Perlawanan yang Tak Kunjung Usai: Dago Elos Never Lose
Oleh: Rahmah Azzahra dan Fria Sherly S
Bumi Siliwangi,Isolapos.com-Jumat (22/12), Senat Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) mengadakan screening film Dago Elos Never Lose sekaligus diskusi bertajuk “Upaya Mempertahankan Ruang Hidup di Tengah Masifnya Perampasan Lahan” yang dilaksanakan di Gedung PKM Gegeut Winda UPI Lt. 1. Diskusi tersebut dipantik oleh R. Kusnady-warga Dago Elos, Nazer-tim advokasi Dago Elos, dan Marlina-anggota Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI.
Film dokumenter berdurasi 27 menit 24 detik itu menggambarkan perjuangan warga Dago Elos sejak tahun 2016 sampai sekarang dalam mempertahankan tanahnya dari ketiga bersaudara keturunan Muller yang berkonsolidasi dengan PT. Dago Inti Graha.
Seperti yang diketahui sebelumnya, tanah yang selama ini ditempati warga Dago Elos secara turun temurun tiba-tiba digugat oleh tiga bersaudara yang mengaku keturunan Muller dan sebuah perusahaan properti bernama PT Dago Inti Graha.
Berbekal dengan sebuah Eigendom Verponding, yaitu sebuah alas hak kepemilikan tanah ketika Indonesia masih dijajah oleh Belanda dulu, Muller bersaudara mengklaim tanah yang ditempati oleh warga. Padahal, Eigendom Verponding sudah tidak berlaku lagi untuk dikonversi sejak 24 September 1980.
Dalam upaya perlawanannya, setelah sempat kalah di 2016 dan menerima kemenangan tahun 2019 pada putusan Kasasi Nomor 934.K/Pdt/2019, warga Dago Elos kembali dinyatakan kalah di bulan Mei 2022 pada putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 109/PK/Pdt/2022. Telah diputuskan dalam putusan PK tersebut bahwa warga Dago Elos itu harus meninggalkan lahannya tanpa penggantian dana sepeserpun.
Menanggapi hal tersebut, R. Kusnady sebagai salah satu warga Dago Elos yang kerap disapa Teh Ayang, menceritakan kondisi objektif Dago Elos hari ini (dari awal mula sengketa terjadi hingga peristiwa puncak 14 Agustus 2023 lalu). Ia memandang bahwa selain sisi finansial yang akan merugi, ada sisi lain yang jauh lebih tidak dapat digantikan oleh apapun yaitu memori.
Setelah putusan PK tersebut, warga Dago Elos tidak tinggal diam. Mereka lantas membentuk tim Advokasi Pekerjaan pertama dari tim advokasi ini adalah membongkar kembali dokumen-dokumen pengadilan terkait sengketa tanah Dago Elos dari tahun-tahun sebelumnya. Kemudian, mereka ternyata menemukan beberapa kejanggalan yang diyakini sebagai tindak pidana. Tim Advokasi lantas mencoba melaporkan hal tersebut ke pihak yang berwajib.
Nazer seorang anggota advokasi, memberi sedikit cerita dalam acara diskusi. Dia berkata bahwa pelaporan dari temuan ini dilakukan pertama kali pada bulan Maret 2023 dengan hasil penolakan polisi yang berdalih bahwa temuan tersebut bukan Tindak Pidana. Namun, pelapor dan tim Advokasi terus menyanggah sehingga terjadi perdebatan dengan pihak kepolisian yang kelama-lamaan lelah sehingga akhirnya tanggung jawab tersebut dilemparkan.
“Karena mungkin polisinya lelah berdebat dengan rekan-rekan tim Advokasi dan warga akhirnya tiba-tiba dia (polisi) memanggil seseorang yang entah siapa, yang ternyata belakangan diketahui dia seorang pengacara biasa, dia (pengacara) tiba-tiba ditarik ke dalam ruangan oleh polisi untuk berdebat dengan tim advokasi dan warga. Sementara dia (pengacara) sendiri juga gak tau ini yang diomongin apa sebenernya. Jadi polisinya berusaha untuk melepaskan tanggung jawab pelaporan itu ke orang lain.” ucap Nazer.
Lalu terjadilah pelaporan kedua pada 14 Agustus 2023 yang dilakukan dengan lebih masif. Proses pelaporannya kurang lebih berdurasi 9 jam yang diwarnai dengan intimidasi dari polisi entah dari dalam ataupun luar Polres. Hasilnya tetap sama, laporannya tetap ditolak. Pelaporan kedua ini lah yang banyak mendapati perhatian media massa lokal saat itu.
Perasaan kecewa seiringan dengan ditolaknya laporan ini, salah satu warga Dago Elos memaksa masuk untuk menanyakan alasan penolakan laporannya. Tidak lama setelah itu warga dan tim Advokasi kembali ke Dago Elos, mereka memilih untuk memblokade jalan.
Setelah dua kali pelaporan dan hasil yang berujung penolakan, untuk mencari perhatian, warga Dago Elos melakukan aksi dengan membakar ban saat blokade jalan tadi. Polisi melakukan pengamanan dengan membawa sekitar 500 personel. Respon polisi saat itu sempat sudah akan menerima laporan tersebut, namun tidak lama polisi malah menembakkan gas air mata kepada warga. Hal itu pun dibenarkan oleh Nazer. “Ya mereka sempat mengatakan itu akan kembali memproses laporannya, asal warga beserta tim advokasi ada yang datang lagi ke polres untuk agar laporannya bisa diproses. Tapi justru respon sebenarnya dari pihak kepolisian adalah menembakkan gas air mata ke kerumunan warga.”
Ayang berkata bahwa gas air mata ini mengenai ratusan orang dewasa, anak kecil, teman-teman solidaritas, mahasiswa, serta jurnalis yang ikut terjun dalam aksi tersebut. Ia pun berkata bahwa dampaknya tidak hanya fisik, namun juga trauma psikis tertinggal di sana. “Tidak hanya dampak fisik, tapi juga dampak psikis yang sampai saat ini masih menjadi PR besar bagi kami untuk mengembalikan psikis orang-orang yang terkena dampak langsung pada saat itu.” pungkas Ayang.
Setelah kerusuhan 14 Agustus itu, keesokannya kasus ini menjadi rebutan. Semua pihak seolah ingin mengambil kasus ini untuk ditangani dengan iming-iming janji bahwa laporannya akan diterima. Warga dan tim Advokasi akhirnya memilih untuk memasukkan laporannya ke Polda Jawa Barat dengan hasil yang masih menggantung sampai saat ini.
Meski begitu, dengan menggantungnya laporan warga Dago Elos, mereka terus akan mengambil langkah-langkah lain. “Walaupun laporannya menggantung tapi kami tidak diam, kami juga sambil menyiapkan beberapa dokumen-dokumen lain dan beberapa langkah-langkah lain yang akan kami ambil kedepannya, tinggal tunggu waktu aja sih.” ujar Nazer.
Semua upaya yang dilakukan oleh warga Dago Elos untuk mempertahankan tanahnya menunjukkan semangat yang tidak pernah surut. Perubahan takkan hadir tanpa adanya perjuangan.
Menurut Marlina, anggota UKSK UPI, perubahan bisa dilakukan oleh masyarakat secara bersama-sama karena perubahan itu adalah karya berjuta-juta masa.
Sebagai bagian dari masyarakat, Marlina juga mengatakan bahwa tugas mahasiswa bukan hanya sekadar belajar, mahasiswa juga harus aware terhadap masalah-masalah yang ada di masyarakat, khususnya seperti yang ada di Dago Elos ini.
“Kita harus berjuang bersama bukan cuman dari rakyat seperti Dago Elos aja gitu yang sedang berkonflik, atau misalnya buruh tadi saja gitu. Tapi kita semua gitu, seluruh sektor rakyat yang ada di Indonesia karena mau di enggak-enggak juga Mahasiswa ya bagian dari masyarakat gitu.” pungkasnya.
Redaktur : Haura Nurbani