Arwah Bapak

67

 Oleh Ilham Mahendra*

Setelah menikah, kehidupan Ucup berubah. Setiap subuh matanya dipaksa melek untuk membuat sarapan dan membeli sayuran. Beranjak siang memasak, membereskan rumah, menyuci, dan menyetrika. Ketika sore menyapu dan mengepel lantai. Saat malam tiba barulah kakinya benar-benar bisa berselonjor santai. Hampir setiap hari ia harus meluaskan dadanya, menjadi sebuah boneka yang selalu diam pasrah jika diberi ocehan, omelan, cacian, dan bahkan amukan dari istrinya. Pekerjaan rumah tangga lebih memeras tenaganya dibandingkan pekerjaannya yang dahulu. Ia terpaksa melepas pekerjaannya sebagai karyawan demi istri tercinta, padahal ia sudah menjadi tangan kanan bosnya di toko karpet—memang cinta, pikiran orang bisa dibuat jadi macet karenanya.

“Cup, aku yang bekerja dan kau yang mengurus segala keperluan rumah,” begitulah katanya dengan galak. Ucup tak dapat menolak. Jika menolak, tak tahu bagaimana nasib mukanya. Mungkin akan penuh luka garukan kuku istrinya, seperti sofa yang robek dicakar kucing yang penasaran.

            “Ucup, cepat bangun! Susah sekali kau bangun pagi, dasar pemalas! Mana sarapan?”

Teriakan pagi tadi menyodok paksa gendang telinganya, seperti seorang majikan keji memaki babu. Ucup tersedak dari dengkurnya. Kulit lengannya yang putih langsat memerah karena cubitan pedas istrinya yang urat tangannya mencuat. Itu hanya sebagian kecil dari amukkan istrinya. Omelan istri kepada suami umumnya terjadi karena perselingkuhan, masalah penghasilan, dan masalah kepuasaan di ranjang. Namun berbeda dengan rumah tangga Ucup. Rumah yang belum bersih, tak dapat menghemat uang belanja, dan hal remeh-temeh lainnya akan menjadi sumber omelan istri Ucup. Ia tak bisa melawan, jika ia melawan sama saja menyerahkan nyawanya ke istrinya.

Ucup duduk di sofa merah ruang tengah, memegang kemoceng dan kain yang ditaruh dipundaknya. Waktu yang sebentar ini ia manfaatkan untuk meregangkan tulang-tulangnya yang pegal sebelum istrinya pulang kantor sore nanti. Ucup sangat menikmati santainya. Kapan lagi ia bisa seperti ini?

            “Kalau aku tua nanti, kau masih sayang padaku?”

            “Tentu, aku cinta mati denganmu.”

            “Kau memang calon yang pantas untukku.”

            “Kau juga calon istri idaman,” Ucup mengenang

Kenangan manis itu tak berarti lagi setelah mereka memutuskan kawin lari, diwalikan saudara jauh yang bersimpati. Lalu menetap di rumah mungil yang akan lunas 15 tahun lagi. Dahulu istrinya begitu manis tuturnya dan santun perangainya. Ia pun cantik. Wajahnya bagai piring kesat beraromakan lemon, rambutnya yang panjang adalah riak air dalam bak mandi, matanya mata pisau, hidung bagai siku lemari, dan bibirnya adalah angin sepoi. Ucup tersenyum, merebahkan punggungnya di sofa yang terkoyak. Ia angkat kakinya di atas meja, seperti babu yang berhayal menjadi majikan.

“Entah setan macam apa yang merasuki dirinya? Sangat berbeda saat pacaran dan saat awal menikah. Dahulu ia tak pernah memarahiku, bahkan menegur pun segan. Semua berubah setelah umur pernikahan kami masuk bulan ketiga,” berkecamuk penyesalan dalam batin Ucup, namun penyesalan itu lesap seketika karena rasa cintanya yang begitu dalam pada istrinya.

Ucup diam, menghela napas panjang. Kemudian menggiring matanya ke arah jam pada dinding yang menempel di sampingnya. “Ah, sudah hampir sore begini tumben belum tiba. Apa mungkin sedang sibuk mengurus anaknya?” Ucup teringat janji kakaknya yang akan bertamu ke rumahnya. Ucup bangkit dari rihatnya. Meneruskan pekerjaan rumah yang belum rampung. Kalau istrinya pulang dan melihat rumah masih berantakan, siap-siap Ucup mendapat makian—suami yang malang

***

Sehabis magrib Ucup sudah berdandan di cermin yang pecah sebagian. Rambutnya yang lepek karena minyak rambut, disisir rapi belah pinggir. Kemudian menyemprotkan wewangian yang baunya asing di kemejanya yang tak berkeriput, sebab begitu telaten ia menyetrikanya. Ia telah berjanji bertemu dengan pacarnya jam setengah delapan, di lapangan merah samping pemakaman umum yang tak jauh dari rumah Iis dan rumah Ucup. Lapangan itu menjadi tempat yang kerasan untuk bercinta kasih. Ucup tak berani lagi berkunjung ke rumah Iis, setelah mendapat sambutan sinis juga cacian pedas dari bapak Iis yang bekerja sebagai mandor bangunan. Matanya dengan saksama memandangi Ucup yang berdiri di depan rumah Iis dari ujung rambut hingga ke ujung kaki, seperti sangat mengenali siapa Ucup. Padahal baru sekali Ucup berkunjung ke sana.

            “Jauhi Iis! Kau tak pantas berpacaran dengan anakku. Anakku sudah aku jodohkan dengan Dito anak tuan tanah di daerah ini,” begitu garang mukanya dengan kumis yang baplang.

 Entah alasan apa yang membuat hubungan Ucup dengan Iis tak direstui. Apa karena Ucup kurang tampan? Atau Ucup hanya seorang karyawan toko karpet yang tak akan bisa memberi kebahagiaan untuk anaknya? Toh Iis tak akan bahagia jika dijodohkan dengan Dito yang tonggos, Iis hanya cinta kepada Ucup. “Memang kemauan orang tua yang kolot susah ditebak,“ gerutu Ucup dalam sedihnya.

Angin mendesau, membawa aroma bunga kamboja. Gemerisik dedaunan terseok di atas tanah. Lapangan itu begitu hening, tak ada siapapun kecuali Ucup, Iis, dan makluk yang tak kasat mata. Di bawah pohon jamblang Ucup bermesraan dengan Iis. Mereka tak menghiraukan udara dingin dan seramnya tempat itu.

 Iis terlihat cantik disinari cahaya terang bulan. Di rambutnya terselip bando berwarna biru, selaras dengan warna kemeja Ucup. Bedak tipis juga terpoles dipipinya yang bersih. Beruntung sekali Ucup mendapatkan Iis.

 Hubungan mereka sudah terjalin dari tujuh tahun yang lalu. Ucup yang berpenampilan sederhana di SMA, memiliki pengagum rahasia. Iis namanya, gadis yang begitu keranjingan pada Ucup karena kebaikan dan kejujuran hatinya. Cinta itu tumbuh karena mereka sering bersama, sesuai dengan pepatah Jawa “Witing tresna jalaran saka kulina”.

 Satu tahun setelah hubungan mereka terjalin, Iis dilanda duka yang mendalam. Ibu Iis berpulang dan meninggalkan anak yang sangat dicintainya. Kini Iis hanya tinggal berdua dengan bapaknya. Ibu Iis sempat mengatahui hubungan anaknya dengan Ucup dan ia merestui, hanya bapaknya saja yang mengotot tak merestui. Jika kini ibu Iis masih ada, mungkin ada pembela hubungan mereka.

           “Mas, kau masih mau menjalani hubungan ini meski tak direstui bapakku?” Iis diam. lalu melanjutkan.

            “Bapak juga bilang, sampai kapan pun tak akan merestui hubungan kita.”

        “Jangan khawatir, aku akan selalu mencoba mengambil hati bapakmu. Aku antar kamu pulang. Ada yang mau aku bicarakan dengan bapakmu,” nadanya berani.

Di kejauhan terdengar bunyi tukang nasi goreng memukul penggorengan. Wangi bunga kamboja makin pekat tercium. Lapangan itu makin sepi, nyamuk-nyamuk mulai mengganas. Ucup dan Iis angkat pantat, setelah itu pergi menerobos gelap.

***

 Muka Ucup nampak begitu panik, sebab ia belum siap menerima cacian. Kedua tangannya berlipat di antara selangkangan. Pikirannya terbang ke sana-kemari. Gorden rumah Iis terlihat tersingkap. Tiba-tiba pintu terbuka kencang, menjerit membentur tembok. Lampu ruangan tengah meruak. Bapak Iis keluar dengan garang, perutnya terlihat seperti wanita yang sedang hamil besar. Ucup belingsatan, mencoba menglafalkan salam. Belum sempat salam itu keluar, bapak Iis dengan cepat menembakkan makian.

            “Dasar bocah garong, masih berani kau memacari anakku? Tak tahu malu kau, sampai aku mati pun takkan aku restui hubungan ini. Asal kau tahu, dahulu bapakmu adalah teman karibku, tetapi semua berubah semenjak bapakmu maling uangku. Bapaknya maling, anaknya juga maling. Pulang sana! Iis, kau masuk!”

Kini Ucup tahu penyebab hubungannya tak direstui. Dahulu bapaknya dan bapak Iis membuka usaha bersama. Entah ada angin apa, bapak Ucup membawa lari hasil keuntungan usaha itu dan kini ia telah ditelan bumi. Bapak Iis tak bisa melupakan kejadian itu, geramnya terus mengendap hingga kini—mengutuk semua keluarga Ucup. Ucup tak bisa berbuat apa-apa, kepalanya tertunduk malu kehilangan tulang leher.

            “Iis, cepat masuk!” bentak bapak Iis di depan pintu.

         “Mas, bawa aku lari dari sini, aku mau hidup dengamu,” Iis begitu berharap dengan Ucup. Ucup hanya diam, batinnya semakin berkecamuk. Bapak Iis yang sedari tadi di depan pintu, berjalan ke arah mereka.

          “Cepat kau masuk, dasar anak durhaka!” ucapnya sambil menarik lengan kiri Iis.

          “Aku tak mau, aku hanya mencintai Mas Ucup. Aku tak mau dijodohkan, Pak!.”

         “Diam kau Iis. Dengar bocah tengik, jika kau tak mau menjauhi anakku, aku bersumpah akan membuat hidupmu tak tenang seumur hidup! Camkan itu anak garong!” rutuknya garang, telunjuknya tepat dijidat Ucup yang berkeringat.

Ucup pasrah, berbalik memunggungi Iis yang bersedih dan bapaknya yang masih mengawasi gerak-geriknya. Wajah Ucup makin menunduk menuju jalan pulang. Anjing menyalak begitu haru, Ucup makin ditelan kesedihan.

***

       “Hampir satu setengah tahun kejadian itu,” ucap Ucup yang sedang berleha-leha setelah pekerjaan rumahnya rampung. Semanjak Ucup dan Iis meninggali kampungnya, mereka tak pernah berkunjung lagi ke sana. Terakhir kali mereka ke sana 14 bulan yang lalu, saat bapak Iis meninggal dunia. Ia terkena stroke setelah mengetahui anak gadisnya kabur dari rumah dan dua bulan tak kembali.

 “Ucup!” suara Iis di depan rumah, sebagai kode ia telah pulang dan Ucup harus bersiap. Setelah membuka sepatu, ia menyelonong masuk ke dalam rumah. Pandangannya disebar ke setiap sudut rumah yang terlihat sudah rapi. Iis masuk ke dalam kamarnya dan bergegas mandi. Ucup yang tahu istrinya pulang, dengan cekatan menyiapkan minum dan makanan untuk istrinya yang lelah.

Selang beberapa menit, tirai merah yang digunakan menutup pintu kamar tersingkap. Istrinya keluar dari kamar, menuju ruang tengah memakai kaus oblong putih dengan bawahan sarung seperti laki-laki yang hendak salat. Dengan hati-hati Ucup membawakan segelas teh tawar hangat dan pisang goreng. Wajah istrinya terlihat segar setelah mandi. Ucup duduk di lantai, memijat betis istrinya yang duduk di sofa.

            “Kamu lelah Is?” tanya Ucup, istrinya tak menjawab.

            “Kakakmu jadi datang?”

            “Katanya jadi Is, tetapi sudah sore begini belum juga datang.”

            “Sudah satu bulan ia rajin datang ke sini, merepotkan saja. Pasti minta makan,” ucapnya sinis.

Semenjak suami kakaknya di PHK sebulan yang lalu, ditambah anak yang masih kecil, kakanya rajin bertamu ke rumah Ucup untuk meminjam uang atau sekedar meminta makan.

            “Buat sendiri saja susah, sok ngasih makan, sok ngasih pinjam uang,” ketus istrinya setelah Ucup selesai bercerita.

Pintu terketuk. Ucup bangkit, menyingkap gorden. Panjang umur, orang yang dibicarakan datang. Kakak perempuan Ucup datang dengan anaknya yang berumur empat tahun. Ucup membuka pintu rumah. Seketika keponakan Ucup kaget melihat Iis yang duduk di sofa— sofa itu langsung jelas terlihat jika pintu terbuka. Matanya tak lepas dari Iis. Iis balas menatap keponakan Ucup yang baru pertama kali ke sana. Anak itu ketakutan. Ucup mempersilakan tamunya masuk, kemudian bergegas menuju dapur untuk menyiapkan kudapan.

            “Baru pulang Is?” tanya kakak Ucup canggung, ia duduk di seberang Iis.

 Iis tak menggubris pertanyaan itu, matanya masih mengintai. Keponakan Ucup makin ketakutan, bersembunyi di belakang punggung ibunya dan masih mencuri-curi pandang. Iis tak mengendorkan tatapannya, bahkan semakin tajam mengawasi laku anak itu.

 Tiba-tiba, bendungan air mata anak itu jebol. Tangisnya menggema ke setiap sudut rumah. Ucup datang membawa air dan kudapan. Iis terus memandangi keponakan Ucup, hingga anak itu makin kejer merengek. Ibunya mencoba menenangkan anaknya dan Ucup juga mencoba menenangkan keponakannya, karena melihat wajah istrinya yang mulai jengkel.

            “Kenapa kamu menagis?” Ucup bertanya sembari mengusap rambut keponakannya.

            “Bapak gendut yang duduk di situ terus melihat aku. Mukanya galak dan kumisnya tebal. Aku takut,” suaranya bercampur dengan rengekkan.

            “Di mana?” ibunya bertanya.

            “Itu di depan Ibu, mukanya seram sekali,” telunjuknya tegas mengarah ke sofa yang diduduki Iis.

Ucup tertegun mendengar apa yang dikatakan keponakannya. Suara tangis keponakannya tak ia pedulikan. “Bapak gendut, galak, dan berkumis?” Ucup mengingat. Kemudian pikirannya kembali terbang menuju masa silam. “Ya Tuhan, inikah sumpah Bapak?!” Sekujur tubuh Ucup lemas, ia jatuh bersimpuh di samping keponakannya. Sementara di sofa merah itu, Iis hanya tersenyum sinis. [*]

Bandung, 12 Juni 2013

Ilham Mahendra*, lahir di Jakarta pada tanggal 6 juni 1992. Tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Kini bergiat dalam komunitas sastra Cengos Si dan CD Teater. Pendatang baru dalam dunia Sastra Indonesia. Penulis dapat dihubungi di alamat email ilhammahendra6692@yahoo.com

 

Comments

comments