Membangun Pemikiran Lewat Teks-Teks Lain
Judul Buku : Semusim, dan semusim lagi
Penulis : Andina Dwifatma
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Halaman : 232 Halaman
Tahun terbit :April 2013
Aku lari menghindar ke kamar. Inilah mengapa aku tidak suka membagi pikiranku dengan banyak orang. Atas nama demokrasi, pura-puranya setiap orang dapat bebas mengemukakan gagasan. Tapi, jika gagasanmu tak sesuai harapan orang, maka kau bersalah ( Dwifatma, 2013: 187).
Titik tekan tokoh aku sebagai sudut pandang orang pertama telah membangun karakter yang kuat dalam novel yang menjadi pemenang lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Nama tokoh dalam novel ini dirahasiakan, tapi pemikirannya lahir bersama kata, merasuki pikiran pembacanya. Sejatinya karya sastra dapat membangun dimensi di ruang abstrak, ruang yang tak bisa dilihat secara kasat mata sehingga gejolaknya terbangun di alam bawah sadar kita. Percaya atau tidak it’s your choice.
Petualangan tokoh aku dimulai saat dia berkelana mencari ayahnya ke kota S. Dijemput kawan ayahnya, J.J Henry, ia tak langsung bertemu sang ayah yang bernama Joe -nama yang tokoh aku ciptakan sendiri- karena Joe sedang sakit keras. Meski begitu, Sebagai anak pengusaha, ia tak mendapatkan kesulitan dalam hal keuangan, termasuk saat dirinya berangkat ke kota S tanpa diketahui ibunya.
Orangtuanya sudah bercerai lama, tokoh aku pun dibesarkan oleh ibunya. Saat usia 17 tahun, tokoh aku dikirimi surat yang tiada lain dari Joe. Joe ingin bertemu dengannya. Menurut penuturan J. J Henry, Joe sering menceritakan tokoh aku, seolah mereka sudah hidup bersama sangat lama.
Perbincangan lebih menarik saat Kehadiran Muara, anak J. J Henry yang merasuki kehidupan tokoh aku. Banyak yang mereka bicarakan, tentang musik, film, atau novel dunia. Sebagai penulis, Dwifatwa telah berhasil membangun cerita lewat teks-teks lain. Teks yang lahir dari teks sebelumnya. Misalnya dalam obrolan Muara dengan tokoh aku, diceritakan tentang peraih nobel sastra, Hemingway. Bagaimana Hemingway begitu sederhananya memainkan kata dalam karya yang diciptakannya, agar sastra dekat dengan masyarakat.
Tak hanya itu, diceritakan juga bahwa tokoh aku seolah mempunyai teman ikan mas koki, ikan yang merupakan reinkarnasi Sobron. Sobron adalah suami dari Oma Jaya (tetangga tokoh aku di kota S) yang telah meninggal. Oma Jaya banyak bercerita tentang Sobron dan reinkarnasi Sobron menjadi ikan mas koki. Reinkarnasi adalah kelahiran kembali seseorang, ia bisa terlahir menjadi apapun, reinkarnasi akan berhenti suatu saat nanti dan menuju moksa.
Cerita dalam novel yang yang judulnya diambil dari bait sajak sitor situmorang “Semusim dan semusim lagi” pun menuju klimaks saat tokoh aku menusuk Muara sebanyak 4 kali. Itu bukan tanpa alasan, Muara menyuruh tokoh aku menggugurkan kandungan anak mereka.
Di kantor polisi tokoh aku diinterograsi, namun karena dianggap ia memiliki gangguan mental karena terus menerus mengatkan tentang ikan mas koki raksasa, ia pun dikirim ke rumah sakit jiwa diantar ibunya. Kesehariannya begitu displin dan teratur. Di tempat itu pula ia akhirnya bertemu sang ayah yang berambut panjang dan keren sesuai harapannya. Saat itu, ia merasa sangat bahagia.
Kehadiran buku ini membuat dunia kesusatraan kaya akan buku-buku berkualitas. Dwifatma begitu cerdasnya menghadirkan tokoh aku, di sisi lain ada tokoh muara, Oma jaya, J.J Henry lalu Sobron yang tak kalah kuat karakternya.
Hal yang menarik adalah tokoh aku yang digambarkan, seorang remaja berusia 17 tahun yang ingin masuk kuliah jurusan sejarah karena ia ingin menjadi ahli sejarah. Tokoh remaja yang satu ini tahu tentang banyak. Jika biasanya tokoh remaja di hadirkan dalam novel teenlit tapi Dwifatma tak melakukan hal yang mainsteam.
Remaja ini jarang ditemukan di masa kini. Jika memang ada remaja secerdas itu, pastilah sedari kecil ia sudah diajarkan banyak hal atau diberi banyak buku oleh orang tuanya. Tokoh aku dalam novel ini telah mengalihkan dunia remaja ke pembicaraan yang biasanya didiskusikan oleh orang dewasa. Meski begitu, Dwifatma tak menghilangkan ”cinta” seorang remaja.
Literatur kontemporer ini begitu asyik dibacarakan secara intertekstual. Hal yang dibangun oleh Dwifatma, yang juga seorang wartawan Kompas-Gramedia ini begitu kuatnya.. Berbicara intertektual, Kristeva seorang nama yang besar salah satunya di dunia kesusatraan mengajukan dua alasan tentang teori intertekstual. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (worton, 1990: 1).
Buku ini sangat penting untuk membuka gerbang teks-teks yang lain. Tawaran kecerdasan Dwifatma tak bisa dianggap remeh, ia mampu membuka dimensi lain di luar sastra seperti musik dan film. Pemaduan unsur seni lain yang dilakukan dalam bacaan sastra ini begitu memikat, membuat pembaca bertanya-tanya apa saja yang dilahap Dwifatma dalam hidupnya. [Julia Hartini]