Ketika Negara Ikut Campur Soal Rambut
Oleh : Nabil Haqqillah
Judul: Dilarang Gondrong!: Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970an
Penulis: Aria Wiratma Yudhistira
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun: 2018, cetakan kedua
Jumlah halaman: 180 halaman
Mungkin hampir semua pelajar pernah merasakan rambutnya kena eksekusi oleh gurunya karena dianggap panjang, bahkan gondrong. Razia rambut menjadi sebuah hal rutin yang dilakukan di sekolah-sekolah, entah saat selepas upacara bendera yang dilaksanakan tiap Senin pagi atau langsung merazianya ke kelas-kelas. Tentu hal ini menjadi sesuatu yang dihindari oleh para siswa yang enggan rambutnya terkena eksekusi, terlebih guntingannya yang tidak selihai tukang cukur Asgar. Namun, itu terjadi di sekolah dengan alasan menegakkan aturan disiplin tetapi bagaimana jika razia serupa dilakukan oleh aparat sebagai kaki tangan kekuasaan negara, bahkan hingga ada himbauan langsung dari petinggi militer di televisi nasional?
Hal inilah yang coba diceritakan oleh Aria Wiratma Yudhistira dalam bukunya yang berjudul “Dilarang Gondrong!: Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an”. Lewat bukunya tersebut, ia mencoba memperlihatkan bahwa selain memusuhi ideologi kiri, rezim Orde Baru juga memusuhi rambut gondrong. Agak geli memang, tetapi itulah yang terjadi.
Aria memulai buku ini dengan menceritakan sebuah tayangan di Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada malam hari 1 Oktober 1973. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro membuat pernyataan bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi onverschillig alias acuh tak acuh. Pernyataan tersebut menjadi sebuah justifikasi bagi aksi-aksi antigondrong yang telah dilakukan, mulai dari razia di jalan raya, larangan di lingkungan sekolah dan kampus dengan ancaman tidak bisa ikut ujian, pemboikotan artis-artis berambut gondrong, hingga larangan pemain sepakbola berambut gondrong.
Aria kemudian melanjutkan bagaimana pernyataan Soemitro di TVRI tersebut direspon dengan protes dari mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada 11 Oktober 1973, sekitar 11 perwakilan Dewan Mahasiswa ITB datang ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memprotes pernyataan Soemitro tersebut. Masalah rambut gondrong ini membuat partnership yang terjalin antara mahasiswa dan Orde Baru saat menurunkan Soekarno menjadi renggang. Apalagi sebelum-sebelumnya sudah bermunculan banyak aksi protes ketidakpuasan mahasiswa terhadap masalah Bahan Bakar Minyak (BBM), pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), hingga masalah pemilu 1971. Gerakan mahasiswa sendiri saat itu mencapai puncaknya pada peristiwa Malapetaka 15 Januari (MALARI) pada tahun 1974.
Dalam buku ini, Aria juga menyinggung peristiwa 6 Oktober 1970. Ketika itu, terjadi sebuah peristiwa bentrokan antara mahasiswa ITB dengan taruna-taruna Akademi Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) yang menewaskan salah satu mahasiswa ITB. Memang peristiwa ini terjadi setelah pertandingan sepakbola antara mahasiswa ITB dengan AKABRI. yang dimenangkan oleh mahasiswa ITB. Namun, akar awalnya adalah karena razia rambut gondrong yang dilakukan oleh taruna-taruna AKABRI pada bulan September 1970. Ketika itu, para taruna AKABRI diberikan sebuah job training yang salah satu latihannya adalah melakukan razia dan mencukur rambut-rambut gondrong. Beberapa mahasiswa ITB tersebut terkena razia. Oleh karena itu, DM ITB merespons hal ini dengan aksi protes. Sebagai upaya mendinginkan situasi, diadakanlah pertandingan persahabatan tersebut yang ternyata justru memperkeruh situasi.
Buku ini cukup menarik untuk dibaca dan dikaji, di dalamnya kita dapat melihat bagaimana contoh praktik kekuasaan otoritas negara yang telah memasuki ranah privat masyarakat. Melalui buku ini, Aria setidaknya menyoroti dua hal, yaitu pertama adanya perang wacana antara orang tua dan anak muda dan kedua adalah stereotip terhadap tren anak muda yang saat itu dianggap terpengaruh dengan budaya barat. Contohnya, seperti Hippies yang pada saat itu juga masuk ke Indonesia.
Aria juga melengkapi buku ini dengan beberapa potongan artikel berita di beberapa surat kabar yang mewartakan berbagai hal soal rambut gondrong. Dengan begitu, pembaca buku ini dapat melihat secara langsung bagaimana media saat itu memandang rambut gondrong ini.
Apa yang dibahas oleh Aria dalam buku “Dilarang Gondrong” ini menjadi sebuah bukti pernah terjadinya praktik kekuasaan negara yang mencampuri urusan-urusan pribadi di Indonesia. Memang cukup menggelikan jika seseorang berambut gondrong langsung dicap sebagai kriminal. Dalam konteks saat itu, seolah-olah yang berambut gondrong adalah musuh negara. Negara mengurusi rambut, cukup menggelikan bukan?
Redaktur : Amelia Wulandari