Siasati Panggung dengan Multimedia, Teater Lakon Tampil Menawan
Bumi Siliwangi, Isolapos.com-
Kerumunan penonton telah memadati halaman dan pintu masuk Gedung Amphiteater, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jum’at (20/6). Para apresiator itu rela berdesakan dan mengantri untuk menyaksikan pertunjukkan teater dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Lakon UPI. Tidak hanya piawai mementaskan naskah berbahasa Indonesia, Lakon berhasil menunjukkan keahliannya untuk mementaskan naskah berbahasa sunda berjudul Di Hiji Tempat nu Biasa dari satrawan Nunu Nazarudin Azhar.
Tidak hanya itu saja, saat pertunjukkan berlangsung, tak ada perpindahan properti panggung seperti pada pementasan lain yang juga dilakukan di gedung tersebut. Nuansa lain ditampilkan Lakon melakukan kolaborasi dengan Ensemble Tikoro sebagai paduan suara, dan Teater Tarian Mahesa untuk penari latar. Sentuhan berbeda juga terlihat dari penggunaan multimedia yang menjadi daya tarik baru bagi para penonton setia Teater Lakon. Namun, cara baru ini banyak dinilai sebagai alternatif untuk menyiasati latar panggung berukuran 4×4 meter tersebut. Pagelaran ini menjadi debut dalam serangkaian pertunjukkan yang tertera pada jadwal Unit Pelaksana Teknis Kebudayaan (UPT Kebudayaan) UPI ini.
Berkisah tentang harapan dua orang pemuda terhadap gadis yang idaman yang diimpikannya. Dua pemuda yang diperankan oleh Gustri Yorizal dan Cikal Gilang Ramadhan mempunyai kisah yang percintaan yang serupa. Pemuda pertama (Gustri Yorizal) digambarkan selalu menunggu, dan menunggu gadis pujaannya Kania (Hanna Rosiana). Setiap saat hanya duduk di bangku taman dengan telepon genggam yang setia menemaninya. Hanya telepon itu yang menjadi penghubung kisah cintanya.
Berbeda dengan Pemuda kedua (Cikal Gilang Ramadhan) yang berhasil bertemu gadis impiannya, Surti. Pria ini jauh lebih beruntung dari orang pertama, begitu bahagianya Ia bercengkrama berdua dengan sang pujaan hati. Keromantisan pertemuan sepasang kekasih ditunjukkan mereka saat berlindung dibawah satu payung itu. Gambaran hujan dari sorotan proyektor ke panggung semakin menghanyutkan penonton pada drama besutan sutradara teater, Gusjur Mahendra tersebut.
Sementara Surti mengenang masa lalunya dengan pemuda kedua, pemuda pertama masih dengan sabar menunggu kedatangan gadis yang tak lain Surti (Kania nama asli gadis itu.red). Ketika pemuda itu hendak mengungkapkan perasaanya, tiba-tiba berdering telepon genggam gadis berjaket putih itu. Surti pun sengaja menjauh dari pemuda kedua dan menerima panggilan dari pemuda kedua itu. Namun, harapan penunggu itu kandas dengan perkataan Kania yang kembali menyuruhnya untuk bersabar menunggu kedatangannya.
Sang gadis impian kembali menghilang dari kehidupan lelaki beruntung itu. Sifat pemuda kedua itu sangat berbeda dengan pemuda pertama yang selalu menunggu dengan harap baik. Ia memperlihatkan amarahnya dengan meronta dan menghentakkan kakinya berkali-kali di panggung. Sedangkan pria pertama tidak peduli dengan bisikan dari setan untuk menyuruhnya melupakan Kania. Perbedaan sifat manusia ditunjukkan melalui seruan setan yang tidak dihiraukan sang pemuda setia.
Hingga akhirnya, takdir mempertemukan kedua pemuda yang bernasib serupa itu. Si pemuda kedua berusaha keras menyadarkan pemuda pertama terhadap kenyataan yang meraka sama-sama alami. Dan akhirnya kesepakatan untuk bersam-sama mencari gadis impian dimulai. Setelah tidak kunjung menemukan impiannya, lama kelamaan mereka saling menyadari bahwa Kania dan Surti merupakan perempuan yang sama.
Terjadi perkelahian hebat diantara kedua pemuda itu. Namun, pemuda kedua menyadari bahwa duel itu harus berakhir. Persaingan itu berakhir dengan kesepakatan untuk menghilangkan bayang-bayang wanita impian mereka dan melupakannya. Tak disangka, Kania kembali ke dalam kehidupan kedua pemuda itu. Tetapi sayang, kedua pemuda itu telah melupakannya. Keadaan ini tergambar dari kelupaan seperti amnesia yang ditunjukkan oleh para aktor saat Kani (Surti) berulang-ulang meyakinkan mereka bahwa gadis impiannya telah kembali.
Pertunjukkan yang mengundang decak tepuk tangan itu diakhiri dengan diskusi mengani drama ini. Meskipun pertunjukkan ini memukau namun, kekurangan terhadap fasilitas gedung tetap dikeluhkan. Salah satunya Mochamad Chandra Irfan. “Ini ironis, kampus sebesar ini tidak punya gedung pertunjukkan,” serunya pada isolapos.com.
Ia juga menambahkan bahwa gedung pertunjukkan yang representatif nantinya tidak hanya akan dipakai oleh mahaiswa yang berkecimpung di jurusan bahasa ataupun seni saja. “Jika saja di UPI ini ada sebuah gedung pertunjukkan maka yang memakai bisa tidak hanya orang bahasa dan seni, bisa jadi jadi orang ekonomi juga” tuturnya.
Belum adanya gedung pertunjukkan yang refresentatif tidak menjadikan halangan atas kreatifitas sang sutradara. Dia menyatakan tidak mau mengiba dengan keadaan gedung pertunjukkan yang ada. “Prinsip saya adalah bermuda, yaitu bermula dari yang ada, jadi pergunakan saja”, katanya. Namun Ia mengutarakan akan lebih baik jika di masa depan kampus sebesar UPI memiliki gedung pertunjukkan yang representatif ujarnya.[Karolina Ketaren]