Bincang : Kurikulum 2013 Hanya Keputusan Politik!
Beberapa bulan terakhir, rencana perubahan kurikulum tingkat sekolah dasar hingga mene-ngah santer diperbincangkan. Beberapa pihak ada yang pro perubahan kurikulum, di lain pihak malah ada yang menentang keras. Yang menolak beranggapan tidak ada alasan yang mendasar perlunya perubahan kurikulum yang rencananya akan diterapkan Juni 2013 ini. Banyak juga yang menilai, kebijakan perubahan kurikulum terkesan tergesa-gesa.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, perubahan kurikulum mutlak diperlukan untuk menghadapi tantangan zaman. Namun, yang menolak kebijakan itu pun punya alasan yang mendasar. Yang disoroti mulai dari efektivitas penerapan kurikulum di lapangan, sisi ekonomis, sosiologis bahkan psikologis peserta didik. Tak sedikit pula yang menyoroti bukan pada persoalan diubah atau tidak. Melainkan, konten yang akan diterapkan pada kurikulum 2013 ini juga tak luput dari sorotan publik khususnya akademisi pendidikan.
H.A.R Tilaar, salah satu tokoh pendidikan yang menyoroti persoalan perubahan kurikulum ini. Menurut Tilaar, perubahan kurikulum memang diperlukan. Ia memandang bahwa kurikulum merupakan sarana dalam pendidikan yang akan selalu berubah mengikuti perkembangan. Namun, tak sebatas itu, menurut Tilaar perubahan pun harus menekankan pada keselarasan nilai-nilai dan tujuan pendidikan.
Salah satu jurnalis Isola Pos, Nisa Rizkiah, berkesempatan untuk berbincang dengan Tilaar membahas wacana perubahan kurikulum ini. Di kediamannya, Tilaar menjawab polemik mengenai wacana kurikulum. Berikut petikan perbincangan Isola Pos bersama H.A.R Tilaar:
Benarkah kurikulum 2013 merupakan jawaban dari permasalahan pendidikan Indonesia?
Perubahan kurikulum itu sesuatu yang harus, sebab kurikulum itu merupakan sarana, sarana didalam proses pendidikan. Proses pendidikan ini akan berubah karena perubahan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Tetapi, yang jadi masalah kurikulum 2013 ini yang kesepuluh sejak kemerdekaan dan biasanya kurikulum itu dirumuskan dari atas ke bawah. Akibatnya apa kalau begitu? Menyusun suatu kurikulum itu harus mengetahui apa hakekat dari pendidikan itu. Kita hanya dapat mengetahui proses pendidikan kalau kita tahu apa hakikat pendidikan itu.
Kita sudah beberapa kali berganti kurikulum, KBK, KTSP, dan sekarang Kurikulum 2013. Seperti apa kurikulum yang ideal bagi pendidikan Indonesia?
Kita lihat dulu apa yang terjadi de- ngan pendidikan kita secara nasional. Misalnya, kita melaksanakan KTSP, ini seharusnya otonomi itu ada dimana? Di sekolah, otonomi sekolah, sekolah yang menentukan. Tapi apa yang terjadi? Ada Ujian Nasional (UN) yang menjadi peradilan bagi anak-anak kita itu. Jadi, buat apa itu KTSP, sesuatu yang sangat kontroversial. UN itu seharusnya suatu proses pemetaan masalah apa yang dihadapi di lapangan, sehingga ini merupakan input terhadap perumusan kebijakan pendidikan, bukan untuk mengadili anak-anak kita ini.
Ada kesan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tergesa-gesa dalam perubahan kurikulum ini, pendapat Anda?
Ya, ini sangat tergesa-gesa. Saya memandang akhirnya ini bukan hanya menghilangkan tetapi mematikan kreativitas anak-anak kita. Misalnya sekarang kalau dia sudah kelas 6, kelas 3, kelas XI, dan kelas XII mata pelajarannya tinggal mata pelajaran yang akan diujikan. Itu bagaimana akan mengembangkan kreativitas anak-anak kita?
Bagaimana dengan pelibatan pakar-pakar pendidikan dalam perumusan kurikulum 2013?
Jadi misalnya begini ya, apa yang disebut dengan uji publik? Waktu uji publik yang pertama, saya bilang begini uji publik artinya publik menguji. Saya sebagai publik akan menguji, konsepnya benar atau salah. Saya bilang konsepnya salah. Konsep dalam arti pelaksanaannya, bukan isinya materinya. Saya bilang, kurikulum itu tidak ada yang menetap itu akan terus berubah. Tetapi, perubahan itu bukan sekedar perubahan saja, tetapi atas sebab apa kita mengubah kalau kita tahu apa yang terjadi di lapangan.
Salah satu perubahan konten kurikulum adalah penyederhanaan mata pelajaran di sekolah dalam bentuk integrasi, tanggapan Anda?
Orang yang belajar mengenai pendidikan, masalah penggabungan di dalam suatu keterkaitan lingkungan misalnya, itu bukan hal yang baru. Apa yang ada di balik perumusan ini, saya pikir ini keputusan politik. Bicara secara pendidikan itu sudah deathlock. Apakah mungkin pada anak kelas 1 menggabungkan dengan Bahasa Indonesia, bagaimana itu dengan guru? Bisa kita bayangkan guru Bahasa Indonesia itu merangkum seluruh ilmu pengetahuan untuk anak-anak ini. Tapi ini dipaksakan kan, politic is power. Kita mau atau tidak, ini adalah jalan.
Di tingkat SD ada pengurangan jumlah mata pelajaran, dari 10 menjadi 6 jam, dan ada beberapa pengintegrasian mata pelajaran?
Semuanya bagus, tapi bagaimana implementasinya dan yang terpenting bagaimana mata pelajaran yang 10 itu bisa menghasilkan anak-anak yang kreatif, bukan badut-badut. Anak-anak yang bisa mengelola kekayaan alam kita, kekayaan budaya kita.
Lalu bagaimana dengan penerapan full day school, apakah cocok untuk anak-anak di Indonesia?
Ini tidak ada penelitian, seharusnya penelitian ini digalakkan. Sistem ini dipinjam dari sekolah yang ada di Swiss, bukan anak Indonesia. Yang menggunakan konsep ini orang-orang yang tidak mengetahui apa itu pendidikan, apa itu anak, dan perkembangan anak. Saya katakan, psikologi kita itu hanya meminjam dari teori Piaget dan Kohlberg. Piaget itu dari Swiss, Kohlberg dari Amerika. Apakah anak-anak Swiss dan Amerika sama dengan anak Indonesia?
Dalam rancangan kurikulum SMA, sistem penjurusan didasarkan pada minat pendidikan lanjutan dan bahkan ada sistem non penjurusan (SKS), tanggapan Anda?
Bagus, seperti yang dilakukan di Finlandia. Nanti di kelas X ada ujian yang membantu untuk menentukan minat di pendidikan tinggi. Finlandia berhasil dengan sistem demikian. Tapi di kita how implements? Ini yang jadi masalah. Bagaimana anak-anak itu mendapatkan pengetahuan di dalam proses pendidikan yang memberikan kebebasan untuk memilih.
Kalau begitu, ada kesan kurikulum ini meniru sistem pendidikan luar negeri. Apakah langkah tersebut tepat bagi pendidikan kita?
Finlandia itu didukung oleh penelitian-penelitian, bukan asal buat. Nah, sedangkan kita sangat lemah dalam penelitian. Oleh sebab itu, usul saya, perubahan itu dimulai dari Lembaga Perguruan Tinggi Keguruan (LPTK)menggalakkan penelitian. Bagaimana LPTK ditingkatkan mutunya. Saya harapkan UPI, salah satu dari empat tertua yang dibangun oleh M.Yamin.
Dalam catatan Anda, apa persoalan mendasar yang harus dibenahi dalam kurikulum di Indonesia?
Kita tidak tahu apa yang terjadi di lapangan, konsepnya oke, tapi di lapa- ngan tidak tahu. Not the content but the process, yang dapat menemukan kreativitas pada anak-anak kita. Kalau proses yang terpenting, kuncinya ada pada siapa? Pada guru yang melaksanakan. Nah, itu bagaimana Finlandia empat puluh tahun yang lalu membenahi pendidikannya, mereka memulai dari LPTK, bukan dari yang lainnya.
Melihat SDM yang ada, apakah kurikulum 2013 dapat diimplementasikan dengan baik?
Pesimis soal ini. Pengalaman yang lalu, ini sudah kesebelas kalinya kita gagal karena kita tidak datang ke lapangan. Guru-guru itu kasihan, dituntut macam-macam, seperti salah satunya sertifikasi, sedangkan sekarang mau melaksanakan kurikulum baru, kita pertanyakan siapa yang akan menatar 2 juta guru yang ada di Indonesia?