Sejarah dan Doa, Warisan untuk Anak Cucu

769
asi7.wordpress.com

Judul                            :Doa untuk Anak Cucu

Penulis                         :W. S. Rendra

Penerbit                      : Bentang Pustaka

Tahun Terbit                 : Cetakan-1, April 2013

Jumlah Halaman          : +94

Jika anda termasuk kelompok yang menganggap karya sastra adalah sebuah gambaran sejarah, maka buku kumpulan puisi Rendra ini tepat untuk anda baca.  Tak kurang dari sembilan belas judul puisi diracik Rendra dengan apik karena puisinya merepresentasikan kejadian sejarah yang  pernah terjadi.

Buku ini merupakan catatan tinta hitam tentang sejarah yang terkuak. Tak ada lagi yang Rendra sembunyikan dari pembacanya. Kesedihan dan sebuah energi besar untuk berubah tercermin jelas dalam puisi-puisinya. Rendra pun begitu lihai memainkan nada-nada puisinya, hingga terasa sekali nada-nada pengharapan, kesedihan, kekuasaan hingga perubahan yang didambanya.

Lihatlah sejenak kutipan berikut ini:

“….. Ada gubernur sarapan bangkai buruh pabrik

Bupati mengunyah aspal.

 anak-anak sekolah dijadikan bonsai.

Jangan takut, Ibu!

Kita harus bertahan…,” 

Membaca sekilas saja kita sudah bisa menebak makna dari puisi di atas. Puisi dengan judul “Jangan Takut, Ibu!” menggunakan kata-kata yang tak terlalu berdaya pukau meledak-ledak, dengan tanpa mengerutkan jidat pun maknanya sudah bisa ditangkap pembaca. Namun demikian, tenaga-tenaga yang tersimpan dibalik untaian kata-katanya itu membuat seluruh puisi-puisinya terasa begitu hidup.

Tak hanya memberi makna mendalam terhadap puisi-puisinya, Rendra pun berhasil menyampaikan cerita-cerita panjang di balik padatnya sebuah puisi. Membaca puisi-puisi Rendra ini, seperti menoleh sebuah suguhan drama sejarah. Drama realis yang mengangkat realita kehidupan sosial-budaya di akhir tahun 90-an ini disampaikan dengan mempermainkan simbol-simbol. Hal ini begitu nyata terasa dalam puisinya yang berjudul Sagu Ambon.

“… Pohon-pohon pala di bukit sakit,

Burung burung nuri menjerit,

 Daripada membakar masjid,

 daripada membakar gereja,

 lebih baik kita bakar sagu saja…”

 

Puisi ini menggambarkan bagaimana mencekamnya peperangan di Ambon. Dengan kata-kata yang tak membuat jidat mengerut, puisi Sagu Ambon ini justru membuatnya sangat menarik untuk dijelajahi lebih jauh lagi. Kesederhanaan bahasa puisi di atas sangat bertolak belakang dengan cerita yang hendak disampaikan Rendra. Puisi ini menuntun fikiran pembaca kembali ke masa silam di mana kekerasan dan ketakberadaban jadi suguhan sehari-hari.

Sejarah dan sebuah doa. Ya, itulah nampaknya yang ingin diwariskan Rendra kepada generasi penerus bangsa.  Di awali sebuah puisi doa berjudul “Gumamku, ya Alloh,” penulis seperti menegaskan bahwa kebutuhan rohani pun ingin ia wariskan kepada anak cucunya. Seperti nampak dalam kutipan ini:

“…. Umat manusia tak ada yang juara.

Api rindu pada-Mu menyala di puncak yang sepi,

Semua manusia sama tidak tahu dan sama rindu

Agama adalah kemah para pengembara

Menggema beragam doa dan puja

Arti yang sama dalam bahasa-bahasa berbeda.”

 

Permainan kata-kata berdoa pun tak lupa Rendra sampaikan di pengujung buku ini dengan judul “Tuhan Aku Cinta Padamu”

“….. Aku ingin kembali ke jalan alam

Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah.

Tuhan, aku cinta pada-Mu.”

Menarik memang, di awali dengan alunan kata-kata pengharapan, di akhiri pula dengan sebuah pengharapan. Bagi anda yang ingin mengetahui sejarah-sejarah kelam dengan suguhan kata-kata nan menawan, buku ini adalah jawabannya. Meski demikian, bagi anda yang betul-betul ingin menikmati puisi-puisi Rendra, anda harus sedikit menahan keluh.  Buku ini terlalu banyak memuat biografi Rendra, hingga hampir sepertiga  halaman dari keseluruhan buku kumpulan puisinya. Selamat berimajinasi, Selamat Mengapresiasi! [Tatang Zaelani Tirtawijaya].

Comments

comments