Suara Keadilan dari Bandung, Mahasiswa Papua Mengutuk Pelanggaran HAM Terhadap Warga Sipil Papua

418

Oleh : Dini Putri Rahmayanti

Bandung, Isolapos.com-Video yang viral beberapa waktu lalu telah mengejutkan banyak pihak. Sebanyak dua video berdurasi masing-masing kurang dari 30 detik yang diunggah oleh Veronica Koman di akun X-nya @VeronicaKoman pada 22 Maret 2024 itu menampilkan penyiksaan terhadap tiga warga sipil Papua oleh oknum aparat. Diketahui juga bahwa salah satu aktivis mendapatkan intimidasi karena mengunggah video tersebut pada media sosial.

“At least one activist is known to have been threatened by soldiers for posting these videos on Facebook,” tulis Veronica di keterangan unggahannya.

Menurut informasi Aliansi Mahasiswa Papua, korban penyiksaan adalah tiga warga sipil asal Desa Mangume, Distrik Amukia, Kabupaten Puncak Papua (Ilaga), yakni Warinus Murib (18), Definus Kogoya (19), dan Alius Murib (19). Peristiwa tragis ini terjadi pada 3 Februari 2024 dan menyayat hati terutama bagi masyarakat Papua.

Penangkapan dan penyiksaan tersebut bermula dari dugaan terhadap ketiga warga sipil tersebut terkait perampasan senjata oleh kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Operasi siaga 1 dilakukan pada 3 Februari 2024 di sekitar Amargaru dan sekitarnya, di mana oknum aparat TNI menangkap ketiganya tanpa meminta klarifikasi terlebih dahulu.

Setelah ditangkap, ketiga warga sipil tersebut dibawa ke pos TNI di Kagago, ibu kota Kabupaten Puncak, dan dituduh sebagai anggota TPNPB tanpa bukti yang kuat. Oknum aparat kemudian melakukan penuduhan, pemukulan, dan penyiksaan terhadap mereka. Tragisnya, Warinus Murib tewas setelah disiksa secara brutal, dimana tangannya diikat dan dimasukkan ke dalam drum berisi air.

Meskipun Definus Kogoya dan Alius Murib berhasil dipulangkan setelah diinterogasi dan disiksa, kondisi di rumah sakit Kagago tidak membuat mereka merasa aman. Keluarga korban memutuskan untuk membawa mereka pulang dan melakukan pengobatan di rumah.

Kasus ini juga menjadi sorotan atas keberlangsungan pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Terlebih, kasus serupa juga terjadi di Kabupaten Yahukimo, di mana dua pelajar Papua ditangkap oleh aparat dan belum juga dibebaskan oleh Polda Papua hingga saat ini. Mereka diduga sebagai simpatisan kelompok kriminal bersenjata (KKB).

Menyikapi hal tersebut, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Ikatan Mahasiswa Setanah Papua (IMASEPA) Jawa Barat, dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) melakukan aksi damai “Adili Pelaku Penganiayaan 3 Warga Sipil di Puncak Papua, Papua Tengah” yang titik aksinya dilakukan di Gedung Merdeka, Kota Bandung. Rabu (27/03).

Fransiskus Iyai, Koordinator lapangan aksi ini menyampaikan bahwa tujuan aksi ialah untuk menyuarakan keprihatinan terhadap kasus penyiksaan terhadap tiga warga sipil di Papua yang terekam dalam sebuah video yang beredar. 

“Kami disini turun ke jalan pada siang hari ini guna untuk melakukan aksi unjuk rasa menyampaikan kepada khalayak umum, kepada publik terutama kepada warga Bandung bahwa tiga warga sipil yang disiksa di Papua yang kemarin sempat beredar video. Dan (tindakan-Red) itu adalah salah satu bentuk kekerasan kemanusiaan,” terangnya.

Fransiskus juga menegaskan bahwa kekerasan yang terjadi merupakan pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh oknum-oknum tentara, dan mengecam keras tindakan tersebut. Awalnya, video yang beredar tersebut di cap hoaks oleh beberapa pihak. Namun, setelah diselidiki lebih lanjut, kebenaran terbukti, bahwa korban merupakan warga sipil dan pelaku adalah oknum aparat.

Tidak dapat dipungkiri, kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua telah terjadi sejak lama. Mulai dari operasi militer pada tahun 1960-an hingga saat ini, kasus-kasus tersebut belum mendapat penyelesaian yang pasti.

Anggota Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jawa Barat turut menyoroti peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang menimpa masyarakat Papua. Deti Sopandi, berbicara dengan keprihatinan mendalam mengenai situasi konflik di Papua yang sering kali hanya dinarasikan oleh pemerintah Indonesia sebagai alasan untuk mengirimkan militer.

Menurut Deti, penting bagi kita untuk melihat akar permasalahan konflik di Papua. Orang Papua tidak hanya dilihat sebagai pemberontak, tetapi mereka memiliki alasan yang kuat untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap situasi di sana. Pencurian sumber daya alam dan kekerasan yang dilakukan oleh pihak oknum aparat, seperti pembunuhan dan pemerkosaan, adalah beberapa contoh dari masalah yang terjadi di Papua.

“Kita harus melihat ke akar permasalahannya. Maksudnya jangan semata-mata orang Papua itu di cap misalkan memberontak, tetapi apa yang terjadi di Papua itu menjadi alasan orang Papua untuk ingin misalkan menyatakan situasi yang terjadi disana tidak baik-baik saja,” kata Deti.

Deti menekankan bahwa kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua, seperti yang baru-baru ini meledak lewat media sosial, hanyalah sebagian kecil dari masalah yang sebenarnya. Banyak persoalan yang belum terdokumentasi oleh media karena sulitnya akses untuk jurnalis nasional maupun internasional untuk bisa meliput ke Papua. 

Aliansi Mahasiswa Papua dengan tegas mengeluarkan pernyataan sikap terkait kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Berikut adalah butir-butir pernyataan sikap mereka:

  1. Mengecam Panglima Kodam (Pangdam) XVII Cendrawasih segera mengakui adanya anggota TNI yang melakukan penyiksaan terhadap warga sipil orang asli di Puncak Papua.
  2. Mengecam Pangdam XVII Cenderawasih atas pernyataan pembohongan publik di media terkait video penyiksaan yang disebut editan.
  3. Adil, pecat dan penjarahkan pelaku penyiksaan terhadap warga sipil di Puncak Ilaga Papua Tengah.
  4. Negara indonesia segera mengusut tuntas semua kasus pelanggaran HAM terhadap warga sipil Papua di tanah Papua Barat.
  5. Komnas HAM segera melakukan investigasi penganiayaan terhadap warga sipil di Puncak West Papua.
  6. Negara segera hentikan pengiriman militer organik maupun non organik dari tanah Papua Barat serta tarik militer organik dan non-organik dari tanah Papua Barat
  7. Polda Papua segera usut tuntas kasus pembunuhan Jein Korupon di Kabupaten Pegunungan Bintang oleh oknum aparat negara.
  8. Negara segera bertanggung jawab atas penembakan terhadap tiga anak remaja warga sipil dan salah satunya menjadi korban di Intan Jaya, West papua.
  9. Presiden Republik Indonesia segera perintahkan panglima TNI proses hukum oknum TNI pelaku penyiksaan anak di Kabupaten Yahukimo dan warga sipil di Kabupaten Puncak West Papua.
  10. Buka Ruang Demokrasi seluas-luasnya dan berikan Kebebasan bagi Jurnalis Nasional, Internasional meliput dan mengakses informasi di Papua Barat.
  11. Hentikan Operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Maybrat, Yahukimo, dan seluruh wilayah West Papua lainnya.
  12. Segera berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua.

Rentetan Sejarah Pelanggaran HAM di Papua

Operasi militer di Provinsi Papua terus menjadi sorotan sejak beberapa dekade yang lalu. Mulai dari Operasi Sadar (1965-1967) hingga berbagai operasi lain seperti Bhartayuda (1967-1969), Wibawa (1967-1969), Pamungkas (1969-1971), hingga operasi militer di berbagai wilayah seperti Kabupaten Jayawijaya (1977), dan Mapenduma (1996). Operasi-operasi tersebut telah meninggalkan jejak kontroversi dan meninggalkan dampak serius hingga hari ini.

Peningkatan tensi konflik tidak terhindarkan dengan munculnya tiga kasus yang dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat di Papua. Kasus-kasus pasca reformasi, seperti Tragedi Wasior pada 13 Juni 2001, di mana terduga aparat Brimob Polda Papua melakukan serangan ke Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari, menyebabkan korban jiwa dan luka. Kasus lainnya termasuk Tragedi Wamena tahun 2003, yang dilaporkan oleh Komnas HAM sebagai peristiwa yang menewaskan sembilan orang dan melukai puluhan lainnya.

Salah satu insiden yang sangat memilukan adalah Tragedi Paniai pada 8 Desember 2014, di mana lima siswa tewas akibat tindakan biadab oknum aparat negara, melansir pada laman situsnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan bahwa negara tidak memiliki komitmen pemenuhan hak atas keadilan bagi korban dalam peristiwa ini. 

“Keputusan bebas adalah sebuah Drama Sandiwara Pengadilan HAM Berat Paniai yang sedang dipraktikkan dengan cara menyalahgunakan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan maksud untuk menghambat atau membatasi tercapainya hak atas keadilan bagi Korban Pelanggaran HAM Berat Paniai berdarah serta bermaksud untuk melindungi Para Penjahat Kemanusiaan dalam Kasus Pelanggaran dan terus merawat dan memelihara ruang impunitas bagi penjahat kemanusiaan,” terang Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua. 

Selain itu, Tragedi Biak Berdarah pada 6 Juli 1998 juga merupakan titik hitam dalam sejarah Papua, di mana warga Papua yang sedang melakukan ibadah diserang oleh oknum aparat. Kasus-kasus lain seperti Universitas Cenderawasih Jayapura Maret 2006, Deiyai 28 Agustus 2014, dan Dogiai 13 April 2011, juga menjadi bukti nyata akan rentannya situasi HAM di Papua.

Yoseph Yapi Taum, Dosen Universitas Sanata Dharma dalam jurnalnya tentang “Kekerasan dan Konflik di Papua: Akar Masalah dan Strategi Mengatasinya” mengatakan jika identitas asli penduduk Papua juga tercermin dari pengalaman sejarah di mana mereka tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi masa depan mereka. 

Sejak proses dekolonisasi Papua dari kekuasaan Belanda, Pepera 1969, dan era Orde Baru, penduduk Papua selalu merasa tidak didengar dalam proses politik penentuan nasib dan arah masa depan mereka.

“Wakil Gubernur Papua R.G. Djopari pada tahun 2000 menegaskan pentingnya papuanisasi untuk memberikan warga Papua kontrol yang lebih besar atas wilayah mereka sendiri. Kehendak ini kemudian diperkuat dengan hadirnya UU Otsus No 21/2001 yang menekankan pemberdayaan penduduk ‘pribumi’ Papua. Isu sentralnya di sini adalah pengabaian suara dan partisipasi orang asli Papua,” tulis Yoseph Yapi Taum, diakses Kamis (28/03).

Otonomi Khusus (Otsus) Jilid 1 dan 2, yang seharusnya menjadi solusi bagi Papua, justru menjadi bencana bagi masyarakat setempat dengan melahirkan konflik baru seperti perampasan tanah adat dan undang-undang yang dianggap merugikan masyarakat Papua. Konflik bersenjata antara TNI/Polri dan kelompok TPNPB OPM pun terus berlanjut, menambah kompleksitas situasi Papua yang sudah rawan.[]

Redaktur: Harven Kawatu

Comments

comments