Meninjau Kesalahpahaman Komunikasi pada Ruang Virtual dalam Perspektif Sastra Indonesia
Oleh: Elora Nora Nathania
Teman-teman semuanya pasti pernah mengalami gagal paham saat bercakap-cakap maupun saat bersenda gurau, bahkan kesalahpahaman tersebut kadang berujung miss komunikasi antarsesama. Dalam terjadinya proses komunikasi antarmanusia, sering ditemukan kesalahpahaman mengenai ketidakjelasan maksud yang disebabkan oleh adanya makna ganda pada suatu kata dan kalimat yang diujarkan. Whitman dan Yeager mengemukakan bahwa ambiguitas merupakan suatu kata atau kalimat yang mengandung interpretasi normal lebih dari satu. Pada ruang virtual, faktor yang menunjang ambiguitas tersebut disebabkan oleh tataran fonetik, gramatika, leksikal, serta pengetahuan bahasa dari penutur dan petuturnya. Hal tersebut dikatakan oleh Kridalaksana (1994: 274) bahwa bahasa merupakan lambang bunyi yang manasuka dalam penggunaannya dalam berinteraksi, bekerja sama, maupun mengidentifikasi diri.
Dalam ruang virtual Twitter, ditemukan sebuah percakapan yang di dalamnya mengandung ambiguitas. Berikut percakapan yang terjadi:
Pada situasi ambiguitas di atas, peneliti menerapkan teori semantik sebagai pilar pada kajian ini. (Pateda, 2001; Parera, 2004) mengemukakan bahwa semantik adalah studi yang mengacu pada ilmu makna. Dari ilmu semantik tersebut, dapat menjelaskan bahwa kesalahan penyampaian makna tersebut dapat disebabkan oleh pembentukan kata, konteks yang dimuat dalam kalimat, dan penggunaan frasa yang mirip. Tujuan dilakukannya kajian ini adalah agar ujaran yang ambigu tersebut tidak menimbulkan perdebatan serta kesalahpahaman antara penutur dan petutur.
Berdasarkan data di atas, yang pertama dapat ditemukan ambiguitas gramatikal, yaitu disebabkan oleh tatanan bahasa yang bersifat homonim. Homonim merupakan kata yang memiliki banyak makna berbeda dan tidak saling berkaitan. Hal tersebut dapat dijelaskan pada:
W: “Tetangga gue ketok-ketok tembok kedengeran, astaga brisik btul!”
B : “Lagi malu kali.”
W: “Kok malu knph?”
Kalimat “Lagi malu kali.” yang diujarkan oleh B memiliki makna ujaran bahwa hal yang dilakukan oleh tetangga W, yang berisik tersebut adalah ‘malu’ yaitu kata yang diambil dari kata kerja memalu (me + palu) yang berarti sedang memukul dengan palu. Jawaban dari B tersebut berhubungan dengan konteks curhatan dari W yang menjelaskan bahwa tetangganya sedang mengetok-ngetok tembok dan berisiknya suara tersebut mengganggu ketenangan W. Namun, jawaban W selanjutnya menandakan bahwa terdapat ambiguitas gramatikal. Makna kata ‘malu’ yang diterima oleh W berarti merasa tidak enak hati sehingga terjadi kesalahpahaman antara B dan W.
B : “Lah malu kenapa? Ya malu.”
W: “Lah aneh malunya ketok-ketok tembok 0_0”
B : “LAH EMG MALU DIMANA ANJIR?!? DI LANTAI?!?”
W: “MALU GIMANA SIH ANJIR EMG MALU APAAN?!”
Kesalahpahaman yang terjadi pada dialog sebelumnya memicu perdebatan antara B dan W. Perbedaan pemahaman antara mereka membuat kedua belah pihak bertanya-tanya. Dapat ditinjau dari ujaran W, “Lah aneh malunya ketok-ketok tembok 0_0”. Hal tersebut disebabkan karena pemahaman kata ‘malu’ yang ia tangkap adalah merasa tidak enak hati, membuat W heran mengapa penyebab kebisingan tetangganya mengetok-ngetok tembok adalah rasa malu.
Sedangkan, jawaban B, “LAH EMG MALU DIMANA ANJIR?!? DI LANTAI?!?” menandakan bahwa ia juga belum menangkap jelas maksud kata ‘malu’ yang diujarkan oleh W. Pada jawaban B tersebut, ‘malu’ yang ia maksud adalah memukul dengan palu sehingga ia menjawab dengan kekeuh bahwa memalu dilakukan di tembok. Hingga pada jawaban W selanjutnya, masih menandakan bahwa kedua belah pihak memiliki pemahaman makna yang berbeda.
Tindak tutur yang terjadi pada situasi di atas adalah the act of saying something yang dikemukakan oleh Searle (dalam Prayitno, 2017: 49-50). Konsep the act of saying something berbentuk tindak tutur dengan kata, kalimat, frasa, dan fonem yang diperhatikan susunan katanya. Pada susunan jawaban B, “Lagi malu kali.” terdapat fenomena bahasa yang berupa kontraksi, yaitu penyusutan fonem pada kata ‘memalu’ (me + palu) menjadi malu, tanpa mengubah makna dari frasa tersebut.
Dari percakapan di atas, terbukti bahwa ambiguitas sering terjadi pada proses komunikasi antarsesama manusia. Kesalahpahaman antara W dan B merupakan ambiguitas leksikal yang terjadi karena kata ‘malu’ yang memiliki pemaknaan berbeda antara penutur dan petutur. Perbedaan pemaknaan tersebut yang kemudian menimbulkan perdebatan antara penutur dan petutur karena kesalahpahaman. Penyelesaian kesalahpahaman tersebut dapat dipahami dengan ilmu semantik. Jika kesalahpahaman maksud sudah diluruskan maka penutur dan petutur akan menyepakati makna yang sama sehingga tujuan komunikasi akan terpenuhi dan tidak terjadi perdebatan.
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan.
*Penulis adalah Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2022 FPBS UPI