Lawan dengan Imajinasi, Daya Hidup dan Daya Cipta!

196

Oleh: Prita K Pribadi

Judul Buku      : Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali

Pengarang       : Puthut EA

Penerbit           : Buku Mojok

Cetakan           : II, Februari 2016

Tebal Buku      : xv + 179 halaman

Puthut EA, seorang sastrawan kelahiran tahun 1977, yang tidak diragukan lagi untuk disebut sebagai penulis intelektual. Bagaimana tidak, dengan kemampuan menulis dari salah satu buku kumpulan cerita pendek (cerpen) berjudul Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali, ia dapat menyampaikan beberapa pesan dan isu penting di Indonesia, yang masih belum terselesaikan dengan batin diri sendiri. Ia sampaikan itu dengan cara kepenulisan yang indah, begitu puitis, sederhana tapi tetap bermakna tajam.

Judul buku tersebut diambil dari salah satu cerpen yang menceritakan tentang seorang lelaki yang diduga membunuh bebek. Masyarakat menuduh hal tersebut yang hanya bermodalkan penglihatan saja. Mereka melihat lelaki itu usai bermain dengan ketapel yang menggantung di lehernya. Bersikukuh lelaki itu tidak membunuh bebek yang mati di pinggir kali, hanya dua orang yang mempercayainya saat itu, Bapak dan Buliknya (bibik). Seiring kematian bebek diikuti dengan tumbuh dewasanya lelaki ini, ia semakin banyak mengetahui dunia sekitar dan menjadi sangat membenci Bapaknya karena ia lahir dari seorang komunis dan dianggap berbahaya oleh khalayak. Situasi semakin memburuk saat Buliknya menghilang dan Bapaknya meninggal dunia, bahkan tidak mau bertemu selama beberapa tahun. Sampai pada suatu saat ia ingin mengunjungi ke pemakaman Bapaknya. Disinilah terjadilah sesuatu yang mencengangkan dan janggal dengan apa yang ia lontarkan dari setiap kata-katanya.

“Aku membunuhnya….”

Dengan jeda, ia melanjutkan.

“Aku membunuh bebek itu. Aku mengetapel tepat di kepala bebek itu. Aku melihatnya menggelepar…. Aku mendengar suara rintihannya….”

“Bebek itu…. Nasib burukku….”

Dari cerpen yang disuguhkan pada halaman pertama itu, Puthut sangat cantik mengungkapkan kebenaran dengan apa adanya tetapi tetap mencengang. Pembaca akan merasakan degup jantung karena kejutan yang hadir pada tiap cerita yang diungkapkan oleh Puthut. Dari cerpen pembuka ini, didapatkan bahwa bebek itu sebagai simbol “dibalik bungkaman makhluk yang tak berbicara” atau sebut saja dengan kata modern bahwa bebek itu sebagai simbol “karma” sehingga menjadi awal keburukan hidup yang dialami oleh lelaki itu karena tidak mengaku atas kesalahannya. Ya, dalam prolog Silvya Tiwon juga disebutkan, “Beruang dan bebek tidak benar-benar berbicara seperti kancil, singa, gajah dan burung bayan (nuri) dalam cerita-cerita yang sudah kita kenal itu. Tetapi melalui makhluk tak berdosa, penulis mencipta kembali arus imajinasi belia yang pada setiap kelokan harus bergelut dengan wacana orang dewasa,…..”.

Dalam buku kumpulan cerpennya, Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali. Terdapat lima belas cerpen yang sangat menarik dan penting diketahui. Tidak hanya asal bercerita, Puthut juga mengajak untuk mengingatkan kembali peristiwa yang membawa luka, yang sampai sekarang menjadi sejarah. Seperti pada cerpen “Retakan Kisah” yang kental dengan peristiwa masa lalu penuh luka dan kekejaman. Cerita itu mengisahkan seorang perempuan berprofesi guru di sekolah. Tetapi dipenjara dan diperiksa secara paksa karena dianggap seorang komunis dan akan menyebarkan ajaran tersebut. Pemeriksaaan itu berlangsung secara tidak senonoh dengan lontaran kata kasar, kekerasan sampai pelecehan seksual oleh para petugas polisi. Setelah dimasukkan ke penjara pun, ia diperlakukan keji oleh para lelaki dengan pelecehan seksual dan didokumentasikan! Dengan pengungkapan kekerasan yang begitu detail, pembaca akan ikut merasakan dendam, haru, merasa tidak tahan atas perlakuan tak terhormat para petugas dan lelaki itu. Spontan kita ikut setuju pada harapan sang wanita ini yang penuh rasa benci, trauma dan dendam. Campur aduk.

“Sampai sekarang hanya satu yang saya tunggu, janji Tuhan tentang keadilan. Saya tidak apa-apa menunggu sampai hari pembalasan yang dilakukan oleh Tuhan. Saya ingin tahu, seperti apa itu, dan apa yang dilakukan Tuhan pada orang-orang itu…”

Selain mengingat adanya peristiwa keji tersebut, Puthut tampak mengajak melakukan perlawanan seperti pada cerpen “Rahasia Telinga Sastrawan Besar” dan “Berburu Beruang”. Pada cerpen yang pertama menunjukkan bahwa sang sastrawan adalah sosok misterius yang telah meninggal dunia, seseorang mempertanyakan apakah telinganya benar-benar rusak atau hanya bentuk perlawanan terhadap rezim yang mencoba menggulungnya. Setiap apa yang ditanyakan oleh rezim itu, sang sastrawan ini selalu merespon: “Keraskan suaramu! Telingaku tidak bisa mendengar dengan baik karena dipopor oleh tentara!” Akhirnya, rahasia ini membuka celah untuk terbongkar sampai pada kesimpulan :

“Dia melawan bukan hanya dengan tulisan-tulisannya, dengan buku-bukunya. Dia melawan bahkan dengan tubuhnya! Ia membuat sebuah drama!” Tetapi tetap saja tidak dapat dikonfirmasi kebenarannya karena yang bersangkutan telah menghadap Tuhan. Sangat misterius!

Sementara pada cerpen yang kedua bentuk ajakan perlawanan oleh Puthut sangatlah jelas!

“Latihlah terus imajinasimu, perkuat daya hidupmu dan terus asahlah daya ciptamu. Kamu boleh terdesak, boleh mundur, tapi kalau kamu punya tiga hal itu, kamu tidak akan mudah ditaklukan!”

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Puthut merupakan penulis intelek. Dari semua cerpen yang ada di buku ini, dominan mengandung cerita-cerita perlawanan, keterbukaan terhadap perspektif kehidupan lewat peristiwa yang sederhana, dan peristiwa masa lalu penuh luka serta misteri kehidupan sesorang. Cerita-cerita yang disuguhkan berbeda dari penulis cerpen lainnya. Puthut mampu berimajinasi diiringi cerita dan isu penting. Betapa inteleknya Puthut dalam membungkus sebuah cerita yang sederhana dan ringan tetapi tetap menggugah pembaca baik itu rasa haru, sedih, senang, dendam dan lain-lain. Puthut juga hebat dalam mengajak pembaca agar mencari tahu akar permasalahan dari setiap cerita. Selain mengingat, Puthut juga mengajak kita mencari dan mendalami suatu peristiwa yang sudah terjadi yang akhirnya menimbulkan kesimpulan bahwa kita harus melakukan perlawanan dengan tiga modal yaitu, yang sudah disebutkan di atas pada cerpen “Berburu Beruang”. Sekali lagi, tiga modal untuk melakukan perlawanan adalah : imajinasi, daya hidup dan daya cipta!

Senada dengan epilog M Aan Mansyur di bagian akhir buku ini, yang mengutip lewat cerpen yang sama, ia menyebutkan bahwa strategi yang ia tempuh dalam buku ini membuat kita ingin berteriak keras. “Seperti mengeluarkan dendam, Seperti menancapkan serangan maut ke jantung kekuasaan…..” []

Comments

comments