Memahami Sisi Lain Telembuk
Oleh: Muhammad Abdul Aziz
Judul : Telembuk Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat
Penulis : Kedung Dharma Romansha
Penerbit : Indie Book Corner
Tahun Terbit : 2017
Tebal Buku : xiv + 414 hlm
Diva Fiesta, seorang penyanyi dangdut tarling dari grup organ tunggal Langlang Buana. Ia tak hanya bekerja sebagai penyanyi, tapi bekerja pula sebagai seorang telembuk. Telembuk sendiri memiliki arti pekerja seks komersial dalam bahasa Indramayu. Diva Fiesta menjadi idola tiga orang pemuda desa yaitu Aan, Govar dan Kriting.
Tak hanya menyoal Diva Fiesta. Kisah Aan, Govar dan Kriting terhubung dengan kisah Safitri. Safitri merupakan primadona Cikedung, yang juga seorang penyanyi qasidah. Safitri jatuh cinta dengan Mukimin, ustadz muda yang begitu mengidolakan Zainuddin MZ. Sayangnya, kisah cinta Mukimin dan Safitri kandas, sebab Safitri tiba-tiba menghilang dari Cikedung.
Beberapa tahun kemudian, Aan, Govar dan Kriting berhasil menemui Safitri kembali. Mereka berusaha mengajak Safitri untuk kembali ke Cikedung. Semenjak Safitri menghilang. Kondisi keluarga Safitri hancur. Ayahnya meninggal, ibunya sakit keras.
Selepas ditinggal Safitri, Cikedung banyak berubah. Mukimin, kini diceritakan sebagai anak yang nakal, meminum minuman keras, berjudi dan berganti perempuan. Kemunculan tokoh Pipit, janda beranak satu yang disukai Mukimin menimbulkan banyak pertanyaan pada pembaca. Aan, Govar dan Kriting mencurigai Pipit ialah Safitri yang juga Diva Fiesta. Tetapi, kecurigaan mereka tidak terjawab.
Telembuk menghadirkan fenomena dunia pekerja seks komersial daerah pantai utara (pantura). Kehidupan sosial masyarakat di daerah Kabupaten Indramayu, tepatnya di Kecamatan Cikedung menjadi latar yang diceritakan sepanjang novel. Mayoritas masyarakat Cikedung bekerja sebagai petani. Adanya pesta panen, tak lepas dari hiburan dangdut tarling. Cikedung juga tidak lepas dari kebiasaan nelembuk.
Kedung Darma menyajikan novel ini begitu lengkap tidak hanya kisah para tokohnya namun kondisi sosial, budaya hingga politik Cikedung disampaikan sesuai kondisi pada tahun-tahun itu. Bahasa lokal yang disajikan pada beberapa penggalan cerita menjadi bumbu pelengkap membawa pembaca seperti berada di Cikedung dan mengenali tokoh-tokoh begitu dekat. Namun kisah yang belum selesai ini memberikan kesan yang unik bagi pembaca karena pembaca dibawa semakin dekat dengan konflik dan menumbukan rasa simpati kepada tokoh-tokoh yang ada.
“Akeh lara ati ing wong, namun saking duriat”
(Hati sering disakiti orang hanya karena asal usul dan derajat kita)
—Sunan Gunung Jati