Kisah Jamarun, dan Potret Kebenaran Lain yang Dimarjinalkan
Oleh: Nurul Yunita
Bumi Siliwangi, isolapos.com-Selepas adzan isya, kesibukan mulai tampak di pintu masuk Gedung Amphiteater UPI. Meja-meja tamu sudah berjejer rapi, penonton berbaris bersiap masuk ke gedung pertunjukan sambil mendengarkan arahan tata tertib dari panitia. Pertunjukan teater cahaya memintas malam (The Light Within a Night), menjadi penyebab antrean penonton itu. Pukul 19.45 WIB, penonton dipersilakan memasuki gedung. Tak lama berselang, pertunjukan dimulai.
“Kul…kul,” seru Jamarun kepada cangkulnya. Sudah berbulan-bulan, Jamarun tidak dapat menggunakan cangkulnya untuk bekerja. Sawah-sawah kering, sehingga tidak ada yang bisa dicangkul. Alur pertunjukan kembali ketika awal Jamarun memohon pada istrinya untuk membeli cangkul menggunakan uang tabungan mereka. Istri Jamarun tak menyetujuinya, ia ingin membeli tolombong (peralatan rumah tangga yang terbuat dari anyaman bambu,-red). Sementara itu, Jamarun bersikukuh untuk membeli cangkul. Alasannya sederhana, agar Jamarun dapat bekerja.
Namun akhirnya, hati istri Jamarun luluh, ia memberi uang tabungan mereka untuk membeli cangkul. Jamarun dan cangkulnya mulai bekerja. Ia mencangkul sawah-sawah milik penduduk desa, kemudian mendapat upah. Sayangnya, semua itu hanya kenangan. Saat ini, Jamarun ingin menjual cangkulnya. Cangkulnya tak berguna lagi.
Jamarun putus asa, ia memutuskan pergi ke desa sebelah untuk memancing. Belum lama ia memancing, Jamarun berteriak “Tolong…..tolong…” ujarnya. Jamarun menemukan sesosok mayat perempuan. Warga desa tempat Jamarun memancing, mulai berdatangan. Mereka terkejut, Jamarun dituduh membunuh mayat perempuan itu. Jamarun mengelak, ia hanya memancing di sungai, bukan pembunuh. Warga desa tak percaya, Jamarun dianggap orang asing dan bersalah. Jamarun di hukum gantung.
Kisah Jamarun, merupakan kisah inti yang ditampilkan dalam pertunjukan teater yang diselenggarakan atas kolaborasi La Trobe University Student Theatre and Film, Mainteater Bandung dan Teater Lakon. Sahlan Mujtaba, sutradara Cahaya Memintas Malam yang ditemui sehabis pertunjukan menuturkan, pemilihan tokoh Jamarun karena cerita rakyat Jamarun dari Cianjur sudah mulai dilupakan. “Saya kira kalau Sangkuriang itu kan masih banyak orang yang mengingatnya. Saya pilih yang kira-kira sudah mulai dilupakan,” ujarnya.
Berdasarkan catatan sutradara, alasan lain dipilihnya hikayat Jamarun ialah sebagai alat refleksi yang belum lekang di situasi sekarang. Soal hukum dan peradilan, adagium “tumpul ke atas-tajam ke bawah” tidak lagi hanya mengacu pada kedudukan tinggi-rendah tetapi juga mayoritas-minoritas. Seperti kini marak terjadi, mayoritas berwatak fasis, menjadi pemilik sekaligus penentu “kebenaran” tunggal. Sehingga, “kebenaran lain” terpendam, menciptakan kepasrahan.
Dalam pertunjukan itu juga ditampilkan kisah kebudayaan Indonesia dan Australia. Adegan memakan tumpeng bersama, menjadi khas Indonesia. Sedangkan satu aktor Australia, Blayne menceritakan pengucilan bagi anak yang berasal dari keluarga campuran Aborigin dan kulit putih. Pertunjukan teater Cahaya Memintas Malam yang digelar Senin (13/02) untuk media, dan untuk umum Selasa-Rabu (14-15/02) lalu di Amphiteater UPI Bandung itu, akan menggelar pertunjukan pula di Bali dan Australia.
“I don’t wanna go home,” tutur Blayne Welsh saat ditanyai perihal kesan setelah bekerja sama mementaskan teater bersama orang Indonesia serta selama berada di Indonesia. Sementara itu, Tria Hayati dari teater Lakon menuturkan, baginya garapan kali ini amat berbeda dari pertunjukan yang pernah ia lakoni serta menambah pelajaran baru di bidang teater. Tria juga menambahkan, dirinya jadi lebih mengetahui budaya dan kehidupan di Australia. “Dan jadi tau bagaimana teater diluar negeri, awesome!”, tuturnya.