Di Bawah Tangan Perempuan

218

Oleh: Retno Ika Lestari Widianti*

Perempuan selalu terbayang-bayangi oleh label yang kurang lebih mengartikannya sebagai ‘makhluk emosional yang labil dan hanya menggunakan sedikit akal logis’.  Label tersebut juga sering melatarbelakangi perdebatan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Banyak pernyataan dan pertanyaan yang membandingkan keduanya, bahkan terjadi diskriminasi salah satunya. Pertanyaan dasar kemudian muncul seputar What about women?  dan Why then is all this as it is?. Setidaknya, dua pertanyaan tersebut mewakili perdebatan panjang kesetaraan gender.

Pada zaman Vedic 1500 SM, perempuan tidak mendapatkan harta warisan dari suami atau keluarga yang meninggal. Di beberapa zaman juga perempuan dinikahkan dini serta tidak mendapatkan pendidikan. Ada pula yang menganggap perempuan sebagai inferior, najis, bahkan sumber polusi. Anggapan-anggapan negatif tidak berdasar itu tertuju pada perempuan, sedikit-banyak telah berimbas pada kehidupan ‘korbannya’. Titik klimaks itu seringkali mempertanyakan pantas tidaknya jika seorang perempuan memiliki kekuasaan atau menjadi pemimpin.

What about women?

Ketika perempuan tidak hadir dalam perjuangan, pembangunan, atau situasi sosial lainnya, bukanlah karena tidak mampu. Tapi, karena terdapat hambatan yang menghalangi keterlibatan perempuan. Perempuan yang menjadi aktif dalam kebanyakan situasi sosial lebih sering diabaikan dan tidak diperhatikan. Keseluruhan peran perempuan (sebagai istri dan ibu yang pasif) membedakannya dari peran lelaki, sehingga memperoleh hak-hak istimewa dan bahwa perempuan subordinat dari lelaki. Menurut Ritzer, Ini salah satu indikator ketidaksetaraan lelaki dan perempuan.

Kehancuran Kerajaan Persia terjadi bukan karena pemimpinnya (Ratu Bilqis) adalah seorang perempuan. Pada masa itu, pendidikan untuk menjadi raja diberikan kepada anak laki-laki. Pun ketika pemimpinnya seorang Raja, belum tentu tidak terjadi kehancuran. Semua tergantung kecakapan dalam memimpin yang ditentukan oleh banyak variabel.

Di Mahabharata, kita mengenal Kunti, Drupadi, dan Satyawati. Di Selandia Baru, ada Jacinda Ardern. Selain itu, ada juga nama Halimah Yocob (Singapura), Margaret Thatcher (Inggris), Goldan Meir (Israel), Indira Gandi (India), dan Benazir Butto (Pakistan).

Valentjin yang menulis sejarah kepulauan Indonesia antara tahun 1641 dan 1699 menyebutkan lebih dari 50 tahun, kerajaan Aceh dipimpin oleh seorang Ratu. Di Indonesia juga muncul nama perempuan sebagai panglima perang wanita. R. A. Ageng Serang (1752-1828). Cut Nyak Dien (1850-1908), dan Cut Meutia (1870-1910) yang menentang penjajahan Belanda. Ada juga Ratu Bundo Kanduang (Minangkabau) dan Adji Siti (Kalimantan) yang memimpin pada abad ke-19. Nama-nama tersebut menjadi inspirasi karena mampu memasuki koridor sempit yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Tidak hanya dengan menjadi pimpinan negara, perempuan berkuasa atas berbagai cara.

Selain memimpin, perempuan-perempuan berikut telah mampu meningkatkan status perempuan di masyarakat. Sosok-sosok ini giat dalam pergerakan pendidikan, sosial, dan politik. Nyai Achmad Dahlan, R.A. Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El Yunusyah mendirikan sekolah dan/atau pesantren sebagai tempat pendidikan bagi perempuan yang saat itu kesulitan bersekolah. R.A. Kartini juga memberikan inspirasi perempuan melalui tulisannya dan Dewi Sartika berhasil mengusulkan pada pemerintah, sehingga didirikanlah Sakola Raden Dewi.

Melalui cara berjuang yang berbeda, Rangkayo R. Said (1910-1965) memilih aktif di bidang politik praktis. Ia menganggap bahwa kemajuan perempuan tidak hanya dilihat dari aspek pendidikan dan sosial saja, tetapi juga masalah politik. Kemerdekaan perempuan tidak hanya diterjemahkan sebagai pembebasan perempuan dari masa pingitan seperti cita-cita Kartini, tetapi harus dilanjutkan dengan ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan yang berarti ikut serta dalam bidang politik.

Why then is all this as it is?

Jawaban dari pertanyaan dasar kedua ini berkaitan dengan konvensi yang ada di masyarakat. Karl Marx mengatakan  bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh orang dalam masyarakat, yang mereka anggap sebagai kenyataan yang absolut dan universal, sebenarnya merupakan refleksi dari pengalaman sekelompok orang yang menguasai ekonomi dan politik di dunia sosial. Dalam konteks ini, pengetahuan yang berkembang di masyarakat atas ketidaksetaraan gender dipengaruhi oleh pengalaman kelompok yang mendominasi (lelaki). Pengetahuan tersebut berpengaruh terhadap kesadaran dan rasa peduli atas potensi yang dimiliki perempuan.

Secara ilmiah, segala sesuatu yang berkaitan dengan emosi dipengaruhi oleh otak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti di University Of Basel di Switzerland, struktur otak perempuan dan laki-laki berbeda. Bagian yang berbeda, terkait dengan kepekaan terhadap perasaan dan emosi. Bukan berarti seseorang perempuan tidak bisa lebih logis dari laki-laki, hanya memang kepekaan yang dimiliki perempuan atas emosi dan perasaan lebih tinggi. Itulah yang mestinya dipahami.

Persoalan stigma yang masih mempengaruhi kehidupan perempuan terletak pada kesadaran atas perbedaan antara kedua gender yang dibahas. Realitas yang ada berlandaskan adanya kategori nature (peran sosial dipengaruhi faktor biologis) dan nurture (peran sosial dipengaruhi faktor budaya). Padahal,  perbedaan secara fitrah tidak mempengaruhi kesetaraan, martabat, dan kelayakan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya, tidak juga mengutamakan satu jenis kelamin atas jenis kelamin lainnya.

Pada 1978, GBHN Indonesia telah mencantumkan peranan perempuan dalam pembangunan bangsa. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Namun, saat itu ternyata partisipasi perempuan masih saja rendah. Kemungkinan, hal ini disebabkan oleh adanya dikotomi maskulin-feminin dan peran publik-peran domestik, konsep beban kerja ganda, dan sindroma subordinasi yang menempatkan perempuan sekunder dalam masyarakat.

Adanya kedua dikotomi tersebut dapat mengakibatkan proses marginalisasi perempuan. Ini menunjukkan sindroma bahwa “peran perempuan adalah di rumah” masih mengakar. Konsep beban kerja ganda juga melestarikan wawasan bahwa tugas perempuan yang utama ialah menjadi ibu rumah tangga. Pernyataan ini menjelaskan posisi perempuan sebagai tenaga kerja –di rumah tangganya– tetapi tidak dibayar. Lain hal ketika perempuan mengerjakan tugas rumah tangga di tempat lain dan diberi imbalan. Inilah peran ganda yang dimaksud, karena menjalankan kewajiban rumah tangga dan bekerja di luar rumah –untuk mencari nafkah.

Di kemudian hari, segala bentuk diskriminasi tersebut dihapus melalui UU No. 7 Tahun 1984. Konvensi sebelumnya telah dilakukan ratifikasi. Artinya, Indonesia telah berkomitmen dan berkonsekuensi untuk melakukan affirmative action atas segala diskriminasi terhadap perempuan. Tentu saja mesti mengaktualkan bersama oleh masyarakat –termasuk mahasiswa. Maka, diharapkan perempuan dapat terpenuhi hak-haknya. Tentu saja, bukan untuk mendominasi kaum lainnya apalagi menindas, melainkan menjadikannya setara.

Kekuasaan memang menggiurkan, bahkan dapat memabukkan. Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama atas kekuasaan sebagai manusia yang potensial. Baik di bawah tangan laki-laki, maupun di bawah tangan perempuan, amanat dapat terlaksana.[]

 

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan

*Penulis adalah Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI 2017

Comments

comments