Sanksi Semua Kasus Kekerasan Seksual di Kampus, Haruskah DO dan Skorsing?
Oleh: Abelia Rahmah Oktaviani dan Jennifer Norine*
*Reporter Magang Isolapos.com
Bumi Siliwangi, Isolapos.com-Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) menyelenggarakan diskusi terbuka pada Kamis (21/3) di Taman Bareti, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Diskusi tersebut diadakan untuk menentukan kelayakan sanksi Drop Out (DO) dan skorsing untuk diterapkan pada semua kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Diskusi ini dipantik oleh Shela Amelia (GREAT UPI) dan dimoderatori oleh Harry Nasyuha (GREAT UPI).
Shela mengungkapkan bahwa penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual didasari oleh Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dan menjadi dasar akan Peraturan Rektor UPI No. 2 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Universitas Pendidikan Indonesia.
Shela menuturkan ada beberapa tahapan dalam penanganan dan pendampingan kasus kekerasan seksual berdasarkan Peraturan Rektor tersebut, yaitu tahap pelaporan, tahap verifikasi, dan tahap pelayanan.
“Pelaporan bisa dilakukan secara online melalui tadi nomor telepon satgas (satuan tugas-Red) atau secara offline bisa ke Kantor LPPM lantai 4. Nah, di situ ada kantornya khusus satgas. Setelah pelaporan itu ada verifikasi. Nah, diverifikasi ini, tuh, untuk menentukan derajat kasus, kira-kira kasus yang ini tuh masuknya ke derajat mana, sih. Perlu digaris bawahi juga, ya, SPPKS (Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual-Red) itu hanya melakukan rekomendasi. Nah, yang menindak adalah Komdis (Komisi disiplin-Red) di UPI” tutur Shela.
Nida, Ketua GREAT UPI, menambahkan bahwa hasil dari verifikasi adalah asesmen kasus berupa keputusan tentang kasus tersebut termasuk kekerasan seksual atau bukan, jenis kasus, keterkaitan antara pelaku dan korban, serta rekomendasi sanksi.
Selama diskusi berlangsung, Shela menceritakan berbagai pengalaman mahasiswa yang mendapatkan kekerasan seksual di lingkungan kampus, mulai dari derajat kasus yang ringan, sedang, hingga berat. “Untuk kasus mengenai menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban itu masuknya kategori ringan. Lalu, mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban, (termasuk ke dalam derajat-Red) sedang atau berat, tergantung kondisi korban,” ujar Shela.
Shela menekankan adanya derajat kasus tersebut membuat sanksi DO dan skorsing tidak bisa diterapkan dalam semua kasus kekerasan seksual. “Kita memiliki derajat kasus dan kita menerapkan juga asas praduga tak bersalah. Selain itu, transformative justice dan yang paling penting adalah kebutuhan korban.” tuturnya. Ia mengatakan hal tersebut diputuskan berdasarkan Peraturan Rektor UPI No. 2 Tahun 2023 yang menyebutkan bahwa penetapan sanksi diberikan dengan mempertimbangkan jenis dan derajat kasus serta dampak yang ditimbulkan.
Melanjutkan Shela, Nida menyebutkan sanksi administratif apa saja yang didapatkan pelaku kekerasan seksual. Mulai dari sanksi dengan derajat kekerasan seksual ringan berupa teguran dan/atau surat peringatan; surat permintaan maaf; dan sejenisnya, derajat sedang berupa pemberhentian sementara atau skorsing, dan derajat berat berupa pemberhentian dari pekerjaan atau status mahasiswa. “Untuk derajat sedang dan berat pihak SPPKS hanya memberikan surat rekomendasi dan yang menindaknya adalah Komisi Disiplin UPI,” ujar Nida.
Nida pun menyebutkan data kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus. “Kalau dari SPPKS, di UPI sendiri sudah ada 202 kasus kekerasan seksual dalam kurun waktu kurang lebih 3 tahun,” ujarnya.
Menutup diskusi, Shela mengingatkan pentingnya meningkatkan kesadaran terhadap kekerasan seksual. Menurutnya, setiap orang yang mengalami kekerasan seksual diharapkan tidak sungkan untuk melapor kepada pihak SPPKS UPI agar bisa mendapatkan penanganan dan pelayanan yang baik.[]
Redaktur: Amelia Wulandari