Tak Pulang Rindu
Oleh: Aswan
Hari ini Bandung sama saja tak ada bedanya dengan hari-hari yang lain. Dinginnya yang mencekam dan kesibukkan setiap orang yang masih bernyawa. Hari ini sama saja dengan hari-hari yang lain, yang ada hanyalah kerinduan yang sesak di dada. Seperti kata Dilan, rindu itu berat kau takkan kuat. Ada betulnya juga rindu itu berat, tapi bukan rindunya berat tapi menurutku yang lebih berat adalah menahan rindunya yang berat. Bapak presiden pun takkan sanggup.
Lagi-lagi rindu, anak muda zaman sekarang rindu sudah seperti nasi yang enak dimakan dengan tempe goreng dicampur tahu dan sambal balado. Rindu itu sudah seperti nyawanya anak muda, bukan anak muda kalau belum pernah rindu serta merindukan. Apakah harus kita ubah nama Negara menjadi Negara rindu-sia atau merindu-sia. Ada-ada saja anak muda zaman sekarang meskipun rindu itu tidak bertuan.
Bagiku rindu itu abstrak, seperti angin yang mampu dirasa tapi tak mampu dilihat. Rindu itu gila, seperti orang gila yang sedang melihat masa depannya. Seperti itulah. Tak pasti, seperti es kepal milo yang laku karena viral yang rasanya biasa saja. Aku juga bingung mengapa es kepal milo namanya es kepal milo, mengapa tidak es kepal marjan atau es kepal nutrisari, mengapa harus milo. Apakah karena karena ada milonya. Sungguh aneh, begitulah rindu. Seperti es kepal milo.
Entahlah, beberapa hari ini semua teman-temanku hanya membahas kampung halaman. Padahal kampungnya hanyalah di Cimahi, Cibadak, Cirebon, Cihampelas dan banyak Ci lainnya. Aku bingung mengapa kampung halaman begitu sakral untuk dibicarakan, apakah mereka tidak takut menyinggung perasaan temannya yang jauh kampungnya seperti Padang, meskipun di Bandung banyak nasi padang tetap saja jauh.
Jika hari Jum’at sudah dekat, apalagi semua yang ingin pulang kampung sibuk menanyakan jadwal kepada dosen, sampai-sampai harus memindahkan jadwal pertemuan karena mereka yang ingin pulang kampung, hatiku teriris. Mereka yang tak tahan ingin berjumpa dengan keluarga dengan jarak rumahnya satu jam bahkan ada yang dua jam juga bisa sampai, gara-gara mereka yang ingin pulang, kami tim penngontrak rumah atau kamar kos hanya pengikut setia. Kami adalah merindukan yang tahu untuk siapa.
Inginku berteriak, “ku ingin marah, tapi ku hanyalah sendiri di kosan.”
Gara-gara mereka yang egois “ingin pulang, ingin pulang, aku rindu, aku rindu.” Kami terpaksa mengikuti kehendak mereka, jikalau ada kelas pergantian harus diundur dan mengikuti jadwal mereka. Tapi tak apalah, setidaknya mereka pulang kampung ingin bertemu dengan keluarganya. Tak apalah, kami yang tak dapat pulang pun melihat mereka bahagia sudah lebih dari cukup. Mereka bahagia kami pun bahagia.
“Kamu pulang gak lebaran nanti?” Tanya mereka
“Kayaknya sih enggak,” jawabku jujur dari hati yang paling dalam
“Wahh, ih kasian…” ujur mereka sambil menunjukkan wajah yang mengatakan kami pulang loh.
Selain libur mingguan, kini hadir pula libur lebaran Idul Fitri. Padahal baru mau masuk bulan Ramadhan tapi sudah membahas lebaran Idul Fitri. Sepertinya liburan dan rindu itu sudah tak dapat dipisahkan. Lini masa di media sosial ku dipenuhi status-status mereka yang mengatakan, “aku ingin pulang, aku rindu rumah, aku rindu mama dan lain-lain.” Aku yang membacanya sulit ingin berkata apa, ingin ikut sedih, bahagia, atau diam saja.
Kamar kos sudah menjadi kampung ku saat ini, dan kampus adalah tempat aku musafirkan diri. Bukan aku tak ingin pulang, bagiku semua musafir yang masih jauh dari tempat asalnya pasti inginkan pulang tapi apa hendak dikata, tugas masih banyak, uas masih banyak, belum halangan lainnya. Apakah rindu dan pulang kampung akan menyelesai semua tugasku disini. Inginku sekali pulang, makan masakan ibu, bermain dengan saudara dan mengenang masa lalu.
“Kamu pulang lebaran nanti?” Tanya sang dosen.
“Sepertinya tidak pak.” Jawabku sederhana tapi mengheningkan cipta.
“Wah, kasian yah, nanti bapak kasih kue lebaran. Soalnya istri Bapak senang membuat kue lebaran.” Ujarnya sembari mengajarkan materi yang belum sempat ia sampaikan karena terpotong dengan pertanyaan mematikannya tadi.
Malam-malamku dikosan tercinta hanya ada ditemani dengan kehampaan, kegelisahan. Sejenak aku berpikir mengapa semua orang bertanya sesuatu yang sangat menyakitkan. Aku hanya terbaring di kasur yang tipisnya hampir mengena lantai yang super dingin ini. Aku tidak boleh lemah dalam sebuah pertanyaan yang belum tentu keluar di ujian nanti, pertanyaan itu adalah pertanyaan untuk orang-orang yang tidak percaya diri. Kata Dilan sih seperti itu, “iya sih aku lagi tidak percaya diri.”
“Ibu, maaf mengganggu, ini tugas yang harus saya kumpulkan.” Sapaku kepada sosok dosen yang lagi menghayal.
“Oh iya nak, simpan di atas meja, eh kamu pulang tidak lebaran nanti” ujarnya lembut sambil tersenyum.
“Mungkin tidak buk.” Jawabku jujur
“Lah kok mungkin, oh kalau kamu tidak pulang, lebaran di rumah ibu saja. Bersama mahasiswa dari Medan dia tidak pulang juga,” tegas bu dosen.
“InsyaAllah buk.” Jawabku dengan penuh santunnya anak perantau yang tau diri bahwa rindu itu berat.
Aku mungkin telah lupa diri, bahwa aku ini perantau yang hilang dalam dinginnya kota Bandung. Bukannya aku tak ingin pulang, tapi aku ingin mengajar diriku untuk menghargai apa yang pernah aku ada. Dengan berjauhan aku tau bahwa aku harus bisa menghargai waktu dan keluarga pastinya. Aku tahu waktu tidak bisa diundur atau di majukan, tapi setidaknya aku tahu bahwa pengalaman itu tidak bisa dibeli. Dan jujur saja aku rindu masakan orang tua, aku rindu lihat wajah orang tuaku, tapi biarlah rindu ini berlalu dan pergi begitu saja. Temanku berkata bahwa mereka ingin pulang lalu tersesat dipelukkan seseorang sedang aku tersesat dalam rindu yang mendalam.[]