Maraknya Kasus Pencurian Umur dalam Turnamen Bulutangkis di Indonesia
Oleh: Deris Maulana
*) Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana UPI Prodi Pendidikan Olahraga 2017
Permasalahan pencurian umur dalam cabang olahraga di Indonesia khususnya bulutangkis masih belum bisa dihilangkan hingga saat ini. Ini adalah masalah klasik, sudah berulang kali bulutangkis Indonesia tersandung hal serupa, yaitu terjadinya kasus pencurian umur atlet. Dalam empat tahun terakhir, PB PBSI sudah tiga kali memberi sanksi terhadap atlet muda yang ketahuan mencuri umur atau memalsukan data usia mereka.
Pertama terjadi pada tahun 2015, dua atlet muda dari klub yang berbeda di skors karena hal ini. Mereka adalah atlet PB. Bintang Badminton Bogor, atas nama Zoelvanka Andriansyah, yang diberi sanksi larangan mengikuti kejuaraan resmi PBSI selama kurun waktu dua tahun lamanya. Zoelvanka terbukti memalsukan data kelahirannya dari 1998 menjadi 1999.
Atlet lainnya adalah Ghea Kamahamas Pratama Putra, diberikan sanksi larangan tidak boleh mengikuti kejuaraan resmi PBSI selama empat tahun lamanya, karena memalsukan data dalam akte kelahirannya. Dalam akte kelahiran No. 851/1995 yang diterbitkan Kepala Kantor Catatan Sipil Kab. Cilacap, Jawa Tengah, atlet asal PB. Exist Jakarta ini diketahui lahir pada tanggal 11 April 1995. Akan tetapi dalam surat pernyataan yang dibuatnya, Ghea mengatakan lahir pada tanggal 16 Maret 1997.
Pada Oktober 2016, PBSI kembali menemukan hal yang serupa. Kali ini tiga atlet ketahuan memalsukan dokumen data lahirnya dengan mencuri umur. Ketiganya yaitu, Della Apriya Anggraini (PB. FIFA Badminton Klub Sidoarjo), Imka Putrama Arlin (PB. Djarum Kudus), dan Tiara Ayuni Wulandari (PB. Exist Jakarta). Ketiganya diberikan sanksi tegas oleh PBSI dengan hukuman yang berbeda, mulai dari denda Rp. 20-40 juta, hingga larangan bermain untuk tidak mengikuti kejuaraan resmi yang diselenggarakan oleh PBSI selama tiga sampai empat tahun lamanya.
Terakhir terjadi pada tahun 2017, dimana ada empat atlet yang diberikan hukuman. Keempat atlet tersebut adalah Tabita Christian PB. (Hiqua Wima Surabaya), Cahya Kristian Banjarnahor (PB. Jaya Raya Abadi Probolinggo), Muh. Farhan S dan Dhiva Ramadhan 9PB. Djarum Kudus).
Rata-rata, modus yang dilakukan para atlet ini sama dengan Zoelvanka maupun Ghea. Cara agak beda dilakukan Farhan dan Dhiva. Seperti yang dikutip dari Tempo.co Farhan terbukti menggunakan dokumen kelahiran palsu atau illegal yang tidak tercatat pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat. Sedangkan Dhiva, terbukti memanipulasi dokumen kelahiran dengan menggunakan akte kelahiran orang lain.
PBSI Harus Serius Berbenah
Kasus ini sangat mencoreng wajah bulu tangkis Indonesia. Pencurian umur merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. Selain mencoreng sportivitas yang mengandung nilai kejujuran di dalamnya, aksi tersebut jelas mengganggu program pembinaan atlet.
Terganggunya program pembinaan karena pemalsuan data atlet seperti dijelaskan Rachmat sangat berpengaruh pada program latihan yang diberikan. Menurutnya bila usia atlet tidak teridentifikasi dengan benar maka program latihan yang diberikan juga tidak benar.
Dengan alasan tersebut, dan demi kepentingan bulu tangkis Indonesia, pihaknya akan mengambil langkah tegas. Ketegasan itu untuk melindungi atlet yang jujur akan usianya sekaligus menindak berbagai perilaku tak terpuji yang mencederai nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Beberapa langkah preventif pun telah diambil PBSI. Pertama, mengoptimalkan penerapan Sistem Informasi PBSI dengan memperketat tahap verifikasi data kelahiran. Seorang atlet wajib menyerahkan tiga data primer yakni akte kelahiran, kartu keluarga dan ijazah. Bila diperlukan PBSI akan meminta data-data sekunder seperti Nomor Induk Siswa Nasional (NISN), surat kenal lahir, dan dokumen terkait lainnya.
Kedua, terkait program pemutihan data/usia atlet. Menurut Rachmat PBSI akan memberikan kesempatan terakhir kepada atlet atau pihak orangtua atlet untuk melaporkan diri atau membuat pengakuan jika telah melakukan pemalsuan umur.
Oleh karena itu, pada awal tahun 2017 PBSI membuat program pemutihan atau yang disebut sebagai pengampunan bagi mereka yang mengaku dan mengkoreksi data kelahirannya. Program tersebut berlaku hingga pertengahan 2017.
Berhasil tidaknya langkah ini tidak hanya semata-mata bergantung pada satu dua pihak semata. PBSI sebagai induk organsisasi tepok bulu adalah pihak yang menelurkan regulasi dan pengambil keputusan. Selain keinginan baik dan konsistensi pelaksanaan dan penegakan hukum, peran serta pihak-pihak lain sangat penting.
Mustahil aksi pencurian umur benar-benar diberangus dengan hanya mengandalkan PBSI. Upaya baik itu bisa saja berakhir dengan kenyataan yang sama bila tidak disokong oleh klub-klub, orang tua hingga instansi pemerintah terkait.
Setiap klub benar-benar harus diberi tahu tentang langkah pencegahan dan mendapatkan komitmen mereka untuk bersama-sama memerangi tindakan tak terpuji. Jangan sampai hasrat medapatkan bibit-bibit pemain potensial tercederai oleh tindakan curang. Mengetatkan seleksi masuk klub dengan menerapkan standar yang ada perlu dilakukan.
Selama ini klub-klub besar seperti Djarum, Tangkas, Jaya Raya, Exist, Mutiara, SGS dan masih banyak lagi telah menjadi tulang punggung pembinaan bulu tangkis di Indonesia. Dari klub-klub itu kita mendapatkan pemain potensial yang kemudian dipoles di Pelatnas untuk menjadi pemain bintang dan top level.
PBSI harus menjangkau tidak hanya klub-klub tersebut tetapi juga klub-klub lain di luar pulau Jawa yang selama ini tersisih hampir dari segala hal. Selain sosialisasi program penting tersebut, upaya tersebut pun dalam rangka menguatkan kemitraan dan mempererat kerja sama untuk membangun sistem pembinaan bulu tangkis Indonesia yang profesional, jelas dan terukur. Klub adalah mata rantai penting dalam program pembinaan sehingga masalah pada salah satu rantai bisa berakibat pada perputaran roda pembinaan bulu tangkis Indonesia.
Selain klub, kepada orang tua dan atlet bersangkutan harus disampaikan ikhwal kejujuran adminstrasi. Keluarga tidak hanya menjadi sasaran mendapatkan pemain, juga ruang penanaman nilai-nilai kejujuran dan profesionalisme. Mestinya dari ruang lingkup terkecil ini praktik-praktik positif dimulai. Jangan sampai nafsu orang tua membesarkan anaknya justru kontraproduktif dan malah membunuh kariernya.
Tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis yang bersangkutan