Menyapa Rumahku yang Tergenang

101
Ilustrasi: http://nasional.kompas.com/read/2015/06/18/13083851/Pemerintah.Cairkan.Uang.Ganti.Rugi.Waduk.Jatigede.Mulai.26.Juni
Ilustrasi: http://nasional.kompas.com

Oleh: Reza A. Pratama

Seketika debu-debu berterbangan ketika roda mobil Jeep kami melindas ratusan kerikil dan gundukan pasir di sepanjang jalan gersang yang tanpa pohon rindang. Menyisakan jarak pandang yang samar, mungkin hanya 10 atau 8 meter dari kemudi setir. Sesekali gugusan debu itu tertembus cahaya senja dan mengelus kulitku yang kering. Terkadang menciptakan tarian warna jingga ketika terhembus pasir dan angin. Oalah… Kehangatan cahayamu  selalu membuatku nyaman wahai senja.

Seperti senja-senja lainnya. Senja hari Selasa 22 November ini tidak berbeda sedikitpun dengan senja pada Hari Kemerdekaan ataupun hari didelegasikannya para diktator baru. Toh kehidupan kami masih begini-begini saja dari kemarin. Tetap berkutat  pada aturan lama yang masih relevan hingga sekarang. Bahwa yang besar menindas dan yang kecil ditindas. Mungkin akan selalu seperti itu sampai aku mati nanti. Para diktator selalu bereinkarnasi sementara pikiran kritis tidak pernah lahir tiap hari, justru malah ada yang mati beberapa. Salah satunya pikiran kritis orang-orang cerdas yang tenggelam 20 tahun silam di waduk Jatigede.

Sudah 20 tahun berlalu sejak rumah-rumah kami ditenggelamkan di Jatigede. Waktu itu aku masih ingat betapa berisiknya deru mesin-mesin membabat tanah kami. Membuat burung-burung ketakutan dan berterbangan menyesaki awan biru seolah ingin mengadu. Hiruk-pikuk para pekerja bayaran yang tertawa keras-keras ketika salah satu sohibnya melemparkan candaan yang dia dapat dari media sosial. Ha ha ha. Begitu tawa mereka tersendat-sendat ketika aku dan teman-teman ku sekedar lalu lewat di hadapan mereka. Betapa aku mengingatnya. Sorotan pandang dua-belas mata keenam pekerja itu. Tanpa memperlihatkan rasa prihatin-sedikit memicingkan mata lalu kembali bekerja. Aku pikir… Keenam pekerja itu sudah mati. Matanya tak lagi memancarkan rona kehidupan. Hati mereka telah mati dan terkubur dalam timbunan proyek yang konon melibatkan duit berjuta-juta rakyat.

Umurku masih sembilan tahun saat itu. Mungkin seumuran anak kelas 5 SD namun memiliki cara berpikir orang dewasa. Cara berpikir orang dewasa? Mungkin orang lain akan keheranan dan menganggap ku terlalu naif untuk mengaku sebagai bocah yang memiliki pemikiran seperti orang dewasa. Tapi peduli setan dengan itu semua. Sebagai bocah tengil yang tak tahu diri, aku merasa dapat berpikir kritis dan lebih dewasa dibandingkan para diktator di meja kantor itu kok. Bayangkan saja, diriku yang masih sembilan tahun itu sudah dibebani masalah-masalah orang dewasa seperti; nyari duit, mikirin rumah, mikirin pendidikan sendiri, mikirin pendidikan orang lain. Aku berusaha berpikir dan bertindak secara dewasa meskipun fisikku masih terjebak dalam raga seorang bocah. Terkadang aku rindu untuk main di pematang sawah, menyusuri aliran air yang jernih dan aku pun selalu tergoda untuk menggulung celana sedikit dan menceburkan diri di sana. Berlari-larian dengan kawanku mengejar layang-layang yang menukik ditiup angin setelah kalah oleh layangan lain lalu bertengkar ketika salah satu telah mendapatkannya. Sungguh aku rindu masa-masa itu. Namun apadaya. Deru mesin-mesin pembangunan itu selalu menghantui. Gemuruh roda-roda besar yang menggetarkan rumahku selalu memacuku untuk lari dan berpikir. Bahkan dalam mimpi.

Terkadang dalam mimpi sekalipun otakku berpikir keras untuk menemukan solusi. Pernah sekali waktu aku mendapatkan ilham dari mimpi tersebut. Sedikit absurd memang tapi pantas dicoba. Setiap pulang mengaji aku mendatangi setiap runtuhan bangunan-bangunan dan berusaha menjarah setiap bongkahan batu bata yang masih tersisa untuk membangun rumahku yang baru kelak. Terkadang tanganku sedikit tersobek ketika berusaha mencabut bongkahan bata itu dari semen. Darah segar perlahan mengalir dari celah sobekan tersebut. Tanpa pikir panjang aku menghisapnya dan kembali melanjutkan pekerjaaanku. Namun aku pikir lagi setelah berhari-hari berusaha mengumpulkannya dan setelah beribu-ribu runtuhan aku datangi. Aku akhirnya menyadari bahwa batu batanya tidak akan pernah cukup untuk membangun rumah semegah rumah para pejabat.

Pada saat itulah mimpiku mulai tenggelam bersama puing-puing rumahku di Jatigede. Harapan seorang bocah tengil kini telah sirna. Kawan-kawanku kini sudah minggat karena tergoda setali uang berjuta-juta. Keluargaku pun pernah ditawari demikian. Uang selembaran berwarna merah yang tertata rapih dalam koper para pejabat itu terlalu menggiurkan untuk ditolak.

Harapanku untuk menjadi guru sudah aku urungkan. Kata bapak yang dulunya petani “Cukup uang sekoper ini, kita ga perlu mikirin masa depan lagi.” Ya aku manut-manut saja waktu itu. Padahal aku pikir hidup seseorang itu tidak sebatas uang. Aku ingin menjadi seorang guru supaya bisa membantu kawan-kawanku yang bernasib sama dan tidak punya biaya untuk menuntut pendidikan. Ideologi yang selalu aku pertahankan itu kini lenyap hanya karena sekoper uang. Ah sudahlah. Lagian semua itu sudah telanjur.

Senja masih menyapaku lembut ketika kakiku menjangkau tanah dan tak sengaja menghentak beberapa debu disekitar. Sekarang pukul lima sore di Bulan November. Seharusnya bulan hujan, namun hujan tak kunjung datang. Satu-satunya air yang menetes adalah air mataku. Senja kini gemerlapan di atas refleksi air waduk Jatigede. Betapa indahnya sehingga menggoda muda-mudi untuk berfoto ria dan saling bertukar cerita. Namun sepertinya muda-mudi itu tidak tahu pangkal dari keindahan ini sebenarnya. Mereka hanya menceritakan keindahannya tanpa tahu ironi yang terjadi.

Astaga. Rindu rasanya diriku terhadap diriku di masa lalu. Namaku Dila. Mungkin anda pernah membaca namaku di surat kabar atau media lain. 20 tahun silam aku adalah Dila yang kritis, namun sekarang aku hanyalah Dila yang menggenggam tangan anaknya lalu berbisik lembut ditelinganya “Nak jangan pernah menggadaikan pikiranmu dengan uang”

Sejenak cahaya senja mengerdipkan warna jingganya. Masih seperti senja kemarin. Namun kini didampingi seorang bocah tengil yang aku harap menjadi seorang Dila yang kritis.

Comments

comments