Oleh: Alwidya Syah
Sedikit (lagi) tentang Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim
Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) adalah kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, di bawah Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Kebijakan ini tidak lepas dari keputusan Konferensi Tingkat Tinggi Growth of Twenty (KTT G20), sejak G20 Tiongkok 2016, G20 Itali 2021, hingga G20 di bali 2022 yang menginginkan lembaga pendidikan untuk memobilisasi tenaga kerja (upah murah) lewat program apprenticeship and internship. Maka tidak heran, betapa program utama MBKM, kemudahan pembukaan program studi baru, perubahan sistem akreditasi perguruan tinggi, kemudahan perguruan tinggi negeri menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), dan hak belajar tiga semester di luar program studi, sebetulnya amat lekat dengan kepentingan kapitalis monopoli internasional: imperialisme.
Kampus merdeka yang dimaksudkan oleh Nadiem Makariem (dan rezim Jokowi secara umum) dalam analisis Ekonomi Politik akhirnya adalah Kampus Liberal: kemerdekaan kampus dan industri untuk memperoleh profit. Pihak yang paling diuntungkan dengan adanya MBKM adalah 300+ perusahaan besar multinasional, korporasi teknologi global, start-up dengan kapital minimum 50 juta United States Dollar (USD), dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tidak ada yang tersisa untuk mahasiswa selain uang saku dan kadeudeuh konversi SKS (yang sebetulnya problematik juga).
Mobilisasi Paksa
Kini muncul kabar diwajibkannya mahasiswa untuk mengikuti MBKM (bahkan ancaman hambatan kelulusan jika tak punya riwayat partisipasi MBKM, yang sebetulnya tidak relevan juga). Banyak curhatan mahasiswa yang mengeluh atas kabar wajibnya MBKM. Tidak semua mahasiswa mau ikut pemagangan atau program-program MBKM lain, sebab prioritas dan plan berkuliahnya juga berbeda-beda.
Kebijakan ini bukan hanya menimbulkan keluhan, tapi juga pertanyaan. Apakah mahasiswa semester akhir terdampak juga kebijakan baru ini, sementara sudah tidak ada lagi Sistem Kredit Semester (SKS) yang bisa dikonversi lewat MBKM (meski bisa saja diakali lewat kebijakan MBKM penyelesaian studi pengganti skripsi dengan publikasi artikel minimal SINTA 3). Pun, jika patokannya adalah semester, apakah mahasiswa yang sebelumnya sudah mengikuti program MBKM mesti ikut serta lagi? Belum lagi istilah wajibnya MBKM prodi; jadi double gitu?
Emang Kenapa?
MBKM mau-tidak-mau ngacak-ngacak kurikulum. Hal ini lebih jauh direspons dengan wacana pemadatan materi di semester awal, sehingga mahasiswa bisa lebih leluasa ber-MBKM di semester 6 dan 7. Meski mahasiswa juga punya tanggung jawab pribadi untuk mengoptimalkan pemahaman atas bidang ilmunya, dalam tataran kebijakan, hal subjektif kewajiban personal tidak bisa jadi jawaban. Bubarkan saja birokrasi kalau akhirnya kembali pada mindset.
Tanggung jawab mahasiswa mengembangkan ilmu pengetahuan fakultatifnya terhambat dengan mobilisasi paksa. Sebab, tidak semua kegiatan dalam program yang diikuti mahasiswa linear dengan bidang keilmuannya. Belum lagi learning loss yang mengancam peserta MBKM, membuat percepatan penyelesaian masa studi lewat konversi cenderung minim manfaat.
MBKM dikritik sebagai Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Keorganisasian (NKK/BKK) gaya baru bukan tanpa sebab. Turunnya minat berorganisasi mahasiswa hari ini tidak muncul tiba-tiba. Sikap suudzon mahasiswa, bahkan pada ‘tradisi’ dan ‘kultur’ organisasinya sendiri, adalah tanda tingginya pikiran kritis yang amat berpotensi maju. Namun, MBKM yang dikampanyekan menjadi alternatif bagi mahasiswa berkegiatan daripada ikut himpunan (komo deui demo) jadi salah satu faktor degenerasi organisasi mahasiswa. Apolitisasi mahasiswa nampak nyata dengan pemaksaan ini.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini mengikis tujuan MBKM sendiri. MBKM (dalam wujudnya sebagai hak belajar diluar program studi) adalah hak mahasiswa yang dapat diambil secara sukarela, dan kampus berkewajiban untuk menyediakannya. Jika semata-mata demi gengsi pemeringkatan universitas atau Indikator Kinerja Utama UPI, keikutsertaan mahasiswa bukan hanya pragmatis, tapi juga normatif. Namun, agaknya hal tersebut sudah dilakukan kampus sejak awal, tanpa malu.
Penutup
Kita tidak boleh menutup mata pada aspek positif dalam program MBKM: dia membuat mahasiswa mengenal dunia kerja sedikit lebih baik, dan menyediakan portofolio untuk memoles Curriculum Vitae (CV) mahasiswa kelak. Mahasiswa bisa belajar dari praktek (yang kalo dipikir-pikir juga sebetulnya positivis dan empiris, tidak se ilmiah itu), dan diapresiasi lewat konversi Sistem (SKS). Tapi, kita juga mesti jujur, bahwa mudhorot MBKM juga tidak main-main.
Sebagaimana birokrasi yang punya rencana strategis layaknya ideal manusia dewasa, mahasiswa juga demikian. Mereka tidak bisa (terus-terusan) jadi objek yang dihalau dari partisipasi kritik dan berekspresi, termasuk dalam kebijakan (MBKM). Maka, MBKM tetap harus jadi pilihan, sebagaimana judul nya. Solusi taktisnya, adalah mengupayakan agar MBKM (dan program karangan birokrasi) bisa menguntungkan tujuan mahasiswa. MBKM sebetulnya memfasilitasi pengurangan beban studi lewat kegiatan organisasi, meski informasi ini juga jarang diketahui banyak orang. Sebelum membahas teknis, mari definisikan apa yang sebetulnya mahasiswa (dan pendidikan kita) butuhkan, bukan menurut apa yang Nadiem dan rezim hari ini sangka.
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jepang Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra 2019