Nasib UU KPK: Perppu, Judicial Review atau Legislative Review?
Oleh: Kementerian Luar Negeri BEM Rema UPI
Bumi Siliwangi, Bandung (18/10/19). Seiring berlakunya UU KPK secara sah terhitung sejak tanggal 17 Oktober 2019 menjadi UU No. 19 Tahun 2019 yang mana tidak diteken tandatangan oleh Presiden. Meskipun demikian, UU KPK tetap sah dan berlaku karena berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.”
Melihat situasi tersebut, BEM Rema UPI secara cepat merespon dengan menyelenggarakan diskusi publik mengenai, “Nasib UU KPK: Perppu, Judicial Review atau Legislatif Review?” dengan menghadirkan narasumber yang mengisi kegiatan tersebut yaitu A’lam Hasnan Habib sebagai Menteri Koordinator Bidang Sosial dan Politik KM ITB, Ade Gunawan sebagai Praktisi Hukum, dan Kurnia Ramadhanan sebagai peneliti hukum ICW (Indonesia Corruption Watch). Kegiatan diskusi dimoderatori oleh Agung G. Pratama sebagai Menteri Koordinator Sosial dan Politik BEM Rema UPI.
Indonesia sebagai negara demokrasi memiliki makna bahwa kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Negara juga menjamin kebebasan berpendapat baik secara lisan maupun tulisan secara bebas dan bertanggungjawab. Namun saat ini, asprasi rakyat tidak secara penuh dapat diterima oleh pemerintah atas permasalahan yang terjadi. Salah satunya dengan adanya persoalan terkait Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK sebagai lembaga independen dlemahkan dengan adanya revisi tersebut. Pelemahan KPK mendapatkan banyak penolakan baik dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa. Sebelum adanya revisi UU KPK, pelemahan diawali dari pemilihan pimpinan KPK yang memiliki catatan negatif pada bulan Juni. Banyak hal yang menjadi kontroversi perihal kewenangan KPK. Mahasiswa yang juga mengikuti persoalan ini, tidak hanya tinggal diam. Pasca di sahkannya RUU menjadi UU KPK pada tanggal 17 September 2019, ribuan mahasiswa melakukan aksi yang berlangsung damai pada tanggal 19 September 2019 dan dilanjut dengan masa aksi yang jauh lebih besar lagi pada tanggal 24 September 2019. “Eskalasi gerakan mahasiswa dimulai menuntut penolakan capim (calom pimpinan. red) KPK yang bermasalah, penolakan rentetan UU hingga mendesak presiden mengeluarkan Perppu untuk mengembalikan aturan KPK awal,” Ujar A’lam.
Tuntutan mahasiswa yang disampaikan dalam aksi nasional maupun daerah meliputi revisi UU KPK dan RUU lainnya yang terkesan kejar tayang untuk disahkan di akhir periode DPR. Banyak kejanggalan yang terjadi selama masa periode akhir, terutama revisi UU KPK mengingat berjalannya dengan penuh kontroversi. “UU KPK ini prosesnya berlangsung dengan cepat dan terdapat beberapa permasalahan seperti formil bermasalah (tidak tercantum sebagai prolegnas dan rapat paripurna yang tidak kuorum), tidak mengakomodir masukan publik, tidak melibatkan KPK dalam pembahasan, lembaga independen tidak boleh ada dewan pengawas tapi membangun sistem pengawasan yang sudah ada, bertentangan dengan 3 putusan MK,” ujar Kurnia dalam menjelaskan problematika revisi UU KPK.
Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) yang sekarang ini menjadi narasi yang kuat di tataran mahasiswa perlu ditinjau secara utuh dari sudut mekanisme hukum. “Suatu peraturan harus memenuhi asas asas umum dan asas khusus dalam pembentukannya dan secara hierarki peraturan, Perppu itu setara dengan UU setelah UUD 1945 yang sudah diamandemen sebanyak 4 dan Ketetapan MPR. Dengan catatan Perppu ini harus dikeluarkan saat keadaan mendesak dan ukuran urgensi yang jelas. Sedangkan untuk melakukan Judicial Review disyaratkan adanya kerugian konstitusional yang dialami oleh pihak bersangkutan,” ujar Ade Gunawan.
Masa depan KPK tentu masih menjadi pusat perhatian pasca berlakunya UU KPK yang baru yang sebetulnya narasi upaya perubahan terhadap KPK ini sudah dilakukan sejak lama.
“Sejak 2010, KPK ini menjadi sasaran untuk dilakukan perubahan. Terlebih saat ini UU KPK yang baru merupakan bentuk upaya pelemahan KPK dimulai terancamnya independensi KPK, pembentukan dewan pengawas, hingga SP3 yang berpotensi mengacaukan penanganan suatu kasus. Belum lagi calon pimpinan yang diduga bermasalah hingga kriminalisasi, penyerangan atau teror terhadap pegawai dan pimpinan KPK,” ujar Kurnia.
Korupsi tetaplah korupsi yang menjadi kejahatan yang merampas hak rakyat secara nyata. Anak kandung dari reformasi yaitu KPK mengalami guncangan yang begitu hebat. Semoga Tuhan tidak bosan menyelamatkan bangsa ini.
Tulisan ini merupakan pers rilis kegiatan diskusi publik BEM Rema UPI, tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penyelenggara kegiatan.