Kisah Kemanusiaan dalam Pemberitaan
Judul Buku : Komedi sepahit kopi
Penulis : Zaky Yamani
Tebal Halaman : 471 halaman
Tahun Terbit : Oktober, 2013
Penerbit : Svatantra
Buku ini berkisah tentang sepuluh macam reportase dalam satu dekade yang ditulis oleh seorang wartawan Pikiran Rakyat sekaligus Ketua Aliansi Jurnalis Independen Bandung. Kisah tersebut di antaranya berjudul Dimabuk Santolo, Muldan Nelayan Ban, Memanen Debu di Tanah Translok, Tsunami, Suara Sunyi dari Balik Jeruji, Para Pemburu Air, Pemilu Suku Baduy, Menggadaikan Citarum, Warga Difabel di Kota yang Tak Ramah, Dinding Kota, dan Kanvas Kami.
Ada tiga bahasan yang bisa menarik perhatian di antaranya cerita yang bercerita tentang “Tsunami” yang berkisah tentang tim wartawan yang ditugaskan untuk meliput bencana tsunami di Nanggro Aceh Darussalam, lebih tepatnya Kota Banda Aceh. Setiba di sana, mereka meliput kondisi yang terjadi di sana dari mulai bangunan-bangunan yang runtuh, mayat-mayat yang dibaringkan, hanya ditutupi kain atau terpal, serta banyaknya orang yang berlalu lalang dengan wajah kebingungan mencari sanak saudara mereka.
Di tengah situasi yang tidak menentu, di mana listrik masih padam, saluran telepon pun tak tersambung. Bagaimana mereka mengirim hasil liputan ini untuk di terbitkan? Makan dengan lauk pauk ala kadarnya. Dapat terlihat perjuangan tim wartawan saat meliput suatu daerah yang baru terkena bencana, hal itu benar-benar menguji mental dan fisik seorang wartawan.
Selanjutnya, cerita yang sama-sama bercerita tentang reportase mendalam yaitu “Menggadaikan Citarum”, progam Investasi Pengelolaan Sumber Daya Air Citarum secara Terpadu (Integrated Citarum Water Resources Management Invesment/ICWRMIP), yang diusung badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Hal itu bertujuan untuk memperbaiki kualitas Citarum, menangani banjir, mengatasi persoalan lingkungan di DAS Citarum, menyediakan pasokan air baku yang berkualitas, dll. Namun program itu kini mengundang Tanya.
Informasi tentang program ICWRMIP pun tidak diketahui oleh warga dan para pengambil kebijakan daerah. Tidak adanya transparasi mengenai proyek ini. Keuntungan yang diperoleh dimanfaatkan oleh para perusahaan yang beroperasi dan menguasai bisnis pelayanan air bersih di Jakarta karena air bersih yang didapat dari Kanal Tarum Barat terjadi karena ada program ICWRMIP. Apalagi program itu dilaksanakan dengan utang Negara yang harus dibayar oleh setiap warga Negara, dengan tagihan air bersih yang terus meningkat (jika berlangganan).
Isu menarik pun diangkat oleh penulis tentang penyandang cacat yang disinggung dalam judul “Warga Difabel” di Kota yang tak ramah, kesetaraan yang belum terealisasikan ini membuat para difabel yang berdiam diri di rumah. Ijazah dari YPAC juga tidak berlaku ketika mencari pekerjaan, walau mereka mampu mengikuti kesetaraan, namun banyak perusahaan yang memberikan persyaratan yang hanya diberlakukan bagi orang pada umumnya. Meski Undang-Undang dari tingkat pusat hingga kota sudah dibuat tapi tidak dapat menjamin.
Fasilitas-fasilitas publik pun masih banyak yang tidak tersedia bagi penyandang cacat. Lemahnya penegakan aturan itu bisa jadi karena belum adanya aturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah yang telah diterbitkan. Lalu sikap pemerintah dan masyarakat yang memandang penyandang cacat sebelah mata, berbeda, dieksklusifkan, misalnya untuk aksesibilitas di fasilitas publik, kalau pun ada dikhususkan.
Ada benang merah yang bisa diambil dalam tulisan ini yaitu isu kemanusiaan yang kental dibicarakan. Buku ini pun menceritakan pengalaman di balik pemberitaan. Reportase disampaikan lebih mendalam dan apik dengan menggunakan bahasa yang mengalir. Ceritanya pun menunjukkan tidak mudahnya menjalankan profesi sebagai wartawan.
Meskipun begitu ada bagian yang penyampaiannya kaku, hanya dipaparkan sehingga dapat membingungkan untuk mencerna informasi. Mungkin akan lebih mudah memahami jika ditampilkan juga tabel pada repotase Menggadaikan Citarum. [Restu Puteri]