Sopan Santun Perlu Teladan Lintas Zaman
Oleh: Nurul Azizah
Sopan santun merupakan karakter yang telah melekat di kalangan masyarakat Indonesia. Mulai dari sikap ramah hingga unggah-ungguh atau adab kepada sesama yang telah menjadi hal penting warisan turun temurun. Misalnya saja, kita dibiasakan mengenal bahasa-bahasa yang berdasarkan tingkat ‘kehalusan’ nya tergantung pada siapa kita berbicara. Juga budaya bertegur sapa antar sesama. Semua itu, diajarkan baik dari orangtua hingga lingkungan sosial yang menjaga kelangsungannya. Tak terkecuali para pendidik.
Namun sepertinya zaman telah berubah, ketika gempuran teknologi dengan berbagai rupa seperti sinetron hingga sosial media tidak diimbangi dengan kemampuan pendidik dalam menjangkau tuntutan zaman. Sehingga, permasalahan mengenai sopan santun menjadi tantangan lintas zaman pendidik yang membutuhkan usaha lebih keras dan cerdas. Maka dari itu, Nurul Nur Azizah, reporter isolapos.com melakukan wawancara dengan Uman Suherman, Guru Besar Bimbingan Konseling UPI di kantor PPB, FIP UPI, Jumat (24/2). Berikut adalah bincang isolapos dan Uman Suherman
Terkait dengan sopan santun, apa yang berbeda dengan sistem pendidikan dulu dan sekarang?.
Sebetulnya, kalau pendidikan yang dulu dan sekarang itu kan tidak berubah. Yang ada kemungkinan berubah itu adalah pada proses interaksi antara pendidik dengan peserta didik, ada kemungkinan ada suatu yang beda pada tahap proses. Jadi pada saat pendidik lebih menekankan pada penguasaan materi, sehingga yang memacu karakter kan tidak tersampaikan. Pada saat karakter disampaikan, itu kan tidak cukup jika hanya disampaikan sehingga harus ditunjukkan oleh pendidik.
Berarti saat ini masih perlu diperbaiki lagi?
Ya masih perlu, bagaimana pendidik itu di kelas tidak hanya cukup menyampaikan materi, tetapi juga perlu membentuk watak dan karakter yang membangun peradaban sehingga peserta didik itu bermartabat. Sehingga, akan timbulah sopan santun.
Kalau dari pengaruh sosial media atau media yang dikonsumsi, bagaimana Pak?
Nah itu, guru juga kurang menanamkan itu, ditambah dengan pengaruh sosial media yang dapat mengikis sopan santun. Sedangkan pendidik banyak yang tidak bisa menjangkau teknologi itu.
Bagaimana “kacamata” psikologi melihat sopan santun?
Dalam konteks psikologi itu gini, menyampaikan sesuatu ke orang itu harus dengan melakukannya. Jika tidak begitu, tidak akan didengar oleh anak jaman sekarang. Proses itu disebut meniru. Yang namanya pendidik, harus lebih awal melakukan di banding muridnya. Termasuk dalam hal sopan santun. Contohnya, pada saat melihat anak didik kita, kita sapa dan ucapkan salam terlebih dahulu.
Tapi, adakah upaya dari UPI sendiri untuk mempertahankan nilai sopan santun?
Oh ada, yang pertama, kita kan selalu berpegang pada tiga pilar moto yang ada; ilmiah, edukatif, religius, ya kan? Kita tidak hanya sebagai lembaga pendidikan tinggi, tapi kita juga punya tugas yang lebih besar. Oleh karena itu kita melakukan pembinaan terhadap mahasiswa kita, bukan hanya secara intelektual tapi menyangkut juga tentang akhlak dan sopan santun. Misalnya pada program tutorial, kemudian ada Pembimbingan Akademik, wali mahasiswa dan sebagainya.
Tantangan dan ancaman terbesar dari pembinaan sopan santun apa?
Yang paling besar itu bagaimana keteladan itu tumbuh kepada anak didik kita. Karena media sosial kan sudah tidak bisa dilarang. Kalau dulu godaannya bioskop, kalau sekarang adalah internet. Saya duga, anak SD, walaupun saya tidak melakukan survey secara menyeluruh, saya yakin mereka pernah menonton foto-foto yang tidak baik di HP. Kecuali jika memang akses itu sudah dibatasi, dilindungi dengan tidak bisa menonton konten tertentu.
Jadi, apa yang bisa membentengi?
Yang membentengi itu ada dua, bagaimana UPI bekerjasama dengan orangtua. Bagaimana setiap ajaran tahun baru, orangtuanya diundang bukan hanya untuk meminta sumbangan, tapi kita membicarakan pembangunan karakter dan sopan santun peserta didik yang ada di sini. Juga di sini, kemampuan pendidik dalam menguasai teknologi yang up to date juga sangat diperlukan. Agar tidak kecolongan.
Berarti masih menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi UPI?
Betul, walaupun sebenarnya dari UPI juga sudah mengharuskan adanya Ikatan Keluarga Orangtua Mahasiswa (Ikom). Itu UPI bukan mewacanakan, tapi mengharuskan. Tapi kan, yang lebih bagus lagi bukan sekedar Ikom-nya, tapi adanya sebuah pemahaman yang sama. Jadi kalau anak didiknya ingin jadi anak yang sholeh, orangtua juga harus berusaha untuk menjadi sholeh. Ingin anaknya sopan dan santun, berarti orangtuanya juga harus sopan dan santun. Karena itu, setiap semester kami juga menyampaikan laporan kepada orangtua.
Lalu, untuk para lulusan UPI harapannya, bagaimana sih agar mereka bisa menyampaikan sopan santun itu sebagai pendidik?
Kalau jadi pendidik itu gini, mereka bukan hanya secara teori tetapi juga harus menerapkannya sebagai budaya sopan santun kepada peserta didiknya. Bukan hanya paham, tapi juga harus bisa mengkomunikasikannya, baik menurut aturan, menurut agama ataupun budaya yang ada. Jangan lupakan, kita dibesarkna di lingkungan pendidikan, jadi haruslah lebih terdidik. Dan, sopan santun haruslah menjadi keteladanan bukan hanya sekedar teori. Juga, pendidik harus mampu memahami teknologi sebagai produk zaman.[]