Rasionalitas dari Ketidakrasionalan

571

Oleh: Matahari*

*) Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan 2016

Aku percaya bahwa segala sesuatu adalah hitungan.

Berapa lama waktu yang diperlukan untuk tidur. Menit yang pas untuk memanggang sebuah roti. Sudut elevasi yang tepat untuk sebuah lemparan telur di panggangan. Gaya yang diperlukan untuk memindahkan kursi di meja makan. Semua bisa dihitung. Semuanya memiliki rumus, pemecahan.

Sore itu aku memutuskan untuk duduk di sebuah bangku  taman, paling pojok dan sepi. Menghadap ke arah danau buatan dan dinaungi pohon akasia tak berduri, spesies yang cukup jarang ditemui di Indonesia. Akasia tak berduri biasanya hanya ditemukan di Benua Australia sana. Berdaun cukup lebar untuk menjadi naungan.

Namun aku tak perduli. Pohon itu tak perlu masuk dalam hitunganku.

Pandanganku terfokus pada layar laptop di hadapanku. Tangan kananku sibuk memasukkan sandwich ke dalam mulutku, sedang tangan kiriku sesekali menggerakkan cursor untuk melihat halaman berikutnya.

“Kau menjijikkan,” ujar sebuah suara, tepat di belakangku.

Gadis itu berpakaian mencolok. Baju kuning dengan hiasan manik di leher dan ujung lengan. Bawahannya rok putih di bawah lutut. Tubuhnya sedikit condong ke arahku, mencoba melihat layar.

Dan aku sama sekali tak mengenalnya.

“Maaf?” tanyaku mencoba sopan. Lebih tepatnya mencoba menutupi rasa terganggu darinya.

“Kau bisa makan saat melihat gambar-gambar seperti itu? Kau benar-benar aneh!” ujarnya mendudukkan diri di sebelahku.

Ah, aku paham. Bukan sekali dua kali orang mengatakan hal ini padaku.

“Ayahku juga seorang dokter. Namun ayahku tak pernah makan sambil menatapi organ dalam manusia seperti itu,” tawanya pelan.

“Aku bukan ayahmu,” jawabku singkat. Kembali sibuk dengan urusanku, membiarkannya kembali tergelak dan memainkan ponselnya.

“Namaku Shinha, dalam bahasa aslinya berarti bulan purnama. Namamu?” tanyanya mengulurkan tangan, hendak berjabat tangan.

“Namaku Budi, dalam arti sebenarnya.”

Perempuan itu kembali tertawa ringan. Aku sama sekali tak berniat melucu, atau membuat lelucon. Dia bahkan tak sadar aku mencemoohnya, bahkan tak menerima uluran tangannya. Dia tersenyum, menarik tangannya.

“Sampai jumpa,” ujarnya berlalu pergi.

Sore berikutnya aku kembali duduk disana. Jangan salah paham, aku tak menunggu gadis itu. Tidak pula mengharapkan apa pun darinya. Dia bukan hitunganku. Faktor asing yang tak pengaruh.

Namun kuakui kehadirannya makin lama makin menjengkelkan. Dia mengacak-acak rambutku. Melarikan kaca mataku saat aku membutuhkannya. Menyembunyikan stetoskopku. Dan yang paling kusebalkan, dia – Shinha mengacaukan hitunganku.

Seharusnya aku percaya bahwa segala sesuatu adalah hitungan.

Energi yang dihabiskannya untuk sekedar mengacak rambutku. Kecepatan yang ia perlukan untuk menghindariku mengambil kembali kacamataku. Bahkan energi potensial stetoskopku jika sewaktu-waktu dia ceroboh menjatuhkannya. Semua bisa dihitung.  Semua memiliki rumus, pemecahan.

Namun dia mengacaukan hitunganku.

Aku tak keberatan menghabiskan energi untuk kembali menata rambutku sambil menggerutu, padahal tak perlu karena angin akan juga mengusutkan kembali suraiku. Aku tak cukup cepat menangkap kacamataku di tangannya, bahkan tak cukup kuat untuk menahannya saat keseimbangannya goyah. Stetoskopku benar-benar jatuh. Dan dia meminta maaf sambil tertawa. Dengan begitu mudahnya aku memaafkannya.

Tak hanya itu, aku bahkan mulai ragu apa satu menit memang enam puluh detik. Dari sumber yang kubaca, matahari terbenam paling indah saat mencapai horison, seratus delapan puluh detik. Namun mengapa saat memandang gadis itu, hitungan detik itu serasa melambat. Atau selama ini memang aku dikecoh dengan hitungan detik itu. Aku tak tahu.

“Indah,” gumamku tak sadar.

“Iya, pemandangannya indah,” balas gadis itu, menolehkan kepalanya padaku.

“Wajahmu merah dokter! Apa kau sakit?” tanyanya.

“Oh, pasti pantulan cahaya matahari. Kita berdiri di depan danau, air. Tentu saja cahayanya bisa membias ke wajah. Kau juga. Lihat dulu wajahmu!”

Dan dia kembali tertawa. Benar-benar mencoba melihat wajahnya di cermin kecil.

Kemudian beberapa waktu terlewat dengan hitunganku yang makin hari makin kacau.  Bahkan kemampuanku berbahasa pun. Aku dan dia berubah menjadi kami, aku dan kau berubah menjadi kita.

Sayang aku lupa, segala hitungan selalu mencapai hasil akhir.

Bagaimana pula caraku menuntut sebuah alasan yang logis darinya, yang rasional? Sedang dari awal kita sama tahu bahwa kita memutuskan bersama atas dasar yang tak rasional pula. Terjadi, sekedar terjadi. Begitu saja.

Tak ada hitungan pasti. Persentase atau pun grafik yang bisa dijadikan bahan analisa. Tidak ada rumus, persaman atau silogisme rumit yang bahkan sulit  memutuskan apakah hal ini layak untuk disebut fakta.

Atas dasar apa kita bersama?

Atas dasar apa kita berani memutuskan bahwa ‘kita’ adalah orang yang tepat?

Bersama gadis itu, aku mulai melakukan banyak hal yang tak logis. Tak rasional. Tertawa, tersenyum, menangis, marah, semuanya. Semuanya kulakukan tanpa ada alasan masuk akal.

Shinha seolah sebuah variabel baru dalam hitunganku. w dalam rumus tiga dimensiku (x,y,z). Perdispersi polar dalam terdispersi non polar. Serumit itu. Serumit cara aku menemukan alasan mengapa dia bisa menemukan tempat di seluruh hitunganku yang sudah real itu.

Dan kini, saat semua pengukuranku terpaksa ku kalibrasi, bagaimana pula aku menuntut alasan itu. Kita tak bersama karena alasan yang rasional, jadi rasional pulalah ketika kita memutuskan berpisah tanpa alasan rasional pula.  terjadi. Begitu saja.

“Maaf Budi, aku tak bermaksud meninggalkanmu. Dia tiba-tiba datang. Menggantikan sosokmu yang jauh berbeda,” ujarnya menunduk.

Aku balas mengangkat kepala, membusungkan dada. Ini alasan paling masuk akal yang bisa kuharapkan.

Rasionalitas dari ketidakrasionalan.

“Tak apa, aku mengerti,” ujarku berbalik, memasang senyum seraya menjauh pergi.

“Maaf,” ujarnya sekali lagi, tak mencoba mengejarku.

Langkahku besar dan cepat. Entah kenapa udara terasa panas. Keringat mengalir di wajahku begitu saja. Aku tertawa ringan sebelum mengusap liquid itu dari wajahku.

Salah. Tanpanya pun aku tetap melakukan hal-hal yang tak logis, tak rasional. Ah, kuharap sesak ini cepat pergi, dan air mata ini bisa segera kering. Supaya aku bisa segera kembali ke zona awalku, dengan segala prediksi dan hitungan yang jarang meleset. Sangat jarang meleset.

Comments

comments