Birokrat Kecil itu Bernama Mahasiswa
Beberapa hari kemarin, kami mendapat kabar dari kawan seperjuangan di Lembaga Pers Mahasiswa ISBI Daunjati, terkait adanya pencekalan yang dilakukan pihak tertentu terhadap reporternya yang hendak melakukan peliputan massa aksi di kampus Telkom, Bandung.
Bukan sebuah kasus baru memang. Intimidasi, pengusiran ketika peliputan, pembekuan organisasi, hingga pembredelan terhadap karya jurnalistik seringkali menghiasi sejarah perjuangan pers mahasiswa. Mulai dari era Orde Baru (Orba) dengan NKK/BKKnya, hingga era Jokowi—yang padahal, kebebasan berpendapat dan berdemokrasi itu sudah diatur dalam Undang Undang—dengan serentetan intimidasi yang dilakukan para oknum.
Ketakutan berlebih terhadap peran media dan karya jurnalistik selalu dijadikan alasan untuk melakukan intimidasi. Dalih klise yang digunakan: menuduh tulisan yang dibuat terlalu sensitif, kemudian mengeluarkan pendapat “Jurnalis kan bisanya memelintir berita.”
Kembali pada permasalahan pertama. Ada sebuah kekonyolan dalam permasalahan terkait pencekalan ini sehingga kami tergerak untuk setidaknya memberikan sebuah edukasi tentang peran pers sebagai pilar keempat demokrasi dan Undang Undang yang mengatur tentang kebebasan yang dimiliki oleh pers—sekalipun itu pers mahasiswa.
Dalam pemberitaan yang dikeluarkan oleh Daunjati, pihaknya mengatakan kalau pada 29 Maret tepatnya Rabu siang, mereka menyambangi kampus Telkom untuk melakukan peliputan tentang aksi massa bertema “Pesta Demokrasi 293 Menggugat 493” yang digelar oleh Keluarga Mahasiswa (Kema) Telkom University.
Namun, di tengah berlangsungnya aksi tersebut, salah satu reporter Daunjati didatangi oleh salah satu mahasiswa telkom yang diamanahi sebagai penanggung jawab media, yang tugasnya berkoordinasi dengan media-media yang ingin melakukan peliputan. Bukannya mempersilakan untuk meliput atau setidaknya berkenalan agar terciptanya sebuah dialog berkesan antar mahasiswa yang intelek, justru yang terjadi malah pelarangan untuk meliput aksi tersebut.
Bukan. Pencekalan ini bukan dilakukan oleh birokrat kampus macam rektor dan konco-konconya, bukan pula aparat kepolisian/TNI dan para Ormas fasis berkedok agama. Pencekalan ini justru dilakukan oleh mahasiswa. Seorang yang menyandang gelar Agent of Change, seorang yang ngakunya melek literasi. Seorang yang harusnya bersahabat pula dengan rekan sesama mahasiswanya meski berbeda alamamater.
Lebih konyol lagi, alasan mengapa si mahasiswa itu melarang peliputan adalah karena Daunjati merupakan pers kampus luar Telkom yang tidak melampirkan surat undangan resmi peliputan.
Merasa jengkel akan reporter Daunjati yang nekat meliput, tiba-tiba mahasiswa itu yang langsung menutupi kamera reporter yang sedang merekam peristiwa aksi lewat telepon genggamnya.
Lebih mengejutkan lagi, satu-satunya alasan yang dapat dia sampaikan adalah kepatuhannya terhadap perintah atasannya yaitu Presiden Mahasiswa. Bukan cuma itu, ia mengatakan kalau mereka takut akan adanya konten jurnalistik yang berbau negatif. Sikap yang kami kira cukup memenuhi kriteria sebagai birokrat yang paranoid dan represif.
Logikanya, jika memang produk pers yakni pemberitaan itu akan berbau negatif, mengapa mereka melakukan sebuah aksi—yang didalamnya ada pula Aksara, pers mahasiswa Telkom—yang jelas-jelas punya maksud yang sama.
Kami kira, ini merupakan sebuah penyakit. Sebuah doktrin Orba yang masih melekat yang menggembar-gembrokan bahwa pers berbahaya. Padahal, sejatinya mereka haruslah tetap tunduk pada kode etik yang ada. Menjunjung tinggi kebenaran, memverifikasi informasi, membuat pemberitaan yang berimbang dan yang paling penting adalah tidak menyertakannya fakta dan opini yang mengkahimi serta menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.
Kemudian, dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999, semua hal terkait pers telah diatur sedemikian rupa. Bahkan kemerdekaan pers merupakan salah satu bentuk kedaulatan rakyat dan unsur yang sangat penting bagi keberlangsungan negara yang demokratis.
Satu hal yang ingin kami sampaikan dan tanyakan. Apa pantas, mahasiswa yang seperti itu yang katanya sahabat rakyat tertindas, tapi malah menindas sahabatnya sendiri? Perlu diketahui, mana kawan dan mana lawan. Ayo, mari membaca. Setidaknya baca saja UU RI Nomor 40 Tahun 1999 itu.[]