Nasionalisme dan Sepak Bola

374

Oleh: Faika Muhammad A*

Beberapa tahun kebelakang, tepatnya saat 2014, penulis pernah mendengar celotehan dari salah satu pengamat olahraga di salah satu televisi swasta. Dalam percakapannya, dia menyatakan, sepak bola adalah pembangkit nasionalisme terakhir yang paling gampang untuk dimunculkan. Tanpa perlu perang dan sebagainya, rasa memiliki bangsa akan muncul dengan sendirinya.

Yang bersangkutan bicara bukan tanpa dasar. Dalam pengamatannya, sepak bola memberi tempat bagi lahirnya kebanggaan pada negaranya. Contoh paling kecil, orang Indonesia akan bangga tatkala tim nasionalnya menang atas Malaysia, misalnya.

Jika dikaji lebih lanjut, pernyataan si komentator ada benarnya. Coba perhatikan dalam beberapa pertandingan sepak bola. Dalam Euro 2016 misalnya, fans England atau biasa disebut Holligan menyanyikan lagu God Save the Queen penuh semangat. Sesuatu yang mungkin sulit kita jumpai dalam momen lain. Tengok juga tatkala tim nasional Indonesia bermain. Jika awalnya, The Jack dan Bobotoh sering terlibat konflik, atau Aremania dan Bonek sering bersitengang, dibawah nama Indonesia, mereka terlihat akur. Seakan, pertikaian antar suporter di atas tak pernah terjadi. Yang paling mengharukan mungkin adalah dinyanyikannya Aegukka oleh pemain timnas Korea Utara pada piala dunia 2010 di Afrika Selatan. Pemain, ofisial bahkan suporter menangis haru tatkala lagu itu dinyanyikan.

Lalu hadir pertanyaan, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Mengapa sepak bola bisa memberi ruang bagi nasionalisme? Mengapa tidak ruang seperti bisnis kapital atau politik?

Dalam ilmu sosial, masyarakat punya sebuah identitas. Di sadari maupun tidak. Orang Sunda yang katanya someah (ramah) dan suka dandan, orang Jawa yang katanya suka makan yang manis-manis, termasuk orang Inggris yang terkenal antusias dalam banyak hal. John B Thompson pernah menulis, identitas-identitas itu butuh tempat untuk diperlihatkan dan butuh eksistensi. Identitas kebangsaannya pun demikian, dia butuh untuk diperlihatkan, ditunjukan dan eksis sehingga orang-orang tau, “Oooh ini adalah gaya orang Inggris” atau “Ini adalah ciri khas Rusia”.

Sepak bola, sebagai olahraga memberi ruang tersebut. Diekspos oleh media, dilihat jutaan umat manusia dan (saya rasa juga termasuk faktor penting) tidak terlalu menguras biaya, sehingga menampilkan identitas menjadi lebih gampang, jelas dan apa adanya. Berbeda dengan bisnis atau politik yang kepentingan golongan atau keuntungan golongan sangat mempengaruhi, sehingga kadang untuk menampilkan identitasnya menjadi terkesan lebih sulit. Apalagi bisnis, bukan rahasia jika kadang satu penyalur senjata misalnya menjual ke dua pihak yang bersengketa.

Lebih-lebih, ada sebuah pencapaian yang jelas dalam sepak bola, khususnya turnamen yang mampu membuat orang tersebut bangga atas negaranya. Kemenangan, baik dalam eksebisi maupun kejuaraan macam Piala Dunia atau Euro. Sehingga, dia bisa berbangga atas negaranya, contoh singkat saat Jerman menjadi juara dunia di Fifa World Cup 2014, warga Jerman ramai-ramai menulis kebanggaannya menjadi orang Jerman, ramai-ramai menulis hashtag #uberalles dan memuji negaranya.

Namun, rasa kebanggaan kadang dibuat berlebihan, sebuah sisi negatif yang disebut Chauvinisme -rasa kebanggaan atas negara yang berlebihan ikut termanisfestasikan di sepak bola. Jangan sampai bentuk kebanggan itu dibuat berlebihan hingga akhirnya berakhir dengan tindakan vandal maupun yang merusak, baik barang maupun hubungan antar manusia. Sepak bola rawan akan hal tersebut, identitas yang dibangun itu juga menjadi masalah, contohnya, supporter Persija, The Jak dengan Persib, Bobotoh. Karena merasa memiliki identitas yang kuat, mereka malah bermusuhan.

Singkatnya, manifestasi dari nasionalisme dalam olahraga adalah sesuatu yang harus dijaga, sebagai bentuk dari kebanggan atas negara, tanah air, motherland kita sendiri. Orang luar harus tau siapa kita, salah satunya dari sepak bola. Namun, tentu saja tanpa merugikan pihak yang tak seharusnya merugi. Mari kita jaga nasionalisme dan pertandingan sepak bola itu sendiri dengan baik dan damai, karena bagaimanapun, kita adalah sesama manusia. Lagipula, bukankah hal yang berlebihan itu tidak baik dalam pandangan agama. []

*Faika Muhammad A, Mahasiswa Pendidikan Sejarah 2013

Comments

comments