Periksa Jurusan Bermasalah!

119

Sejak Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)  membuka jalur ujian masuk (UM) pada 2007, maka potensi pemasukan universitas semakin menggiurkan. Lihat saja harga “karcis” yang mesti dibayar mahasiswa baru saat masuk, rata-rata mereka membayarnya di atas Rp 10 juta, bahkan ada yang Rp 18 juta. Tahun 2009 ada yang hampir Rp 20 juta. Jauh dari bayaran mahasiswa reguler yang membayar rata-rata empat juta rupiah. Ditambah lagi dengan biaya praktikum yang semakin menggila sejak tahun ajaran 2007-2008. Hal ini semakin memperkaya lembaga dari sumber mahasiswa melalui jalur UM. Uang itu 80% masuk pundi-pundi jurusan atau program studi (Prodi) masing-masing di universitas.

Jurusan atau prodi diberikan otonomi oleh universitas untuk mengelola duit tersebut sesuai dengan perencanaan program yang dimiliki jurusan atau prodi, dan tentunya mesti sesuai dengan Rencana Strategis (Renstra) UPI yang telah ditetapkan. Duit yang sebagian besar masuk kas jurusan atau prodi itu, mesti dianggarkan dengan pintar dan cerdas supaya tidak mengendap di kas universitas, dan duit yang sudah menjadi haknya itu bisa cair semuanya.  

Namun, sistem tersebut kurang mendapatkan pengawasan dari lembaga di atasnya, jurusan atau prodi bisa saja membuat rancangan anggaran fiktif ataupun juga membuat program fiktif. Jika tidak ada pengawasan yang ketat, duit itu habis oleh orang atau pihak yang tidak mau bertanggung jawab.

Yang terjadi sekarang ini di tubuh Jurusan Pendidikan Seni Rupa (JPSR) harus menjadi bahan evaluasi fakultas serta universitas untuk memperbaiki kinerja jurusan. Di jurusan tersebut ternyata pembuatan rancangan anggaran dibuat oleh orang yang berkuasa, yaitu ketua jurusannya. Sekretaris jurusan dan para dosen tidak dilibatkan dalam perancangan anggaran, yang disebut dengan Rencana Kegiatan dan Anggaran Tahunan (RKAT) itu.

Bayangkan saja, saat dosen akan membuat program dalam mata kuliahnya, dia tidak memiliki akses. Saat seorang dosen telah merancang kebutuhan dana untuk biaya praktikum dalam mata kuliahnya, dia hanya menerimanya saja tanpa ketua jurusan mengajak untuk memperbincangkannya. Ketua jurusan merancangnya sendiri, sedangkan yang mengetahui kebutuhan dari mata kuliah itu adalah dosen, walaupun memang tidak akan disetujui seratus persen, tapi setidaknya ada suara dari dosen dalam perancangan RKAT.

Bukan hanya dalam perancangan anggaran saja, ketua jurusan itu sering mengambil tindakan sendiri. Salah satunya mengangkat Pemegang Uang Muka Kerja (PUMK) oleh ketua jurusan sendiri. Tidak ada rapat atau perundingan dengan dosen yang lain, bahkan sekretaris jurusan pun merasa heran dengan tindakan sang ketua.

Bisa saja dia membuat program fiktif atau melakukan mark-up (pengelembungan dana) ataupun kecurangan lainnya dari rancangan itu karena tidak ada yang mengetahui, bahkan fakultas dan universtias mungkin tidak akan tahu. Buktinya waktu itu belum timbul kecurigaan dari fakultas dan universitas. Padahal universitas memiliki perangkat audit, yaitu Satuan Audit Internal (SAI). SAI pun mengakui, tidak sampai menemukan program-program fiktif. Memang selama ini belum ada bukti mengenai hal itu, tapi kecurigaan dengan pembuatan RKAT yang dilakukan sendirian itu dapat terbaca.

Kondisi seperti ini sudah terjadi  selama hampir enam tahun. Tidak adakah satu dosen pun yang memberikan masukan? Memang dosen adalah bawahan, tapi bukankah ketua jurusan dipilih oleh dosen. Baiklah, kalau memang tidak ada dosen yang berani melakukannya, tapi level di atasnya seperti pihak fakultas atau universitas seolah tidak mau tahu dengan kondisi seperti ini.

Pihak universtas mulai mengambil tindakan setelah para dosen dan mahasiswa mulai memperbincangkan permasalahan itu. Lalu dimana fungsi SAI dan Satuan Penjamin Mutu (SPM) UPI sebagai kepanjangan tangan rektorat? Dan juga kenapa fakultas terkesan lamban dalam memahami permasalahan di JPSR, apakah tidak ada fungsi controling?

Beberapa waktu lalu, tepatnya 22 Oktober 2009, Nanang Ganda Prawira langsung membuat surat pernyataan untuk mengundurkan diri dari jabatan Ketua JPSR. Di sini terkesan tidak ada kesalahan apa-apa, bahkan alasan yang diterima oleh mahasiswa JPSR dari pihak jurusan terkait, seolah-olah alasan pengunduran diri itu menyangkut urusan pribadi.

Lihat saja, alasannya hanya karena Nanang akan melanjutkan sekolahnya dan akan menunaikan ibadah haji. Sungguh ironis. Jika seperti ini, urusan hanya sampai kepada pergantian ketua JPSR saja. Ini sudah nyata-nyata, Nanang mengundurkan diri setelah turunnya disposisi dari rektor. Disposisi itu adalah bentuk penonaktifan Nanang dari ketua JPSR. Disposisi itu turun setelah rektor meminta laporan mengenai permasalahan di JPSR kepada beberapa dosen di JPSR.

Sikap mahasiswa JPSR menginginkan pihak universitas untuk mengusut permasalahan dana dan juga meminta pertanggunjawaban ketua JPSR sebelumnya, merupakan sikap yang positif. Hal ini demi tegaknya transparansi dan menciptakan good governance di lingkungan perguruan tinggi yang sudah berbentuk Badan Hukum Miliki Negara (BHMN) itu.

Jika tidak ada tindakan selanjutnya terhadap ketua JPSR itu, maka menciptakan pemerintahan yang bersih tidak akan terjadi dan akan berdampak buruk kepada pengganti Nanang selanjutnya, bahkan akan diikuti oleh ketua jurusan atau prodi yang lain.

Mengusut sampai memprosesnya secara hukum mungkin tidak akan dilakukan UPI karena menyangkut citra universitas. Tapi setidaknya rektor bisa memerintahkan SAI untuk mengauditnya kembali. Bahkan lebih bagus lagi jika dilakukan audit investigatif, jika memang pihak universitas menyimpan kecurigaan terhadap ketua jurusan sebelumnya. Bila benar-benar terbukti bersalah, rektor bisa memberikan sanksi atau denda. Hal ini untuk menciptakan efek jera dan jurusan yang lain pun akan berhati-hati melihat contoh seperti ini.

Tahun 2009 ini, SAI katanya akan mengaudit langsung ke level terbawah seperti jurusan atau prodi. Tidak seperti tahun sebelumnya, yang hanya menyentuh sampai level fakultas saja. Sedangkan laporan keuangan yang di bawahnya diserahkan kepada pihak fakultas, sehingga fakultaslah yang harus mempertanggungjawabkan semua laporan keuangan saat SAI mengauditnya.

Tentunya civitas akademika UPI akan berharap, semua lembaga yang ada di UPI bisa melakukan transparansi dan ada kontrol yang ketat dari lembaga di atasnya, demi ketepatgunaan dalam penggunaan anggaran karena anggaran itu adalah duit publik yang nominalnya sangat besar.

Diambil dari editorial Isola Pos edisi 47

Comments

comments