Statuta, Momen Perubahan!

148

STATUTA. Satu kata yang akhir-akhir ini santer diperbincangkan sivitas akademika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Sejak tim perumus meluncurkan drafnya awal Oktober lalu, deretan pasal yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan UPI ini sontak menjadi perhatian. Berbagai kalangan angkat bicara, mulai guru besar hingga mahasiswa, suaranya sama: Statuta sejatinya menjadi langkah perubahan.

Kita mesti tepuk tangan kepada tim perumus yang sudah bekerja keras merampungkan rancangan statuta.Tetapi, bukan juga berarti kita harus menelan bulat segala pasal yang dirancang. Statuta adalah penentu nasib kampus penghasil guru ini. Artinya, semua stakeholder perlu ikut serta memberi masukan. Semua aspirasi perlu terakomodasi, agar tak ada lagi yang terdiskriminasi akibat aturan yang merugikan.

Semua pihak pasti sepakat, bahwa statuta baru ini harus merangkul setiap kalangan. Jangan ada lagi aturan yang bersifat elitis, yang mengutamakan sebagian pihak yang berkepentingan. Seluruh elemen, tanpa terkecuali, harus diposisikan sebagai bagian yang berkepentingan memperbaiki penyelenggaraan kampus. Artinya, semua elemen yang berkontribusi langsung adalah stakeholder yang mesti diakui dan diakomodasi dalam statuta.

Ironis, jika kita menyimak pernyataan ketua tim perumus Statuta UPI, Aminudin Azis, pada saat sosialisasi perdana draf Statuta di auditorium gedung Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Dihadapan hadirin, Ia menyatakan dengan tegas bahwa mahasiswa bukanlah stakeholder, serta tak perlu dilibatkan untuk menetapkan kebijakan di Majelis Wali Amanat (MWA). Tentunya ini merupakan pernyataan yang diskriminatif, mengingat bahwa mahasiswa adalah elemen yang paling besar di kampus ini.

Pernyataan itu tentunya bakal melukai seluruh jiwa mahasiswa. Entah apa yang ada di benak sang guru besar, yang jelas dalam pernyataan itu tersirat bahwa mahasiswa nantinya akan disubordinasi dalam setiap kepentingan kampus. Mahasiswa akan dijadikan objek dari berbagai aturan daripada diposisikan sebagai subjek yang berkontribusi. Mahasiswa seolah diposisikan sebagai benda mati yang dapat diperlakukan sesuka hati.

Pernyataan itu memberi kita gambaran: UPI benar-benar sudah kehilangan orientasi pendidikannya. Kampus berlabel pendidikan ini tentu tahu, bahwa dalam pendidikan peserta didik adalah subjek aktif bukan objek pasif. Sudah tak jaman lagi mahasiswa hanya dicocok hidungnya seperti kerbau. Dipermainkan oleh berbagai aturan yang dibuat sepihak.

Pernyataan itu sebetulnya terlontar saat ada geliat dari mahasiswa yang ingin duduk di MWA. Tak hanya pernyataan konyol itu yang terlontar, ada yang lebih lucu lagi. Dalam kelanjutan pernyataannya, selain mahasiswa dianggap bukan stakeholder, Aminudin menyatakan bahwa jika mahasiswa ada di MWA nantinya akan “memusingkan”. Entah apa artinya, apakah ini berarti mereka sudah tak lagi tahan kritik? Sehingga begitu defensifnya ketika mahasiswa ingin di MWA. Atau hanya ketakutan tak bisa melindungi kepentingan semata? Menyitir ungkapan Soe Hok Gie, “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau!”

Tapi, meski begitu mahasiswa tak perlu bertindak berlebihan dan keukeuh mesti duduk di MWA. Mahasiswa juga perlu introspeksi, apakah sudah mampu mewakili kepentingan puluhan ribu mahasiswa di kampus ini? Jika mengkalkulasikan suara mahasiswa di MWA yang hanya satu suara, tentunya tak akan pernah bisa menang. Apalagi jika mahasiswa belum mampu menampik setiap godaan kepentingan kampus. Alih-alih mewakili suara mahasiswa, malah terlena dengan arus kepentingan.

Jika hal ini terjadi, tentunya akan menjadi semacam blunder bagi mahasiswa. Persoalan ini sangat riskan menimbulkan konflik horizontal dikalangan mahasiswa. Tentunya tak bijak juga jika keukeuh ingin duduk di MWA, tapi tak pernah introspeksi kualitas diri. Lebih baik mahasiswa menjadi “watchdog” saja: tetap galak! Karena, bukan tidak mungkin jika sudah berada pada arus birokrasi kampus, mahasiswa akan letoy seperti kerupuk tersiram air. Lebih baik, perkuat kekompakan agar suara kita didengar dan diakomodasi oleh setiap pemegang kebijakan.

Begitupun para petinggi kampus. Patutnya, dengan dirumuskannya statuta baru, dijadikan sebagai momen untuk perubahan kampus ini menjadi lebih baik. Jangan sampai statuta ini dikatakan sebagai replikasi dari Badan Hukum Milik Negara yang banyak dinilai tidak efektif dan efisien. Perbaiki organisasi kampus, agar anggaran untuk akademik tak tersedot akibat bengkaknya struktur.

Rumusan Statuta ini, sejatinya adalah momen untuk memperkuat identitas dan integritas kampus. Jangan sampai statuta hanya dipenuhi oleh orientasi-orientasi yang bersifat politis atau bahkan orientasi bisnis. Statuta tak boleh melupakan jati diri UPI sebagai lembaga pendidikan. Jangan sampai dikatakan lagi bahwa universitas ini banci, tak punya jatidiri. Berubah!

Comments

comments