Dadang Anshori: Curiga Terhadap Hoaks itu Penting
Oleh: Annisativa Novianti dan Nurul Rahayu
Bumi Siliwangi, isolapos.com— Pada Pemilu Presiden Indonesia tahun 2019 lalu, banyak berita bohong atau yang sering disebut hoaks muncul dan berkembang biak ke permukaan publik. Tidak sampai di sana, yang termakan oleh hoaks bukan hanya masyarakat umum. Namun, orang yang berpendidikan tinggi juga termakan oleh hoaks.
Bukan hanya itu, saat kasus hoaks Ratna Sarumpaet yang ramai diperbincangkan tahun 2018 lalu pun tokoh-tokoh nasional percaya dengan hal itu. Dikutip dari bbc.com, politikus seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon dinilai turut ikut dalam penyebaran hoaks tersebut.
Dadang Anshori, dosen mata kuliah Jurnalistik sekaligus Guru Besar UPI di Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia mengungkapkan bahwa hoaks berkaitan dengan teknologi. Menurutnya, sampai saat ini belum ada teknologi yang bisa menyaring hoaks dengan efektif.
“Misalnya seseorang mempunyai sistem, kemudian sistem itu digunakan sebagaimana virus dan bisa menjadi back-up data mana yang bisa selamat dan mana yang tidak. Nanti semua data bisa di input pada sistem itu, sehingga ketika ada sistem atau informasi baru, nanti sudah bisa dibandingkan dengan data-data yang lama,” jelasnya saat ditemui pada Jumat(28/02) di ruang dekan FPBS.
Saat ditanya mengenai masih banyaknya orang yang terkena hoaks, terlebih khusus kalangan orang berpendidikan lebih tinggi. Dadang menjelaskan bahwa ada dua hal yang mengakibatkan orang termakan hoaks.
Pertama, orang tersebut miskin informasi, sehingga tidak bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang hoaks. “Jika kita mempunyai filter untuk menyaring informasi, maka informasi yang benar bisa kita percaya dan yang hoaks tidak bisa kita percaya,” jelasnya.
Kedua, orang tersebut tidak kritis. Menurutnya, orang bisa menerima informasi yang benar bisa dicerna jika seseorang itu punya sikap kritik. Namun sebaliknya, jika seseorang tidak mempertanyakan informasi itu apa dan mengapa itu bisa terjadi, berarti orang itu belum bisa menyaring informasi. “Jadi kekritisan itu dapat menjadi ukuran apakah informasi yang seseorang terima itu diambil begitu saja, atau coba membandingkan dengan yang lain,” jelas Dadang.
“Jadi bagi saya, jika kita bicara hoaks, maka kita bicara apakah kita menjadi orang yang rich information atau orang yang poor information. Kalau kita menjadi orang yang rich information, kita tidak akan mudah percaya pada suatu berita tertentu,” tambahnya.
Dadang juga menjelaskan bahwa biasanya ada motif di balik penyebaran hoaks. Dia pun mengingatkan kalau ikut dalam penyebaran hoaks itu adalah kesalahan. “Pertanyaannya sederhana, Anda ingin berada di kelompok orang baik atau kelompok orang yang menyesatkan banyak orang,” tanya Guru Besar UPI tersebut.
Dadang mengajak untuk tidak mudah membagikan informasi yang belum jelas kepada orang lain. Dia juga mengatakan jika orang sudah curiga terhadap berita hoaks, maka itu menjadi penting, sehingga langsung dapat memeriksa kebenarannya.
“Saat ini membagikan informasi bisa menjadi petaka bagi kita jika tidak tahu keakuratan informasi tersebut, karena UU ITE bisa menghantam kita untuk itu,” tutup Dadang.[]
Redaktur: Rio Tirtayasa