Bansos dan Subsidi: Solusi Sementara dalam Sistem Kapitalisme yang Mengabaikan Keadilan Sosial

78

Oleh: Maksuroh

Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12%. Keputusan ini meskipun dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara, menambah beban ekonomi yang sudah dirasakan oleh masyarakat kelas bawah. Sebagai respons terhadap dampak kenaikan PPN, pemerintah mengandalkan kebijakan bantuan sosial (bansos) dan subsidi untuk meringankan beban rakyat. Subsidi BBM, listrik, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dipandang sebagai upaya pemerintah untuk meredam efek inflasi dan membantu masyarakat yang terdampak.

Namun, penulis berpendapat bahwa bansos dan subsidi bukanlah solusi jangka panjang yang dapat mengatasi masalah sosial-ekonomi yang mendalam. Solusi tersebut hanya merupakan pelipur lara yang tidak menyentuh akar permasalahan. Akar masalah ini bukan hanya terletak pada kebijakan pajak atau harga barang, tetapi pada sistem kapitalisme yang telah merasuki struktur ekonomi Indonesia dan memisahkan kehidupan ekonomi dari nilai-nilai agama. Kenaikan PPN dan kebijakan subsidi merupakan konsekuensi logis dari kapitalisme, sebuah sistem yang mendewakan keuntungan individu dan mengabaikan kesejahteraan sosial.

Kapitalisme dan Kenaikan PPN: Normalisasi Ketidaksetaraan

Kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang dominan di seluruh dunia, mendorong penguasaan kekayaan oleh segelintir individu atau korporasi besar melalui mekanisme pasar bebas. Dalam sistem ini, pasar menjadi yang paling menentukan dan negara lebih berperan sebagai fasilitator bagi pertumbuhan ekonomi yang dipacu oleh keuntungan pribadi. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan PPN meskipun dirasakan berat oleh masyarakat miskin, sebenarnya adalah bagian dari dinamika pasar kapitalis yang menuntut negara untuk terus menghasilkan pendapatan guna mendukung sistem tersebut. Kenaikan pajak ini, di satu sisi memberi dampak langsung pada peningkatan biaya hidup. Namun, di sisi lain hal ini dianggap sebagai hal yang “biasa” dalam ekonomi kapitalis.

Subsidi dan bansos memang muncul sebagai kebijakan yang dianggap “meringankan” beban masyarakat, tetapi hal ini tidak menyelesaikan masalah mendasar yang terjadi. Kapitalisme menciptakan ketidaksetaraan dengan memusatkan kekayaan pada segelintir individu, sementara mayoritas rakyat tetap hidup dalam kemiskinan atau keterbatasan. Subsidi dan bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah tidak pernah mampu mengatasi ketidakadilan ekonomi yang inheren dalam sistem ini, karena mereka tidak mengubah struktur distribusi kekayaan yang timpang. Bantuan tersebut hanya menciptakan ketergantungan, sementara akar masalah—yakni ketidakmerataan kekayaan—tetap dibiarkan tanpa perubahan.

Bansos dan Subsidi: Solusi Sementara yang Tidak Memberdayakan

Subsidi diskon listrik meskipun memberikan bantuan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan, tidak menyelesaikan akar masalah dalam sistem ekonomi. Misalnya, subsidi tersebut hanya meredakan beban jangka pendek tanpa memberikan solusi yang lebih berkelanjutan, seperti pendidikan atau keterampilan yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dalam jangka panjang. Subsidi listrik hanya berlaku untuk periode tertentu dan tidak mendorong masyarakat untuk keluar dari keterbatasan ekonomi mereka.

Lebih dari itu, kebijakan subsidi seperti ini juga berisiko menciptakan ketergantungan. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan subsidi diskon listrik akan cenderung bergantung pada bantuan tersebut tanpa berusaha untuk mencari solusi ekonomi yang lebih mandiri. Alih-alih memberdayakan masyarakat untuk mengelola keuangan mereka secara mandiri, subsidi ini justru mengurangi insentif untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka dengan cara yang lebih berkelanjutan, seperti melalui peningkatan keterampilan atau usaha mandiri.

Selain itu, bansos dan subsidi listrik 50% sering kali tidak tepat sasaran. Banyak pihak yang seharusnya tidak menerima subsidi ini, seperti golongan menengah yang lebih mampu membayar tagihan listrik, tetapi tetap mendapatkan manfaat dari kebijakan ini. Sebaliknya, mereka yang benar-benar membutuhkan, seperti keluarga miskin yang tidak memiliki akses ke listrik yang layak, justru kurang mendapatkan perhatian. Distribusi bantuan yang tidak merata ini hanya memperburuk ketidakadilan sosial dan ekonomi.

Kapitalisme dan Agama: Pemisahan yang Membuat Ekonomi Tidak Adil

Sistem kapitalisme yang memandang bahwa ekonomi dapat berjalan dengan sendirinya tanpa harus terkait dengan nilai-nilai moral atau agama. Dalam sistem ini, kegiatan ekonomi sering kali diukur hanya dari seberapa banyak keuntungan yang dapat diperoleh tanpa mempertimbangkan keadilan sosial dan kesejahteraan kolektif. Hal inilah yang menyebabkan ketidakadilan yang mendalam, yang tercermin dalam kesenjangan sosial yang terus berkembang.

Dalam pandangan Islam, ekonomi tidak dapat dipisahkan dari prinsip moral. Kesejahteraan sosial adalah tanggung jawab bersama dan distribusi kekayaan harus dilakukan dengan adil. Dalam sistem ekonomi yang berbasis agama, seperti yang diajarkan dalam Islam, setiap individu memiliki kewajiban untuk memberi (zakat dan infak) sebagai upaya untuk mengurangi kesenjangan dan mengentaskan kemiskinan. Islam mengajarkan bahwa ekonomi tidak hanya berorientasi pada keuntungan individu, tetapi juga pada keberlanjutan kesejahteraan umat secara keseluruhan.

Namun, dalam kapitalisme, kesejahteraan sosial dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari aktivitas ekonomi. Ini adalah alasan mengapa kebijakan yang diambil seperti bansos dan subsidi hanya bersifat sementara dan tidak pernah mengubah struktur ketidakadilan yang mendalam. Ketika ekonomi dijalankan hanya untuk keuntungan individu dan perusahaan, maka yang terjadi adalah kesenjangan yang semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin.

Solusi Alternatif: Menciptakan Ekonomi yang Berlandaskan Keadilan Sosial dan Agama

Dalam Islam, pajak bukan sumber pendapatan negara dan diberlakukan hanya pada kondisi kas negara kosong serta ada pembangunan yang wajib dilaksanakan. Itupun hanya pada rakyat yang mampu. Pajak adalah sebagai langkah darurat yang tidak seharusnya menjadi beban permanen. Dalam buku Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah,  sumber pendapatan utama negara menjadi hak kaum muslim dan masuk ke baitulmal ada sembilan bagian, yaitu fai (anfal, ganimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, serta harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.

Syarak telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos yang ada atau tidak adanya harta di baitulmal tetap harus berjalan. Jika ada harta, akan dibiayai oleh baitulmal. Jika tidak ada, kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum muslim. Ini karena jika tidak dipenuhi, bisa menyebabkan dharar bagi seluruh kaum muslim. Untuk menghilangkan dharar pada saat baitulmal tidak ada dana, Khilafah boleh menggunakan instrumen pajak (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah).

Oleh karenanya, pajak dalam Islam bukan untuk menghalangi orang kaya atau menambah pendapatan negara, apalagi untuk memperkaya pejabat negara. Namun, pajak diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan syariat.

Oleh karena itu, Islam mewajibkan penguasa berbuat baik dan memenuhi kebutuhan pokok rakyat, karena penguasa adalah raa’in (pengurus urusan rakyat). Profil penguasa dalam Islam menjadi kunci lahirnya kebijakan yang berpihak pada rakyat. Penguasa dan kebijakan prorakyat tersebut hanya lahir dari sistem politik Islam. Wallahu a’lam bissawab.

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan

*Penulis merupakan mahasiswa S-2 Universitas Pendidikan Indonesia

Comments

comments