Melupakan Rakyat adalah Hal yang Menyakitkan

120

Selama sepekan terakhir, tagar #TolakRUUTNI menjadi trending topic di berbagai media sosial. Tagar ini muncul sebagai respons penolakan atas pembahasan Revisi Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU ini diprotes karena beberapa pasal di dalamnya dinilai mengancam demokrasi dan supremasi sipil serta berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI.

Pasal 47 menjadi salah satu pasal yang paling disoroti oleh publik. Pasal ini memperluas jumlah lembaga sipil yang dapat diisi prajurit aktif, menambah lima instansi baru di luar 10 kementerian dan lembaga yang sudah diatur sebelumnya. Dengan demikian, total 15 instansi dapat diisi oleh personel aktif TNI. Hal ini dianggap memberikan keleluasaan berlebih bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan-jabatan sipil, sebuah langkah mundur yang mengingatkan kita pada praktik Orde Baru.Seruan agar TNI kembali ke barak dan tuntutan untuk menghapus komando teritorial pun membanjiri media sosial. Selain Pasal 47, pasal lain yang menuai sorotan publik adalah Pasal 3 yang mengatur kedudukan TNI dalam koordinasi Kementerian Pertahanan, serta Pasal 53 tentang batas usia prajurit.

Namun, meski gelombang protes dari masyarakat terus menguat, RUU TNI tetap disahkan dalam sidang paripurna DPR pada Kamis (20/03). Delapan fraksi partai di parlemen telah memberikan persetujuan mereka sejak tahap pembahasan tingkat satu dalam Rapat Kerja Komisi I DPR pada Selasa (18/03). Dengan demikian, langkah final telah diambil, mengabaikan seluruh kritik publik yang menginginkan supremasi sipil tetap terjaga.

Revisi yang seharusnya memperbaiki justru merusak. Dalih pembaruan regulasi ini ternyata menjadi pintu masuk bagi kepentingan yang dapat mengaburkan batas antara militer dan sipil. Bukannya memperkuat demokrasi, revisi ini justru melemahkan tatanan yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998. Masyarakat yang berharap pada perubahan ke arah yang lebih baik kini justru menyaksikan langkah mundur yang membahayakan keseimbangan kekuasaan.

Melupakan rakyat adalah hal yang menyakitkan. Ketika suara publik tidak lagi diperhitungkan dalam proses legislasi, demokrasi kehilangan maknanya. Apalagi, pembahasan RUU ini dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi publik, dan bahkan digelar di hotel mewah di tengah masa efisiensi anggaran. Pengesahan ini bukan hanya mencederai prinsip demokrasi, tetapi juga menunjukkan bahwa kepentingan elite lebih diutamakan dibandingkan suara rakyat.

Jika kita tidak bergerak, maka ini bisa menjadi awal dari kemunduran yang lebih besar. Reformasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah bisa terkikis perlahan. Sudah saatnya masyarakat tetap mengawal dan mengingatkan para penguasa bahwa demokrasi tidak boleh dikhianati demi kepentingan segelintir pihak.

Comments

comments