Pesta Demokrasi, Dulu dan Sekarang
Di tengah gegap gempita pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 yang dilaksanakan 9 April esok, berbagai strategi promosi janji telah marak dilancarkan calon-calon penghuni kursi dingin. Mulai dari iklan-iklan selebaran hingga menjamah iklan digital pertelevisian. Bisa dibayangkan besarnya biaya untuk “memprovokasi” pemilih, agar para calon legislator tersebut ditetapkan sebagai pilihan.
Di sisi lain, para petugas pemilihan umum (pemilu) yang dimotori KPU (Komisi Pemilihan Umum) sudah sibuk menyediakan berbagai fasilitas untuk terselenggaranya pesta demokrasi gelaran lima tahun sekali ini. Dalam upaya peningkatan partisipasi pemilih, KPU menyediakan fasilitas daftar pemilih tetap online, penjaminan hak dan suara pemilih dan hasil pemilu, serta memperkenalkan profil para calon legislatif yang dicantumkan dalam web resminya (KPU.go.id). Hingga menjelang pertengahan April ini, sudah sekitar 200.000 caleg yang telah resmi ditetapkan.
Namun, masyarakat ternyata belum sepenuhnya sejalan dengan pemerintah dan KPU. Istilah golongan putih (golput) masih menjadi kendala pada tubuh masyarakat. Ironisnya, Persentase angka pemilih golput ini dari pemilu ke pemilu berikutnya semakin meningkat hingga pemilu 2009 lalu. Jumlah persentasi partisipasi pemilih golongan putih pun masih diperkirakan akan membengkak di pesta demokrasi tahun ini. Dalam kesempatan kali ini, reporter isolapos.com, Hikmat syahrulloh menyambangi kantor KPU Jawa Barat dan langsung bertemu Ketua KPU, Yayat Hidayat. Berikut cuplikan wawancara dengannya:
Bagaimana pandangan masyarakat memandang pemilu tahun ini?
Selama ini ada anggapan yang kurang positif, misalkan ada yang menggambarkan bahwa pemilu ini tidak independen, dan segala macam . KPU harus membangun citra positif, bahwa pemilu adalah jalan yang membawa masyarakat ke arah kesejahteraan.
Berapa persen tingkat partisipasi pemilih pada pemilu terakhir?
Untuk tingkat partisipasi pada tahun 2009 itu berjumlah 73%, berarti data golput 27 %. Saat pilkada Jawa Barat itu (partisipasi pemilih) semakin turun, puncaknya adalah di Kabupaten Cirebon dengan partisipasi pemilih 46% dan angka golputnya mencapai 54 %, dari fenomena Pilkada Bupati ini fenomena masyarakat golput sudah merangsek ke pelosok-pelosok desa. Ini kan luarbiasa.
Bagaimana pandangan anda menanggapi golongan putih ?
Golongan putih atau golput itu adalah bentuk frustasi terhadap keadaan, pemerintah, calon-calon politik. Sebuah fenomena masyarakat tidak memercayai lagi sistem. Dampaknya secara langsung, masyarakat tidak akan mampu mengontrol seleksi kepemimpinan. Dengan semakin besar masyarakat golput, maka semakin longgar seleksi kepemimpinan. Jika sudah longgar, tingkat kualitas pemimpin semakin sulit diharapkan.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Golput itu sudah menjadi penyakit, terutama bagi negara berkembang seperti kita ini. Apalagi kita kan (sekarang) sedang berada di transisi demokrasi. Di tengah-tengah jalan, apa kita tetap dengan sistem demokrasi, ataukah tidak percaya dan kembali pada sistem otoritarianisme. Di situlah sebenarnya peran golput itu.
Apa dampak golongan putih jika semakin meningkat ?
Semakin besar masyarakat golput, maka semakin besar peluang masyarakat-masyarakat mencari salauran-saluran politik non-formal dan menimbulkan gerakan-gerakan yang berpotensi di luar sistem. Kalo sudah diluar sistem, berarti sudah tidak terkoordinasi, sporadis, dan cenderung kepada kekerasan sosial.
Alasan yang pada umumnya melatarbelakangi golput ?
Banyak alasan yang melatar belakangi golput, ada yang sifatnya karena administrasi pemilu. Ada juga karena sikap politik.
Upaya KPU menanggulangi golput karena korban administrasi pemilu ?
Nah, korban administrasi pemilu sebetulnya ia ingin memilih, tapi ia tidak terdaftar sebagai daftar pemilih tetap (DPT). Itu menjadi tanggung jawab KPU sepenuhnya. Hal itu sudah kita perbaiki. Pemerintah dalam hal ini pun telah mengeluarkan Undang-undang No. 8 tahun 2012. Jadi, siapapun bisa memilih sekarang, bahkan orang yang tidak punya kartu identitas sekalipun, masuknya di daftar pemilih khusus. Jadi golput karena urusan administrasi pemilu ini sudah kita jawab dengan undang-undang tersebut. Yang jadi masalah sekarang itu adalah golput karena sikap politik tadi.
Kenapa muncul Golput karena sikap politik?
Sikap politik kan bermacam-macam, ada yang kecewa dengan pemerintahan, ada yang kecewa dengan calon.
Bagaimana sikap politik yang harus dibangun ?
Kalau sudah berkaitan dengn golput karena sikap politik, maka sikap politik itu menjadi tanggung jawab kita bersama. Maka kita harus melakukan upaya pendidikan politik secara simultan. Itu tak terbatas oleh waktu saat pemilu saja. Baik dari lingkungan kampus, pemerintah, KPU tentunya, dan juga civil society.
Apa upaya KPU melakukan pendidikan politik dari pemilu?
Sebenarnya semua bertanggung jawab, tidak bersifat parsial. Pendidikan politik itu tidak mengenal waktu, dari mulai lahir sampai kita mati. Untuk KPU, dalam undang-undang sebenarnya tidak disebutkan ya, kita hanya berkewajiban melakukan sosialisasi politik. Tapi kita punya kewajiban moral untuk melakukan itu. KPU harus mencitrakan bahwa pemilu ini betul betul dilaksanakan dengan LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia) juga Jurdil (jujur, dan adil).
Bagaimana peran pemuda untuk mewujudkan pemilu yang LUBER dan Jurdil itu?
Oh… ya jelas ada, pemuda itu kan pertama dinamis, idealis, dan punya komitmen pada cita-cita, kedua tidak berada pada kepentingan apapun kecuali kepentingan atas kesejahteraan masyarakat. Ketiga, punya energi yang jauh lebih kuat dari pada generasi manapun. Biasanya kan masyarakat kalau yang menggerakkan pemuda atau mahasiswa biasanya lebih suka ikut, karena mereka percaya. Tapi kalo dari kelompok tertentu, parpol, dan sebagainya biasanya suka diawali dengan ungkapan “aya naon yeuh?” .curiga begitu. Jadi besar harapan, para pemuda bisa menekan angka golput.
Apa upaya partisipasi politik yang bisa dilakukan para pemuda ?
Ya, partisipasi pemilih di pemilu itu kan entri point, hanya pemantik saja. Setelah itu kita bisa berpartisipasi dalam bentuk memberi masukan terhadap rencana kerja, seperti pada Musrenbang (Musyawarah rencana pembangunan). Setelah itu dalam pelaksanaannya kita melakukan pengawasan. Dukung yang sesuai dengan rencana, dan kritisi yang tidak sesuai. Dalam evaluasi pun kita bisa berpartisipasi untuk memberikan masukan-masukan rencana yang dinilai tidak memberi manfaat bagi masyarakat.