Menghamba Rating, Memperbudak Publik
Oleh : Tim Redaksi
*Laporan Diskusi Pendidikan Bincang Isola “Mendidik Televisi”
Televisi merupakan media publik yang paling digemari dan paling mudah diakses oleh masyarakat umum. Tayangan televisi, yang seharusnya menjadi panutan atau role model bagi masyarakat, dewasa ini sangat jauh dari harapan. Alih-alih fungsi media sebagai edukator, tayangan televisi malah menjadi tempat yang hanya memikirkan rating untuk mendapat keuntungan tanpa mempedulikan konten di dalamnya. Tetapi kesadaran publik akan literasi media menjadi hal yang paling berpengaruh untuk memilah dan memilih tayangan televisi yang mendidik untuk dikonsumsi. Pun peran Komisi Penyiaran Indonesia sebagai penyaring dan pengawas program televisi masih kurang maksimal.
Demikian rangkuman pendapat sejumlah narasumber diskusi umum Bincang Isola bertajuk “Mendidik Televisi” yang dihelat di Teater Terbuka Museum Pendidikan Nasional Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jalan Setiabudhi Nomor 229 Bandung, Rabu (30/02) malam. Diskusi bulanan yang diprakarsai Unit Pers Mahasiswa (UPM) UPI ini menghadirkan Ketua Komisi Penyiaran Indonesi Daerah (KPID) Jawa Barat Dedeh Fardiah, Ketua Departemen Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UPI Engkos Kosasih, pengurus Ikatan Jurnalisme Televisi Indonesia (IJTI) Dicky Wismara, Ketua Gerakan Masyarakat Peduli Pendidikan (GMPP), Hary Santoni, dan Ketua Forum Orang Tua Siswa (Fortusis) Budhi Purnama.
Tayangan TV kurang mendidik
Ketua Fortusis Budhi Purnama, mengaku bahwa dirinya bukan merupakan penggemar tontonan televisi. Televisi yang seharusnya menjadi media publik untuk dijadikan panutan,menurutnya kini sudah tidak lagi sesuai dengan fungsi media itu sendiri. Tayangan televisi dewasa ini lebih membawa dampak negatif kepada penontonnya dibandingkan dengan dampak positif.
“Menurut saya banyak sekali tontonan yang kurang bahkan tidak mendidik. Saya ambil contoh sinetron GGS (Ganteng-ganteng Srigala, –red). Anak kecil akan meniru apa yang ditontonnya, Anak saya yang masih duduk di bangku SD, setelah menonton GGS tanganya itu mencakar-cakar sendiri dan bahkan meniru suara yang seperti serigala. Nah, ini kan pengaruh negatif dari tayangan televisi, loh ko ga sopan,” ujarnya dihadapan ratusan peserta diskusi.
Aktivis sekaligus pendidik di salah satu sekolah SMP di Bandung itu pun menghimbau kepada orangtua untuk mengawasi dan mengontrol anaknya dalam menonton televisi. Tayangan televisi yang ditonton akan dicontoh dan dijadikan cermin oleh anak, baik itu gaya atau fashion juga bahasa yang ditampilkan. Ia juga menyayangkan, anak-anak yang seharusnya menghabiskan waktu untuk belajar dan bermain, tetapi sekarang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton, dan apa yang ditontonnya itu kurang mendidik.
“Orang tua harusnya menemani anaknya saat menonton, atau setidaknya memberi tahu mana yang boleh dan layak ditontonnya mana yang tidak. Style, bahasa akan ditiru oleh anak. Contohnya loe gue end, dalam tayangan YKS contohnya, kemana lu botak? Bahasa itu menurut saya kurang sopan. Banyak sekali perilaku yang dipertontonkan kurang mendidik. Saya tanya kepada siswa, berapa jam untuk menonton televisi dalam sehari? Kebanyakan 3-6 jam, itu kan melebihi batas waktu normal,” kata Budhi mengundang tawa peserta diskusi.
Kritik terhadap tayangan televisi juga disampaikan oleh Ketua Departemen Psikologi UPI Engkos Kosasih. Engkos menuding tayangan televisi kurang memperhatikan aspek psikologi tumbuh kembang anak. Tayangan televisi yang ditonton oleh anak, akan menimbulkan pengaruh yang sangat besar pada perkembangannya. Apabila hal positif yang ditampilkan maka akan menjadikan anak berperilaku dan bersikap positif, begitupun hal negatif yang ada dalam tayangan televisi, akan menimbulkan perilaku yang negatif pula. Menurutnya, saat ini sangat banyak tayangan televisi yang tidak jelas tujuannya.
“Tayangan televisi harus memperhatikan rancangan programnya, harus memperhitungkan psikologi kembang anak dan tingkat kedewasaan. Dalam membuat tayangan televisi jangan asal-asalan, karena kebanyakan penonton merupakan anak-anak yang masih dalam proses pertumbuhan. Pengaruh terhadap anak sangat besar, yang bahaya itu pengaruh yang negatif tentunya,” tegas Engkos.
Koordinator GMPP, Hary Santoni berpendapat tayangan televisi belum bisa dijadikan panutan untuk masyarakat. Sangat disayangkan dengan kemajuan teknologi yang ada tidak dibarengi dengan upaya pengawasan yang tegas terhadap hal-hal negative. Menurutnya, etika dan kesopanan bangsa ini mengalami penurunan yang sangat signifikan, dan salah satu faktornya ialah disebabkan oleh tayangan televisi.
”Tadi siang saya melihat sinetron disalah satu stasiun televisi, ada adegan satu keluarga ditagih debkolektor lising mobil, tapi yang dibawanya surat-surat rumah, kan aneh ya? dimana pendidikannya, apakah ini pembodohan masal? Kalo sekali dua kali tak masalah, ini kan sering, kasus kaya gini. Terus ada acara siraman rohani yang menerangkan tentang tidak bolehnya membuka aib seseorang, eh sorenya masih di stasiun yang sama ada acara hipnotis yang buka-bukaan aib. Inikan udah tak beradab,” kata Hary berapi-api.
Menghamba pada Kepentingan dan Rating
Fungsi media yang sejatinya perlu diwujudkan bagi masyarakat adalah sebagai saluran pendidikan, informasi, pengawasan dan hiburan. Namun dalam pelaksanaannya, seringkali media, utamanya televisi mengambil langkah ke luar koridor dengan berbagai motif. Di antaranya ‘menghamba’ pada kepentingan bisnis dan rating.
Keberpihakan media di Indonesia seringkali didominasi oleh pemilik media. Hary Santoni bahkan menyentil, acara yang terkesan independen dan kritis pun, masih dibingkai dengan kepentingan politik pemilik media. “Kita lihat saja, ILC (salah satu program Tv-One,-red) yang selama ini dielu-elukan masyarakat, pernah tidak membahas lumpur lapindo ?” katanya.
Selain itu, orientasi media pada persoalan untung rugi (ekonomi) juga masih menjadi ‘dalang’ utama penayangan program. Dalam hal ini, rating sebagai penentu ‘selera’ masyarakat untuk mendulang pundi-pundi iklan masih dijadikan penentu apakah program dilanjutkan atau tidak. Hal ini senada dengan ungakapan Dicky Wismara, sebagai praktisi televisi sekaligus aktivis IJTI. Ia mengatakan bahwa selama ini rating masih menjadi penentu produksi dari sebuah program. “Televisi tidak bisa lepas dengan yang namanya rating,” pungkasnya.
Menanggapi hal itu, Hary kembali berujar bahwa orientasi menghamba pada rating ini akan membahayakan bagi masyarakat. Pun disitu peran pemilik media seringkali tak memerhatikan hal ini. Acap kali menurutnya, demi melanggengkan kepentingan bisnis, masyarakat terus menerus digiring untuk “tunduk” pada kepentingan tersebut. Akhirnya, tayangan populer, meski kurang bermutu pun dapat digemari masyarakat.
Mendidik Media dan Masyarakat
Upaya untuk mengontrol lembaga penyiaran yang berprilaku “mendewakan” rating telah dilakukan oleh KPI/KPID. Atas berbagai keluhan dan saran dari masyarakat, sejumlah teguran dan sanksi telah KPI keluarkan kepada beberapa lembaga penyiaran. Namun Dedeh menyayangkan, tak semua masyarakat kritis terhadap tayangan televisi. Terkadang, teguran dan sanksi itu sendiri menurutnya tak membuahkan hasil karena tayangan lebih digemari. “KPID Jabar pernah mengeluarkan rekomendasi untuk men-stop sementara waktu tayangan ‘Anak Jalanan’ ke KPI Pusat. lalu banyak masyarakat yang memprotes kepada kita, karena masyarakat yang kurang paham terhadap literasi media,” ungkap Dedeh.
Dedeh menambahkan, sejumlah lembaga penyiaran pun masih saja nekat meski telah mendapat teguran. Berdasarkan amanah undang-undang no 32 tentang penyiaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), pihak KPI telah berupaya melakukan pengawasan, menampung berbagai pengaduan masyarakat, hingga menindak lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran.“Di Jabar itu ada 532 lembaga penyiaran, kami ada rapat pleno isi siaran yang menentukan mengapa TV ditegur, dihimbau, dikurangi durasi siaran atau dihentikan sama sekali,” ucap Dedeh.
Ia pun menuturkan beberapa tahapan pemberian sanksi yang akan dijatuhkan pada media yang melanggar aturan penyiaran yaitu pertama, sanksi yang paling ringan berupa himbauan pada lembaga penyiaran yang melanggar aturan jam tayang. “Kalau disingkat jadi Supardi (Semua umur, Pra sekolah untuk 2-6 tahun, Anak-anak untuk 7-12 tahun, Remaja 3-17 tahun dan Dewasa untuk usia >18 tahun),” jelasnya.
Kedua, teguran yakni ada teguran 1 dan teguran 2. Pada teguran 1, KPID akan secara langsung menegur terhadap media lokal, sedangkan pada media nasional yang juga tayang di Jawa Barat melalui surat rekomendasi. Apabila pelanggaran masih dilakukan, KPID akan menghentikan sama sekali tayangan tersebut. “Yang pernah dihentikan itu, acara smack down dan Yuk Kita Smile (YKS) karena sudah banyak pelanggaran,” ujarnya mencontohkan.
Hal serupa diutarakan Dicky Wismara. Lembaga penyiaran televisi pun menurutnya selalu berupaya mengacu pada UU Penyiaran dan P3SPS. Menurutnya, hal itu dilakukan sebagai upaya menjaga agar tayangan yang ditampilkan tetap sesuai dengan kode etiknya. “Kami selalu berupaya mematuhi aturan UU dan P3SPS, contohnya dengan etika pengambilan gambar tersangka yang di blur, tidak menampakkan darah dan sebagainya,” ungkapnya.
kendati begitu, keduanya setuju bahwa yang diperlukan saat ini upaya pencerdasan tidaklah cukup hanya mendidik para pelaku media, namun juga masyarakat. Hal itu, juga yang diamini oleh Hary dan Engkos, bahwa masyakat juga mempunyai peranan penting dalam pengawasan terhadap tindak tanduk para pelaku media. Terutama bagi orang tua, yang menjadi gerbang utama menjaga anak-anak dari pengaruh televisi. []