Sebuah Pertanyaan Terhadap Penolakan

83

Adegan saat tetangga Pak Rambang menemukan bungkusan suap di tong sampah. Adegan tersebut di tampilkan saat pertunjukan teater di Auditorium lantai 4 Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Rabu (9/5).

Bumi Siliwangi, isolapos.com,-

 

Ini hanya sebuah bungkusan biasa. Sebuah kotak yang dibungkus rapi dengan kertas berwarna coklat. Tapi bungkusan ini jadi tidak biasa, jika berisi setumpuk uang milyaran. Bungkusan ini menjadi lebih tidak biasa lagi, ketika ia menjadi duta dari “ucapan terima kasih”, atau kini lebih dikenal dengan sebutan suap. Ketika akhirnya bungkusan itu berhasil memporak-porandakan keteguhan seseorang, mengotori kesucian yang telah lama dibangun.

Inilah yang terjadi pada Pak Rambang (M. Latif). Ia tak sanggup menahan serbuan teror dari para penyuap ketika ia resmi diangkat menjadi juri lomba lukis nasional. Para penyuap itu membujuk Pak Rambang untuk menjadikan pelukis favorit mereka menjadi pemenang dalam lomba itu. Para penyuap itu melakukan berbagai cara, dengan hasutan dan sebuah bungkusan berisi uang milyaran.

Awalnya, Pak Rambang tak mau menerimanya, tapi ia juga tak langsung menolaknya. Meski ragu dan telah banyak digunjingkan menerima suap oleh para tetangga, ia tetap menyimpan bungkusan itu. “Oh bungkusan, saya benar-benar tak ada niat untuk menerimamu, tapi apa daya saya benar-benar tidak berpengalaman menerima suap, apalagi menolak,” ujar Pak Rambang berkilah.

Disamping itu, Pak Rambang juga merasa tak tega memikirkan istrinya (Rindi Antika) yang terus menerus menekannya untuk mencari uang sebanyak mungkin. Dengan alasan itulah, akhirnya Pak Rambang memutuskan untuk menerima bungkusan itu, lalu diberikan pada istrinya. “Jauh lebih baik menikmati suap lalu dihukum dari pada dihukum tanpa merasakan selembar uang pun,” jelas Pak Rambang pada istrinya yang terkejut ketika diberitahu bahwa bungkusan itu adalah suap.

Mendengar ucapan suaminya, istri Pak Rambang meneteskan air mata. Bukan karena bahagia menerima uang, tapi ia sedih memikirkan suaminya telah menyerah pada suap. Ia berkata pada Pak Rambang untuk menolak bungkusan ini dan mengembalikannya. “Uang memang segalanya pak, tapi apa artinya bila bapak atau saya tidak ada disini lagi?” kata istri Pak Rambang sambil pergi bersama anaknya, meninggalkan Pak Rambang yang tertunduk malu.

Pertunjukan teater ini berakhir dengan dibukanya bungkusan oleh Pak Rambang. Ternyata, isinya hanyalah kumpulan sobekan kertas. Teater ini berjudul “Suap, Sebuah Pertanyaan Terhadap Penolakan” yang diperankan oleh mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Dik A 2010, dan diadaptasi dari cerpen “suap” karya Putu Wijaya. Tepukan tangan dan teriakan dari para penonton bergemuruh seiring berakhirnya pertunjukan di Auditorium lantai 4 Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Rabu (9/5). [Melly A Puspita]

Comments

comments