benciku padanya selama ini. Kutatap kembali wajahnya yang terlihat jauh lebih mendung ketimbang langit sore ini.

Sepuluh menit sudah aku meratapi ekspresinya. Entah mengapa rasa kesalku menyusup diantara rasa ibaku. Tak dapat kuterima ia memperlihatkan wajah sendunya dihadapanku. Kubangkit dari dudukku. Kulangkahkan kakiku beberapa hasta, membiarkan tubuhku terguyur hujan yang semakin deras. Kubungkukan tubuhku, kuambil sebuah kerikil kecil, kutarik nafasku dalam-dalam, dan dengan sekali gerakan tangan kulempar kerikil dari genggamanku dengan sekuat tenaga kearahnya berdiri. Bletak!!! Kerikil mungil dari genggamanku mendarat dengan keras tepat dikepalanya. Ia menoleh kearahku, matanya memerah ketika menangkap sosokku berdiri tak jauh darinya, ia menggeram sekali, perlihatkan rentetan gigi runcing panjangnya yang tersusun rapi. Air liurnya menetes dari sela-sela deretan giginya. Ia beranjak dari tempatnya, perlahan mendekatiku yang kini melangkah mundur. Persiapkan kakiku untuk berlari sekencang-kencangnya. Hanya butuh waktu lima detik sebelum akhirnya ia menggonggong dan memburuku yang tengah berlari, mengayuh kakiku, sekencang-kencangnya.

Hari ini entah untuk keberapa kali dia memburuku namun entah mengapa hanya hari ini kurasakan kesenangan tersendiri ketika seekor anjing pudel mengejarku. Mungkin akan kuhabiskan sore ini bersamanya, ditengah guyuran hujan dan tawaku yang tak kunjung henti, mungkin tak akan kuselesaikan berita untuk hari ini dan harus menghadapi gonggongan kang Ari esok hari. Tapi mungkin dapat kubuat sepenggal berita hari ini tentang seorang reporter yang dikejar anjng pudel ditengah guyuran hujan awal bulan Februari.

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UPI angkatan 2006)

Comments

comments