Menilik Akar Masalah dari Kekerasan Struktural Terhadap Perempuan

200

Oleh: Reighina Faridah dan Savitri Rahmadhanti*

*Reporter Magang Isolapos.com

Bumi Siliwangi, Isolapos.com- Komite Simpul Pembebasan Perempuan (Simpul Puan) mengadakan diskusi terbuka yang digelar pada Rabu (06/03) di Gedung Gegeut Winda, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Diskusi tersebut mengangkat tema “Gerakan Perempuan dari Masa ke Masa dan Kaitannya dengan Masa Kini dalam Menjawab Kekerasan Struktural Terhadap Perempuan”. 

Diskusi dan konsolidasi ini sekaligus menjadi salah satu rangkaian acara menuju International Women’s Day 2024, dengan dua pembicara, yaitu Siti Rohmanah dari Pembebasan Kolektif Bandung dan Rahsya Nigitama dari Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD) Universitas Padjajaran.

Rahsya dalam diskusi tersebut mengungkapkan bahwa kekerasan berbasis gender yang kerap kali ditujukan kepada perempuan dapat diklasifikasikan menjadi kekerasan ekonomi, kekerasan fisik, kekerasan psikologis, dan kekerasan seksual.

“Misalnya kekerasan ekonomi gitu, hal itu merupakan kekerasan gitu di mana perempuan itu biasanya di dalam rumah tangga dicabut gitu dari kemerdekaan dirinya gitu jadi perempuan tidak bisa mendapatkan penghasilan,” ujarnya.

Pemaparan kemudian berlanjut ke penjelasan klasifikasi kekerasan lainnya. Kekerasan berbasis gender yang disebutkan oleh Rahsya dikaitan juga dengan norma dan stereotip di masyarakat.

“…norma yang bagaimana laki-laki dan perempuan itu kayak misalnya laki-laki harus dominan dan secra fisik harus kuat dan rasional dan seterusnya problematiknya juga karena lingkungan,” papar Rahsya.

Rahsya menyebutkan terdapat banyak mitos yang berkeliaran di masyarakat perihal faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, seperti pelaku kekerasan adalah orang dengan cacat mental, kemiskinan dapat menyebabkan kekerasan terhadap perempuan, sampai ke anggapan bahwa kekerasan terjadi akibat pengaruh obat-obatan terlarang.

“Hal yang paling gak aku suka tuh kekerasan hadir karena emang kodrat, karena emang naturenya laki laki gitu, misalnya itu melakukan kekerasan itu pada yang lebih rentan,” ungkapnya.

Menurut Rahsya, ada empat penyebab terjadinya kekerasan. Pertama secara individual, lalu hubungan, kemasyarakatan, serta budaya. Bahasan ini berkaitan dengan maraknya budaya patriarki di mana laki-laki dianggap lebih dapat mendominasi perempuan, sehingga memberikan kesan bahwa laki-laki memiliki kontrol terhadap segala perilaku dan aktivitas perempuan.

Selain itu, Rahsya juga menyebutkan bahwa adanya anggapan bahwa laki-laki harus bekerja di luar sedangkan urusan perempuan hanya berkutat di sumur, kasur, dan dapur juga merupakan kesalahan berpikir yang sangat umum ada pada masyarakat di mana maskulinitas lebih diutamakan, menormalisasi tindakan dan perkataan yang meremehkan perempuan, lalu mengatasnamakan kodrat. 

Menurutunya, kekerasan ini dapat memberikan dampak psikologis yang berkelanjutan dan bisa saja menjadi hal yang ditularkan turun temurun, misal dari ayah ke ibu lalu ke anak-anaknya.

“Keseluruhan ini berhubungan,” ujar Rahsya. 

Memungkas pembicaraannya, Rahsya menyatakan hal yang paling penting namun juga paling sering dilupakan yaitu kontrol terhadap diri sendiri, suatu tindakan yang jelas-jelas merugikan orang lain tidak akan terjadi sekiranya setiap individu memiliki kesadaran akan pentingnya menghargai orang lain, kesetaraan, dan hak asasi manusia. 

Fenomena-fenomena ini tentu tidak boleh terus menerus dibiarkan, semua orang berpotensi melakukan tindak kekerasan, namun dengan adanya pengendalian diri sendiri hal tersebut bisa diantisipasi. Kepedulian dan kesadaran pada setiap lapisan masyarakat juga sangat diperlukan agar kekerasan terhadap perempuan bisa benar-benar dihilangkan dan para korban mendapatkan keadilan.

Redaktur: Nabil Haqqillah

Comments

comments