Pemberangusan Buku, Sikap Apriori Berlebihan

297

Laporan Diskusi Bulanan Bincang Isola “Pelarangan Buku dan Ancaman Dunia Pendidikan”

Oleh: Tim Redaksi

Bumi Siliwangi, isolapos.com-

Maraknya pelarangan bahkan pemberangusan buku yang ditengarai berbau ‘kiri’ bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, publik utamanya para literer buku juga dibuat gaduh dengan aksi pihak berwenang melarang terbit dan beredarnya buku-buku tersebut. Arsipatoris sekaligus aktivis Masyarakat Literasi Yogyakarta Muhidin M Dahlan, mengemukakan bahwa pelarangan hingga tindakan-tindakan seperti yang terjadi saat ini sudah seperti sebuah ‘festival’ yang digelar secara ajeg, regular, terus menerus bahkan laten.

“Ini bukan kali ini saja. Saya mengalami pada tahun 2001, buku saya dibredel. Tahun 2009, buku saya dilarang oleh Negara, ketemu lagi tahun 2016,” ucapnya membeberkan.

Bukan hanya buku-buku saja yang menjadi sasaran pelarangan. Ruang diskusi dan dialog yang menjadi aula pertemuan pemikiran pun latah dibungkam jika menyoal komunisme. Aktivis Literasi Bandung Anton Kurnia mengatakan,  bukan hanya aparat yang turun merangsek memecah ruang diskusi, namun juga dilakukan oleh organisasi masyarakat. “Di Jakarta ada satu peristiwa, Asian Literaty Festival, hampir dibubarkan. Mereka mengatasnamakan aliansi muslim. Jadi aparat tidak terus terang, mereka menggunakan ormas-ormas. Dalam hal ini Ormas Islam,” pungkasnya.

Bahkan situasi ini, menurutnya, semakin keruh dengan adanya kecurigaan bangkitnya pergerakan komunis yang turut meresahkan masyarakat. Lebih jauh, kecurigaan itu bahkan telah menciptakan tekanan bagi masyarakat. “Di Ternate ada mahasiswa menggunakan kaos PKI, padahal itu maksudnya Pecinta Kopi Indonesia. Mereka digrebeg dan ditetapkan sebagai tersangka,” sesalnya.

Menanggapi hal itu, Zen Rs, seorang penulis yang merupakan founder panditfootball.com menuturkan, pelarangan buku dan segala bentuk pemberangusan hal-hal yang berbau kekiri-kirian bukan lagi seperti sebuah festival, namun sudah sebagai ‘ritual ibadah’. “Saya kira bukan lagi festival, tapi ini adalah ibadah. Semakin banyak membakar buku semakin banyak pahalanya,” sindirnya.

Konspirasi Elit dan Ketakutan “Hantu” Komunisme

Pelarangan buku dan segala bentuk aktivitas kekirian yang saat ini terjadi, mengisyaratkan adanya sebuah ketakutan akan sejarah kelam di masa lampau. Sejarah kelam dan berdarah yang bersinggungan dengan Partai Komunis Indonesia memang sudah usai, namun bayang-bayangnya kapan saja dapat dimunculkan bagai “hantu” .

Ilham dari buruan.co, salah satu peserta diskusi yang hadir juga mengemukakan pendapatnya tentang isu ketakutan yang dimunculkan itu. “Ketakutan kita begitu mengakar tentang komunis. Produk-produk budaya ikut melegitimasi. Maka saya tidak heran dengan FPI (Front Pembela Islam,-red) yang saat ini masih anti dengan komunis,” ungkapnya.

Menanggapi hal itu, Ahda Aktivis Literasi Bandung mengatakan bahwa satu hal yang perlu dipahami bahwa komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah hal yang berbeda. Sehingga kita harus memandang segala sesuatu secara holistik. Bagaimana komunisme terjadi di Indonesia menurutnya perlu dipelajari sejak politik global yang terjadi semenjak Perang Dunia II. Ia melanjutkan, ketakutan yang dimaksud adalah ketakutan politik ingatan.

“Adanya politik ingatan yang terjadi terus menerus. Menjadi sebuah hantu yang sangat menakutkan. Justru yang tidak siap adalah elit,” tangkisnya.

Zen pun mengamini hal itu. Ia menilai bahwa sejarah perebutan kekuasaan masa silam itu didramatisir supaya menimbulkan ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Para elit yang merasa kepentingannya terguncanglah yang paling terganggu akan isu komunisme ini. “Orde baru tidak belum benar-benar pergi, karena jantungnya Golkar yang tidak berhasil dibubarkan. Itu yang menjadi mutasi genetik yang menjadikan anti komunis tetap diteruskan, ” ujarnya.

Menyuburkan Literasi dan Ruang Diskusi

Menyembuhkan kesakitan masa silam komunisme, hendaknya bukan dengan arogansi memberangus ilmu pengetahuan atau pun membungkam ruang bersuara. Tapi, kita perlu berdamai dengan masa lalu dan mempelajari sejarah dengan adil. Sehingga, antar generasi bangsa ini tidak menjadi bodoh dan memperbodoh demi melanggengkan kepentingan pihak-pihak tertentu. Masa lalu perlu dipelajari untuk sama-sama membangun masa depan Indonesia lebih baik.

Anton Kurnia mengatakan bahwa literasi buku dan sejarah perlu ditingkatkan. Di tengah rendahnya minat baca ini, pemerintah seharusnya mendorong peningkatan literasi nasional. “Di tengah situasi yang seperti ini, seharusnya pemerintah mencari cara bagaimana meningkatkan literasi nasional. Padahal bulan Mei juga merupakan sebagai bulan pendidikan,” katanya.

Deny Darmawan yang merupakan dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menuturkan, mempelajari segala macam ilmu pengetahuan adalah sebuah keharusan. Sehingga melalui proses membaca dari berbagai macam sumber itulah yang menjadikan manusia adil dalam menyikapi sesuatu. “Jangan sampai hal itu (bakar buku-red) tidak pro kemajuan ilmu pengetahuan,” tuturnya.

Lebih lanjut Zen menambahkan, dengan kondisi bangsa yang dibangun dengan rezim assesment (tes) ini, pemahaman tentang makna proses belajar perlu semakin ditingkatkan. Karena menurutnya, perkembangan sejarah, politik, dan ideologi bangsa perlu ditinjau dengan proses yang benar dan tidak tergesa-gesa. “Kita juga memerlukan buku untuk menguji berbagai kepercayaan, keyakinan. Itu tidak tumbuh dalam tradisi pendidikan buku kita,” imbuhnya.

Bahkan Muhidin M Dahlan yang akrab disapa Gusmuh ini menawarkan adanya literasi tentang komunisme. Menurutnya, langkah itu perlu dilakukan karena selama ini publik terlalu ‘kenyang’ dengan sisi-sisi negatif mengenai komunisme. Namun, hal baik yang dapat diadopsi untuk kebaikan absen disuarakan. Jika pun ada, masih kalah nyaringnya dengan suara-suara yang menganggap komunisme itu melulu negatif.

“Salah satu amal baik, yang mungkin mengagetkan anda adalah PKI taat hukum. Dia minta namanya dibersihkan lewat jalur hukum dan menang. Lalu dia juga menerima pancasila. Awalnya dia mempertahankan kebebasan beragama, namun akhirnya dia mempertahankan ketuhanan yang maha Esa. Saya kira perlu ada literasi komunis,” ujarnya sambil berseloroh.

Penyediaan akses literasi pengetahuan juga perlu mendapat perhatian Pemerintah. Penulis dan penerbit sebagai insan yang melahirkan buku pun sudah semestinya diberikan kesejahteraan untuk mendorong penyediaan buku yang berkualitas.

Selain itu, Rama Direktur Dewantara Institute yang juga kolektor buku mengemukakan bahwa ruang-ruang diskusi dan komunitas literasi perlu ditumbuh suburkan. Dialog itulah yang nantinya akan menjadi filter dan gawang akan arus pengetahuan yang bergulir. “Kita harus belajar hidup dengan musuh demokrasi. Kita harus paham hitam putih. Kita harus tau persis ‘bau’ komunis itu seperti apa.” ucapnya.

Pernyataan itu juga didukung Ahda Imran, ia mengatakan bahwa bangsa Indonesia ini dibangun dengan berdialog, para pendiri bangsa ini membangun bangsa dengan dialog. Hatta mempelajari Das Kapital sampai khatam namun, dia bukan komunis. Pendidikan bagai taman tidak hanya bisa hadir dengan satu bunga saja. Namun dengan berbagai macam bunga yang artinya adalah beragam pemikiran pun dapat tumbuh disana. Maka sebelum menghakimi sesuatu itu salah,  harus terlebih dahulu memahami secara adil dan benar dengan menyuburkan literasi dan ruang dialog. “Bagaimana kamu bisa tahu (buku itu berbahaya -red), kalau tidak tahu bukunya. Bagaimana bisa juga kamu mengharamkan?” ucap Ahda sambil menirukan apa yang dia lakukan tatkala dirinya dihadang organisasi massa yang hendak membubarkan monolog Tan Malaka, Maret lalu. []

Comments

comments