Membuat UU Pengganti UU BHP

70

Tanggal 31 Maret 2010 merupakan momen yang penting dalam pendidikan di Negara kita. Pada tanggal itu Mahkamah Konstitusi (MK) mengoreksi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003 dan mencabut kembali Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) nomor 9 tahun 2009 yang menuai kontroversi. Keputusan tersebut dikeluarkan MK atas permohonan dalam pengujian perkara yang diajukan berbagai elemen masyarakat peduli pendidikan. Dengan keberanian MK untuk mengeluarkan keputusan tersebut, sejak hari itu UU BHP tidak berlaku.

Sejak awal kemunculan Undang-Undang BHP ini merupakan rancangan undang-undang sarat akan kontoversi. Kelemahan UU Sisdiknas pasal 53 yang sebelumnya banyak diprotes karena tidak sesuai dengan amanat UUD 1945.

Kalau dilihat lebih jauh, UU BHP ini juga mempunyai banyak kelemahan. Pertama, terjadi penyeragaman  lembaga pendidikan, penyeragaman tersebut jelas menyulitkan lembaga-lembaga pendidikan yang beragam di Negara kita, seperti misalnya yayasan atau perkumpulan.

Kedua, yaitu pelepasan tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan. Hal itu terlihat dalam pernyataan bahwa sekolah atau badan hukum pendidikan wajib menyediakan beasiswa untuk peserta didik dari keluarga yang kurang mampu. Jadi, beban itu dilepaskan begitu saja kepada pihak penyelenggara pendidikan.

Ketiga, BHP dalam undang-undang itu menjadi nama diri atau menjadi nama lembaga yang melekat pada satuan pendidikan. Itulah yang ditafsirkan MK. Seharusnya badan hukum hanya sekadar fungsi. Sebagai contoh praktek Badan Hukum Milik Negara yang menjadi status bagi beberapa perguruan tinggi negeri.

Dengan dihapuskannya UU BHP, bukan berarti bahwa persoalan pendidikan dalam ranah hukum di negara ini selesai. Seluruh elemen masyarakat terutama aktivis mahasiswa, tokoh masyarakat, dan juga kaum intelektual lainnya harus membuat rancangan regulasi undang-undang yang berpihak pada rakyat. Rancangan itu kemudian diusulkan kepada pemerintah untuk dibahas dan disyahkan oleh lembaga legislatif.

Jangan trelalu berharap pada pemerintah untuk membuat rancangannya. Seperti yang sudah-sudah, tanpa peran serta masyarakat, kebijakan pendidikan sama sekali tidak berpihak kepada rakyat.

Setidaknya ada dua cara yang harus dipikirkan. Pertama, menuntut secara hukum kata peran masyarakat dalam UU sisdiknas, sehingga pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah. Kedua, kalaupun itu tidak bisa dilakukan, maka kita harus mengusulkan secara konkret aturan tentang peran masyarakat terhadap pendidikan misalnya membuat draft rancangan undang-undang yang bisa mengisi kekosongan setelah UU BHP dibatalkan.

Hal itu sangatlah penting, mengingat sebuah lembaga pendidikan harus memiliki payung hukum setingkat undang-undang supaya pemerintah benar-benar menjamin terselenggaranya pendidikan yang terjangkau bagi rakyat.

Comments

comments