Cerita Luka “Bumi Siliwangi”

272
Ilustrasi

Inilah realita banyak yang tidak sekolah. Di tengah-tengah kota apalagi di pelosok desa. Berjuta anak bangsa tak mampu terus sekolah karena biayanya saja sudah semakin menggila. (Aku Mau Sekolah Gratis – Marjinal)

Penggalan lirik itu mewakili teriakan rakyat atas kondisi “negeri” di bawah pemerintahan Prabu di Bumi Siliwangi. Teriakan yang berasal dari seluruh penjuru negeri. Teriakan yang mencoba menembus telinga para pemimpin yang bersemayam di gedung putih yang kokoh. Teriakan yang akhirnya hanya menjadi kidung pengantar tidur.

Sang Prabu, yang orang Spanyol biasa menyebutnya sebagai Excelentísimo e Ilustrísimo Señor Professor Doctor Don, tentu tak tuli. Don bukan sebutan mafia, tapi gelar hormat bagi pangeran intelek, pasti mendengar, meski banyak yang meragukan karena tetap bergeming.

Kian hari, teriakan itu terdengar samar dan lirih saja dibalik gedung Belanda itu. Ternyata, tak hanya gedung yang Belanda wariskan untuk Sang Prabu di Bumi Siliwangi, tapi juga sistem pendidikan yang tak bisa dijangkau rakyat jelata. Pendidikan hanya bisa dinikmati oleh kelompok penguasa dan mereka yang berduit saja.

Cerita-cerita luka, upaya anak negeri untuk mengenyam pendidikan terserak di antara gedung-gedung megah. Di antara mobil-mobil pejabat yang mewah. Di tengah upaya-upaya membunuh bangsa sendiri dengan kedok otonomi. Di Bumi Siliwangi!

Sang prabu di setiap pidatonya selalu mengumbar janji, tak akan ada mahasiswa yang dikeluarkan karena masalah ekonomi. Janji mulia dan sudah pasti dicatat oleh para dewa di surga. Namun entah apa yang akan para dewa lakukan saat mendapati sang prabu menyodorkan kertas pengunduran diri seorang mahasiswa yang telah dia tanda tangani kepada mahasiswa dari kalangan jelata. Wallahualam!

Tak hanya sang Prabu, pejabat yang membantunya pun sering bertutur serupa. Namun, betapa luka hati para jelata saat mendengar doanya pada suatu hari di balik meja gedung putih itu. Saat sekelompok mahasiswa yang mewakili jeritan rakyat, memprotes kenaikan biaya masuk pada tahun 2011 yang melambung dan biaya SPP  yang naik dua kali lipat dari tahun sebelumya, sang pembantu memanjatkan doa: “Ya, semoga yang masuk ke UPI bukan dari golongan ekonomi menengah ke bawah.” Ah … Sungguh negeri yang ngeri!

Meski demikian, angin segar mereka embuskan ketika 2011 lalu.engumpulkan dana bantuan dari masyarakat yang mampu membayar lebih saat registrasi. Judulnya untuk membantu masyarakat miskin. Alih-alih memberikan dana bantuan dengan mudah, cepat dan transparan pada mereka yang berhak menerima, mereka justru dibenturkan dengan birokrasi yang berbelit dan terkesan dipingpong.

Dengan dalih banyak orang yang membutuhkan bantuan, dana yang berasal dari masyarakat itu pun tak jarang hanya dipinjamkan. Diputar lagi agar yang lain juga bisa dibantu, demikian alasan mereka. Padahal Rp 3,49 Milyar dana yang terkumpul pada 2011 pun hanya terpakai Rp 770 juta. Pada 2012 dana bantuan dari masyarakat saat registrasi pun mengucur lagi. Lalu, apa yang ada dibalik kata membantu yang mereka dengungkan itu? Entah lah…

Cerita luka juga mengalun dari penerima Biaya Pendidikan Miskin Berprestasi (Bidik Misi). Cerita keterlambatan pencairan dana sampai memaksa mereka menceracau ingin menjual ginjal di jejaring sosial. Pemotongan bantuan jika diakumulasikan tiga kali dari SPP yang dibayarkan mereka yang dari jalur reguler. Sampai kehilangan status sebagai penerima Bidik Misi pun menambah panjang daftar luka masyarakat miskin di Bumi Siliwangi.

Luka demi luka tergores di hati masyarakat miskin negeri ini. Pendidikan menjadi barang mewah yang haram untuk sekedar diimpikan jika tak ingin luka. Instansi pendidikan yang mestinya menjadi kawah candradimuka bagi anak-anak bangsa untuk menjadi ksatria, kini menjadi pabrik yang hanya memproduksi kebutuhan pasar yang tinggi. Jati diri pendidikan semakin memudar. Tujuan pendidikan sebagi alat untuk menyelamatkan bangsa, kini di tangan-tangan yang tidak tepat justru menjadi alat untuk membunuh bangsanya sendiri.

Memang, cerita luka si miskin menjadi hal yang menarik di negeri ini. Layaknya sinetron yang mampu mengaduk-aduk perasaan penontonnya, cerita si miskin membuat sebagian orang ikut menangis, tak jarang yang abai, ada pula yang mengaku sebagai perwakilan mahasiswa tapi berlaku layaknya birokrat, ada yang berempati tapi setengah hati.

Ya, ini lah cerita luka dari Bumi Siliwangi! Akankah kita terus menikmatinya atau mengubah luka ini menjadi cerita bahagia? Anda yang harus menjawabnya, mahasiswa! [Siti Haryanti]

 

Comments

comments