Cerpen : Hikayat KUBU
Di Bukit Duabelas, pemukiman yang terdiri beberapa kediaman masyarakat matahari memencarkan cahayanya. Bubangan yang berdiri, dengan sederhana. Ditinggali seorang Temenggung. Bertiang, dinding yang terbuat dari kayu. Atapnya dari daunan. Terlihat beberapa sampaeon tersebar. Yakni kediaman masyarakat sekitar, sebuah bangunan yang lebih sederhana lagi. Lantainnya saja hanya setengah meter dari tanah. Terbuat dari kayu kecil, bulat. Sebuah kehidupan telah diteteskan oleh Tuhan disana.
Orang-orang Rimba, selalu bebarengan dalam membuka ladang. Membuka wajah kehidupannya.
“Ini harto bersamo.” Lirih hati mereka. Semangat mereka tanamkan pada hati saat turun ke ladang-ladang.
Begitu menemukan kayu-kayu yang tak terpakai lagi, biasanya dibakar. Setelah selesai membuka lahan, maka setiap keluarga berhak mendapatkan tanah. Hingga akhirnya berladang sendiri. Menanam ubi dan pohon-pohon yang kayu akan berharga bila dijual.
Begitu musim berburu telah datang, orang-orang harus melangun. Meski memang kadang tak sendirian saat melangun ke hutan. Di perburuan mendirikan sudung –pondok mereka menetap sementara. Pondok belasan tanah, hanya memakai atap saja dari reranting dan daunan hutan. Karena cepat dibuatnya, maka apa adanya. Untuk perlindungan di waktu hari menjadi malam. Pantangan harus pulang tanpa buruan. Kadang dalam pemburuan juga menemukan pohon yang dianggap berharga. Pohon kedondong, yang bersarang lebah, juga pohon durian yang mereka temukan menjadi milik pribadi, dengan memberi tanda ciri di batang pohon dan sekitarnya. Menandakan bahwa itu sudah ada yang punya.
Bila sudah tidak tahan buang air kecil dan air besar. Santai saja. Daratan sepenuhnya, tempatnya. Anjuran, bagusnya di tempat bercocok tanam. Lumayan buat menyuburkan, itu merupakan pupuk. Karena air di sungai tak boleh tercemar. Itu untuk minum dan segala keperluan yang penting bagi hidup.
***
Dan pada waktu yang bersamaan, seorang yang tinggal di hunian. Ditugasnya keamanan. Menjaga rumah. Beberapa lelaki bertanggung jawab. Istri-istri dan anak-anak kelompok Biring harus mereka lindungi disaat sebagain besar lelaki melangun.
Untuk menjaga istri-istri yang sudah dewasa tidak terlalu sulit. Berbeda dengan anak-anak. Biasanya mereka pergi bermain ke sungai dengan penjilat burit kecil. Atau ke tempat yang menurut mereka cocok untuk bercanda tawa dan beriang gembira.
Maka dari itu, seorang Temenggung tua biasanya selalu mendongengkan kisah-kisah sederhana bagi anak-anak.
“Di siko, negeri tetumbuhan yang mulia. Dari puncak bukit kering sampai rawa basah. Akar sampai daun pohon tertinggi.” Seorang Temenggung, memulai dongengannya.
“Dahulu” Beranjak melanjutkan bercerita, kakinya bersila. Dan anak-anak mulai mengerumuninya. Wajah anak mungil dan lugu.
“Terjadi persaingan hasil hutan antara hulu dan hilir sungai Batanghari. Pangeran Pringgabaya yang berasal dari Jambi, bertikai dengan saudaranya dan pindah ke Muara Tebo yang diberi nama Mangunjaya yang letaknya sangat menguntungkan. Sebuah kerajaan yang baru tersebut mempunyai hubungan baik dengan Pagaruyung, dan orang rimba menukar hasil hutan melalui Jenang, seorang perantara, serta membayar upeti kepada raja sebagai jajah, dan menerima serah yang terdiri dari kain dan pisau seperti parang, tembilang atau beliung dari kerajaan.”
Anak-anak khidmat mendengar. Dan angin menyeruput perlahan-lahan dalam gerombolan. Bila senja begini, saat yang pas untuk menghidupkan ruh masa lalu. Kenangan moyang dan jejak kehidupan yang bisa pudar terlupakan.
Tiba-tiba menyelusup, seekor kura-kura peliharaan diantara kerumunan anak-anak.
“Itu kura-kuramu,” Tuduh anak, pada sahabatnya yang melongo, memperhatikan pendongeng.
“Lepas dari kandangnya,” Tambahnya lagi.
“Bukan,” Mengelak, karena ulahnya itu pendongeng berhenti. Dan sasaran mata mengarah pada anak yang tak mengakui peliharaannya. Dongeng sejenak berhenti.
“Ini bukan kura-kuraku.”
“Itu kura-kuramu, hayo mengaku!”
“Bukan!” Beberapa anak menjadi gaduh, saling tuduh. Mengelak hingga suasana menjadi riuh.
Dongeng tak bisa berlanjut, anak-anak mulai resah.
“Ini gara-gara kura-kuramu,” Kata anak yang lain, sambil beranjak meninggalkan tempat pengdongeng.
Anak-anak bisa saja pergi, kemudian berniat main jauh-jauh. Dan sia-sia sudah usaha sang Temenggung.
“Oh iya, ya. Kura-kura,” Sang Temenggung kemudian mencoba menarik perhatiannya.
“Jadi ingat cerita tentang kura-kura,” Sambunganya lagi. Beberapa anak ada yang kembali tersadar. Mencoba kembali khidmat mendengar.
***
Anak manusia laki-laki memandang sungai Batanghari yang membujur dari barat ke timur. Dengan berpuluh-puluh anak sungai. Tempat minum berbagai satwa liar. Peristirahatan bagi rusa, ular-ular, burung-burung, babi, dan kura-kura kadang bermain disana. Air jernih itu tak pernah kering walau kemarau melanda.
“Mandi di sungai?”
“Siapa takut,” Jawabnya sendiri dalam hati. Anak itu membuka bajunya. Telanjang. Hingga kulitnya disepuh matahari. Dan lelap waktu menjadi riang, bangunkan sunyi.
Lalu Anak itu menyadari, dirinya sendiri. Meski sungai menemaninya. Ikan-ikan menggodanya. Namun tidak enak bermain sendirian.
Begitu bangkit, dan berdiri tegak di batu besar hitam. Mengaburkan pandangan. Menangkap suara-suara. Anak itu mendengar gelak tawa. Teman-teman seusianya sedang bermain juga rupanya di sungai sebelah hulu.
Sambil menggiring angin, sekencang-kencangnya anak itu berlari menuju suara berasal. Bergerak cepat mencari tempat untuk melompat terjun ke sungai.
“Tunggu aku!”
Cipratan air, Anak terjun bebas. Anak-anak lain tambah senang. Makin banyak. Makin ramai. Mari sama-sama bermain. Lupakan sekadar waktu yang tidak permisi berlalu. Masa kecil, masa indah untuk berlupa. Sesudah dewasa nanti. Sibuk mikirin diri, ngurusin ini itu.
Mereka memainkan perannya masing-masing. Ada yang senang adu balapan berenang, menangkap ikan-ikan, membuat bendungan kecil, saling lempar pasir. Setelah merasa permainan mulai membosankan mereka mencoba mencari permainan baru yang kemudian membuat mereka senang dan tertawa.
Setelah bosan, memainkan berbagai kesenangan anak-anak di sungai. Membuat bola-bola kecil dari lumpur dan pasir, saling lempar. Menangkap ikan, melompat-lompat, saling tangkap. Anak manusia laki-laki itu pulang lagi ke ibunya.
Hingga akhirnya, kabar itu sampai juga pada seorang raja. Di Pagaruyung kabar itu menghipnotis, sang raja tertarik. Bahwa, di sungai yang mengeram sepi dan dari setiap derasnya selalu membawa khusuk, telah lahir seorang anak manusia laki-laki dari rahim seekor kura-kura.
Kabar itu melambung dan meluas menjadi raja diomongan kalangan istana. Saban hari selalu saja memperbincangkannya. Tiada henti. Dan begitu mewah untuk diceritakan.
“Anak kura-kura itu tampan,” Ungkap seorang prajurit.
“Karena anak sayalah teman bermain di sungai, bersama anak manusia laki-laki itu, anakku sering berenang sama dia,” Tambahnya lagi.
“Dia mempunyai mata yang indah. Mata seorang titisan anugerah Tuhan,” Sambut prajurit lain.
“Dia lucu, mempunyai hidung mancung.”
“Dia manis, kulitnya putih.”
“Dia anak manusia laki-laki yang sehat.”
“Dia anak manusia laki-laki yang pintar.”
Begitu menggodanya kabar-kabar yang sering didengar sang raja – Daulat Yang dipertuan. Karena rutinitas kerajaan selalu dibubuhi dengan omongan tentang anak kura-kura itu. Setiap pekerjaan di kerajaan akan terasa ringan, karena waktu tak terasa berlalu. Begitu mengasyikkan berbincang-bincang menguak misteri anak kura-kura itu. Penjaga gerbang, tak pernah merasa bosan lagi. Pengatur strategi perang kadang bila penat, membicarakan taktik perang, sekadar mengangkat kabar itu lebih terasa santai dalam kerjaannya. Ekonom kerajaan, kebersihan kerajaan dan keamanan semuanya sama saja, merasakan bahwa perbincangan itu begitu membuat pikiran jadi segar.
“Ada apa dengan warga istana, hingga tiap hari mulut mereka tidak berhenti dari omongan anak kura-kura. Tidak lepas dari membicarakannya?”
“Kabar itu mereka dapat dari anak-anaknya yang sering bermain di sungai,” Jawab para pengawal raja.
“Apakah benar ada?”
“Entah. Paduka.”
“Kalau begitu aku ingin kepastiannya. Utus beberapa prajurit untuk menyuruh Anak manusia laki-laki itu menghadap padaku!”
“Baik Paduka.”
***
Begitu memasuki istana, Anak laki-laki manusia itu sudah mendengar bahwa di kerajaan namanya sering dielu-elukan, diperbincangkan. Kadang juga didebatkan bila ada keterangan-keterangan yang bertentangan. Saling beradu kuat dengan pembuktian yang mengacu pada cerita anak-anaknya, yang tentunya sering bermain di sungai bersama Anak manusia laki-laki.
Begitu menghadap, Sang Paduka sudah tidak sabar lagi ingin mengetahui kebenaran kabar tentang dirinya.
“Wahai Anak manusia laki-laki, apa yang dikatakan para prajuritku itu benar?”
“Ya, aku memang lahir dari ibu, seekor kura-kura,” Jawabnya pasti.
Betapa terkagum-kagumnya Raja Pagaruyung itu. Seketika matanya terbelanga, dan hening beberapa saat. Tapi sang raja masih penasaran. Bagaimana kura-kura bisa melahirkan dia.
“Lalu bagaimana kau bisa jadi bakal manusia sedang ibumu hanya kura?” Tanya Paduka, serius. Tertarik sekali.
“Di waktu yang lalu seorang dari Pagaruyung duduk di batu di pinggir sungai setelah dia sholat. Dia masukkan sirih ke dalam mulut, kemudian dia tak sengaja meludahkannya, selanjutnya batu yang dia duduki bergerak dia sadar bahwa sebenarnya dia duduk di atas kura-kura besar yang ada di sungai. Dengan kekuasaan Allah, kura-kura tersebut hamil dan melahirkan anak manusia laki-laki, sebab kura-kura menelan sirih yang dikeluarkan oleh seseorang dari Pagaruyung.” Anak manusia laki-laki dengan lancarnya bercerita hikayatnya.
“Begitulah yang sering diceritakan ibu padaku, sebelum ibu terbawa banjir,” Tambahnya menutup ceritanya.
“Orang itu berarti bapakmu, siapa orang itu?” Sang Paduka mengajukan pertanyaannya kembali.
Anak manusia laki-laki itu tak bergeming, tak menjawab barang sepatah kata. Tetapi perlahan-lahan tangannya bangkit, dan telunjuknya mengarah pada batang hidung Paduka.
Paduka keheranan, sungguh kaget. Matanya hampir keluar. Ia berusaha mengingat-ingat kembali berbagai peristiwa. Semua yang hadir di ruangan istana tak kalah bengongnya. Ada yang menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada yang mengangakan mulutnya. Ada yang tergagap, hening. Sunyi. Percaya dan tak percaya. Setengah hati. Kurang yakin. Membuat riuh. Gemuruh bercampur aduk.
Lalu Paduka menghela nafas, menariknya dalam-dalam. Kemudian mengeluarkannya perlahan. Dan seperti mencoba menginga-ingat kembali masa lampaunya.
“Peristiwa itu persis sekali dengan masa lalu. Dan saya membenarkannya,” Dia menatap Anak manusia laki-laki itu. Dengan mata yang berbinar, harapan dan kerinduan yang baru terpupuk. Perasaannya bergejolak. Segalanya tumpah-ruah.
“Umumkan pada rakyatku, anak yang ibunya tenggelam waktu banjir itu adalah benar-benar anakku.”
Beberapa tahun kemudian, Raja Daulat Yang Dipertuan dari Pagaruyung, menjelaskan kepada kepala daerah, bahwa anaknya akan menjadi raja negeri dari kota Tujuh, Sembilan Kota, Pitajin Muara Sebo, Sembilan Luruh sampai daerah terpencil Jambi.
Mereka semua menerima keputusan sang raja. Karena pantas untuk bergembira, mereka menyambutnya dengan suka cita. Masyarakat pun mulai mencoba menerimanya sebagai calon seorang raja. Para rakyat merayakannya sebagai kegembiraannya bersama.
Namun kabar yang memberi tahu bahwa calon raja, Anak manusia laki-laki itu adalah keturunan kura-kura telah merubah suasana.
Betapa kecewanya rakyat, begitu mendengar calon rajanya yang selalu dielu-elukan adalah seorang keturunan kura-kura. Maka jawabannya yakni pemberontakan dan berbagai protes. Semuanya menghujani kerajaan, semua berubah berbalik arah. Banyak rakyat yang tak menerima Anak manusia laki-laki itu.
Naluri seorang raja yang menuntut harus bijak, harus bisa berlaku adil dan menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya kini harus bertempur dengan naluri seorang ayah. Yang semestinya menerima apa adanya anaknya yang sudah lama tak dijumpainya itu.
Kemudian sebagain rakyat yang tak menerima atas keputusan sang raja itu, mengambil sikap. Mereka menyingkir pergi menuju hutan. Memutuskan untuk tinggal dan menetap selamanya. Mereka membangun Kubu.
***
“Lantas, bagaimana nasib Anak manusia laki-laki itu?” Tanya anak yang tertuduh mempunyai kura-kura kepada pendongeng itu. Anak-anak lain masih diam terpukau. Berharap cerita itu masih panjang karena asyik untuk didengar. Pendongeng itu tak menjawab. Dia malah tersenyum ramah.
“Dan bagaimana nasib rakyat yang tinggal di hutan itu?” Kini yang bertanya giliran anak yang menuduh. Wajah anak-anak lugu menatap tepat pada ekspresi pendongeng. Dari sejak awal wajah pendongeng itu begitu meyakinkan. Kadang bila memerankan Paduka, suara dan wajahnya berubah berkharisma. Bila memerankan Anak manusia laki-laki, berubah suara menjadi kecil dan wajahnya lucu. Maka anak-anak enggan melepas pandangan pada wajahnya.
“Mereka yang pergi dan tinggal di hutan, telah lama hidup dan membangun negerinya sendiri. Mempunyai keluarga, dan mempunyai anak yang lucu-lucu,” Jawab pendongeng.
“Selucu kami?”
“Ya, selucu kalian,” Pendongeng itu menunjuk batang hidung anak-anak yang sedang memperhatikannya dari tadi.
Dari kejauhan terdengar suara penjilat burit menggonggong, petanda yang berburu sudah pulang. Mereka membawa berbagai makanan. Daging binatang buruan. Buah-buahan. Ubi-ubian. Anak-anak menghambur menyambut kedatangan bapak dan kakaknya. Mereka menghampiri keluarganya masing-masing.
Tetapi hanya ada satu anak yang tetap diam dan tak beranjak dari tempat duduknya. Wajahnya gelisah seperti memikirkan sesuatu. Tangannya yang memegang kandang kura-kura tak bisa diam. Lalu dia merapatkan diri, duduk malu-malu di dekat pendongeng. Anak itu berbisik ke telinga pendongeng.
“Kalau mencium kura-kura bisa membuat hamil tidak?” Wajahnya yang polos bertanya.
“Soalnya saya sering menciumi kura-kura peliharanku ini.” Sambil memperlihatkan kura-kuranya, berada di kandang yang sedang ia pegang erat-erat.***
Biodata Penulis
Syahreza Faisal lahir di Cianjur, sedang belajar di Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Menulis baik puisi, esai, opini dan cerpen, dan dimuat surat kabar daerah maupun nasional juga majalah (Majalah Sastra Horison, Jurnal Nasional, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Kompas-Jabar, Padang Ekspres, Lampung Post, Pikiran Rakyat, Radar Banten, Tribun Jabar, Suara Karya, Pontianak Post, Surabaya Post, Sinar Harapan, Batam Pos, Harian Fajar, Majalah Sabili, Jurnal Sastra Lazuardi, dll) Kini bergiat di ASAS UPI dan Rumah Akasia, Komunitas Rumah Tumbuh. Mengikuti Pertemuan Penyair Nusantara Ke-3 (Kuala Lumpur International Poetry Gathering 2009) pada bulan Nopember.
Puisinya tergabung di antologi Sastra Senja, Selalu Ada Rindu (2006, DKJ) Cerpennya tergabung antologi Pemenang Lomba Cerpen Indonesia Rendezvous Di Tepi Serayu (Grafindo, 2009). Puisinya Menuju Abadi dan Zarah –Bahasa Sunda, dibukukan dalam antologi puisi berbahasa daerah, pemenang dan puisi pilihan berbahasa Sunda, Cirebon, Betawi-Melayu dan Indonesia oleh Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Jawa Barat (2008), puisi dan cerpennya juga tergabung dalam antologi puisi, prosa dan drama Karnaval Kupu-Kupu (2008), Puisi Gunung Padang, Selatan Kota (2005) menjadi Juara I dalam Lomba menulis Puisi dalam rangka Hari Puisi Se-dunia yang diadakan oleh DEPDIKNAS Nasional kerja sama dengan UNESCO, PBB di tahun 2005. Masih di tahun 2005 keluar sebagai pemenang pertama Lomba Cerpen Semusim se-Jawa Barat yang diadakan oleh FLP Bandung.