Kebijakan Cuti Paksa Perlu Dievaluasi
Bumi Siliwangi, isolapos.com-
“Kebijakan universitas yang mencutipaksakan mahasiswa, perlu segera dievaluasi, karena kebijakan ini tidak pro pada mahasiswa tidak mampu,” ujar Ketua Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI, Restu Nur Wahyudin. Ungkapan itu terlontar pada saat acara diskusi yang digelar bersama mahasiswa, di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa UPI, Selasa (5/2).
Dalam diskusi yang mengangkat tajuk mengkritisi kondisi objektif universitas tersebut, pendiskusi yang hadir mempertanyakan mengenai komitmen universitas untuk memperjuangkan nasib para mahasiswa. Persoalan ini dipicu atas kasus salah satu mahasiswa yang dicutipaksakan hanya karena belum mampu membayar uang registrasi tepat waktu.
Para pendiskusi sepakat, persoalan utama bukan terletak pada keterlambatan pembayaran, akan tetapi karena sistem universitas yang tidak memihak pada nasib mahasiswa yang masih menginginkan untuk berkuliah. “Kuliah di UPI ini untuk yang punya uang, yang punya semangat belajar itu tidak boleh kuliah,” kata Ilham Miftahuddin, salah satu peserta diskusi.
Pada diskusi tersebut, hadir salah satu mahasiswa yang terpaksa cuti kuliah akibat terlambat membayar uang registrasi. Ia adalah Handa Subagja, Mahasiswa Pendidikan Teknik Elektro angkatan 2012. Saat itu Handa menjelaskan bahwa dirinya bukan tidak mampu membayar uang kuliah, akan tetapi belum dapat membayar pada waktu yang ditentukan UPI.
Handa menceritakan, orang tuanya baru bisa memiliki uang pada tanggal 31 Januari 2013. Namun, seperti diketahui universitas menetapkan akhir pembayaran pada tanggal 18 Januari 2013. Handa dan orang tuanya tidak lantas pasrah, akhirnya mereka mengusahakan agar segera mendapatkan uang untuk membayar kuliah.
Namun, sayangnya orang tua Handa baru mendapatkan uang tiga hari setelah jatuh tempo pembayaran registrasi. Tak ada toleransi, akhirnya pihak UPI mencutipaksakan Handa karena terlambat membayar beberapa hari setelah jatuh tempo. “Hanya keterlambatan tiga hari empat hari dibayar enam bulan, dimana keadilan,” ungkap Handa sambil terisak kecewa. Ia menyayangkan sikap pihak universitas yang tidak mentolelir hal tersebut.
Selain itu, Handa mengatakan, bahwa dirinya tidak mendapatkan sosialisasi mengenai bantuan beasiswa maupun dana bantuan baik dari pihak fakultas maupun jurusan. “Sosialisasi penangguhan pihak fakultas dan jurusan kurang, malah ngga ada.” terang Handa.
Cerita naas handa, mengundang reaksi dari para pendiskusi. Salah satunya dari Zulfa , peserta diskusi dari anggota UKSK. Ia mengindikasi adanya praktik-praktik kapital dalam kasus ini. Menurutnya, jika universitas memiliki niat baik untuk memberi bantuan, sosialisasi tidak terkesan disembunyikan.
Ia mencontohkan dana Bantuan Mahasiswa Tidak Mampu (BMTM). Menurut Zulfa, sosialiasi bantuan ini terkesan disembunyikan. “Alasannya katanya, jika semua orang tau, semua pada mau pinjam ke BMTM, akhirnya UPI tidak mensosialisasikan (BMTM) secara luas,” ujar Zulfa.
Dalam menyikapi lebih lanjut masalah yang menimpa Handa, peserta diskusi UKSK merumuskan tiga tuntutannya terhadap universitas; 1) Berikan sistem pelayanan akademik yang pro mahasiswa, 2) Tolak cuti paksa bagi mahasiswa, 3) Berikan jaminan bagi mahasiswa yang tidak mampu kuliah. Selain itu, hasil diskusi juga mempertanyakan komitmen Rektor UPI yang pernah mengatakan bahwa UPI tidak akan mengeluarkan mahasiswanya karena persoalan finansial.
Pada akhir diskusi ini, peserta diskusi yang dimotori oleh UKSK bersepakat akan mendesak universitas untuk memperjuangkan nasib mahasiswa. Rencananya mereka akan menggelar audiensi bersama rektorat untuk menindaklanjuti kasus cuti paksa ini. [Nur Anisa]