Jeritan Rembulan
Oleh Syahid Syawahidul Haq*
Kini, tibalah saatnya bulan mengisi malam dan bersinar demi memenuhi kebutuhan semua makhluk bumi. Dingin dan pekatnya malam menyatu menjadi sebuah keadaan yang begitu mencekam. Namun, apalah daya bulan? Dia dicipta Tuhan hanya untuk menerangi aku, kamu, dia –kita, mahluk bernama manusia.
Dua jam sudah bulan di langit sana, berusaha tertawa agar gulita tak terlalu menyiksa kita. Namun, tetap saja seperti sedia kala, sang awan tak mau enyah dari peraduan dan menyerap cahaya bulan. Akibatnya, manusia geram. Gerutu, caci maki, dan sumpah serapah, mereka lontarkan kepada bulan. “Enggak tahu gue mau jalan nih!” geram seorang pemuda karena kesal pada bulan yang belum jua menampakkan dirinya.
Beda dengan sebagian yang lain. Mereka selalu bahagia ketika bulan bersinar terang. Hanya sekadar hang out dengan sang kekasih di malam minggu, atau kompak menegak minuman keras dengan kawan-kawan, bahkan mungkin pergi ke remang-remang untuk mencari jajanan malam.
Mereka itu egois, tak beda seperti aku dahulu. Dulu, aku sangat kesal ketika bulan malas datang. Karena kemalasannya, aku tak bisa melakukan apa pun yang aku inginkan. Aku selalu merasa sepi dan haus karena hasratku tak tersalurkan. Namun, kini aku paham, betul-betul paham. Aku paham mengapa bulan sering muram dari pada benderang. Dia kedinginan. Dia kesepian. Dia kelelahan. Dan parahnya, tak ada satu pun yang ingin mendengarkan segala keluh kesahnya.
Bulan, sang Raja Malam hanya berteman kesunyian dan kesendirian. Tak heran jika bulan enggan untuk keluar dari persembunyiannya. Meski begitu, dia selalu mengerahkan kekuatannya untuk berusaha bersinar terang. Bulan harus tunduk pada suratan Tuhan yang menugaskannya untuk selalu menerangi malam, mengusir kelamnya malam, agar semua insan yang letih bekerja dari pagi hingga malam bisa terhibur. “Akan sangat menyenangkan pabila aku menjadi kalian, hey manusia! Bercengkrama dengan teman, berbagi kepedihan dan kenangan indah dengannya. Beruntung sekali Tuhan menjadikan kalian, keturunan Si Adam!” gerutu bulan.
Malam semakin mendekati puncaknya, dan awan hitam mulai letih menutupi cahaya rembulan. Perlahan, cahaya bulan mulai terpancar begitu indah di langit nan luas. Di bumi, wajah manusia mulai merona, melihat cahaya bulan menyusup di antara awan-awan yang sedang beranjak pergi. Meski bintang yang telah Tuhan sebarkan di langit tak jua muncul, bulan tak patah arang. Dia tetap ingin mengabdi pada Tuhan dan berbakti pada makhluk kesayangannya. Di antara gelapnya keadaan bumi, bulan melirik-lirikan matanya ke setiap penjuru bumi, untuk sekadar memastikan manusia tersenyum bahagia dalam tidurnya.
Tiba-tiba, lirikan bulan terhenti ketika sosok laki-laki dan perempuan terekam olehnya, sedang larut dalam asmara yang bergelora. Tatapan bulan semakin tajam, memastikan apa yang terjadi. Dalam pikirannya tumbuh semacam kecurigaan ketika melihat si perempuan menunjukan raut muka penuh kesedihan dan keputusasaan. Dari juru matanya, keluar air mata yang tak henti-hentinya menetes, seolah menggambarkan keadaan hatinya.
“Eh, kenapa tangisan perempuan itu lain dari tangisan kenikmatan perempuan lainnya?” tanya bulan pada dirinya sendiri.
“Baru kali ini aku melihat tangisan seperti ini, kelihatannya sungguh memilukan.” Bulan semakin penasaran melihat perempuan yang semakin meronta tak karuan.
Bulan pun terus menerus memperhatikan mereka, hingga pada akhirnya bulan menyadari bahwa wanita itu sedang diperkosa oleh laki-laki yang bersamanya. Sontak, bulan pun kaget ketika perempuan itu berteriak meminta tolong dengan wajah yang begitu memperihatinkan. Bulan kebingungan, apa yang harus dia perbuat untuk menyelamatkan perempuan itu? Ingin sekali dia berteriak, tapi apa daya semua itu percuma, bintang-bintang yang kadang menemaninya pun tak pernah mau diajak bicara. Manusia, yang hidup di bawah sana pun tak pernah mendengar apa yang ingin bulan sampaikan. Mereka hanya menyadari bulan ketika purnama datang dan ketika bulan tak diselimuti awan.
Bulan pun menangis, menangis, dan semakin menangis. Tangisan bulan pun semakin lama semakin terdengar mengikuti irama rintihan perempuan itu. Sebetulnya, bulan tak pernah tega melihat hal seperti ini, tapi mau bagaimana lagi dia hanya bisa menjadi saksi bisu atas perlakuan kejam laki-laki itu.
“Tolong.. perempuan itu sedang diperkosa!” teriaknya, sangat kencang.
“Andai hidupku di bawah sana, mungkin aku bisa membantunya,” gumam bulan, menyesali takdir dirinya.
“Tuhan! Apakah memang makhluk di bawah sana sekejam itu? Kenapa dia melakukan hal kejam terhadap pasangannya? Bukan kah indah mempunyai seorang pasangan? Dasar manusia biadab! Tak punya rasa! Makhluk tolol!” cecarnya pada laki-laki itu.
Bulan sadar jika dirinya tak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa pasrah melihat perempuan itu diperkosa oleh lelaki dengan nafsu yang tak tertahankan. Bulan mencoba memalingkan pandangannya ke arah lain, dan betapa kagetnya bulan menyaksikan sekumpulan orang yang sedang menikmati obat terlarang dan minuman keras. Ya, mereka tengah asyik pesta narkoba dan minuman keras.
Sesungguhnya, bukanlah karena narkoba dan minuman keras yang membuat bulan kaget, namun orang-orang yang sedang berpesta narkoba itu adalah sekumpulan oknum aparat pelindung masyarakat yang seharusnya berkewajiban untuk melindungi rakyatnya. “Biadab, pantas saja kalian tak mendengar jeritan perempuan itu! Kelakuan kalian pun tak lebih hina dari si pemerkosa!”
Perasaan bulan kian bercampur: marah, kecewa, sedih, dan merasa bersalah terus berkecamuk dalam dirinya. Bulan semakin sedih ketika harus melihat kelakuan sekelompok oknum aparat penegak keadilan, melakukan hal menjijikan seperti itu.
“Tuhan, kenapa tak kau jadikan saja mereka itu bulan? dan aku, jadikanlah seorang manusia, dengan begitu, mereka tak lagi akan membuat kerusakan di bumi sana, dan aku, mungkin saja bisa lebih bermanfaat, tak hanya berdiam di tempat ini,” pinta bulan sembari menahan kesedihan, melihat kejadian di bawah sana. Sedikit demi sedikit, air matanya mulai menetes, dan dengan perlahan, bulan pun mulai tak nampak lagi, tertutup sebagian awan.
Setelah beberapa saat melalui kesedihan yang berlarut, dia kemudian sedikit memalingkan pandangannya ke sudut yang lain. Dan ternyata, ditemuinya seseorang yang sedang berdoa dengan begitu khusyuk. Bulan penasaran, dan berniat menguping apa yang dipinta manusia itu kepada Tuhannya. “Tuhan, ingin sekali hambamu ini menjadi bulan. Hamba tak sanggup lagi hidup jadi manusia. Lebih baik hamba jadi bulan, daripada harus menyaksikan kejahatan-kejahatan manusia lain secara menerus, sedangkan hamba tak pernah sekali pun bisa membantu mereka yang kesusahan,” do’anya di seperempat malam.
Syahid Syawahidul Haq* adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.