Hak Berorganisasi vs Antisipasi Perpeloncoan: Polemik Kebijakan Kaderisasi di UPI

176

Oleh: Lira Septia Zahra dan Muhammad Nashruddin Ash Shiddiq

Bumi Siliwangi, Isolapos.com–Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Bisnis, Yudi Sukmayadi mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 50/UN40.R5/KM.00.02/2025 Tentang Larangan Perpeloncoan dan Penjemputan Mahasiswa Baru pada Kegiatan Masa Orientasi Kampus dan Kuliah Umum (MOKAKU). Surat tersebut sempat dikeluarkan tahun lalu dengan alasan yang serupa, yaitu meminimalisir terjadinya perpeloncoan oleh ormawa. Poin-poin di dalamnya menjadi sorotan ormawa UPI, termasuk menyinggung larangan adanya kegiatan lain di luar jadwal MOKAKU dan kegiatan orientasi selama 60 hari. Yudi Sukmayadi menyatakan, alasan dikeluarkannya surat edaran tersebut sebagai bentuk antisipasi pihak UPI terhadap kegiatan orientasi atau kaderisasi yang mengarah pada perpeloncoan dalam kampus.

Menurut Yudi, kebijakan ini berdasarkan surat edaran dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan evaluasi dari kegiatan MOKAKU yang terlaksana di tahun sebelumnya. Penyesuaian waktu yang diedarkan dilakukan untuk menjaga kondusifitas dan juga mempersiapkan mahasiswa dalam beradaptasi terhadap lingkungan kampus maupun kegiatan akademik yang ada. Ia juga menambahkan, bahwa ia tetap mendukung adanya kegiatan kaderisasi yang dilakukan oleh ormawa yang ada di UPI, dengan adanya pertimbangan efektivitas waktu yang dibutuhkan untuk kaderisasi itu sendiri. 

“Namun yang sedang kita pertimbangkan itu kan masalah waktu dulu ya. Ada pertimbangan logis berdasarkan hasil evaluasi, kondusifitas pelaksanaan mokaku yang lalu, itu sementara ini menunjukkan cukup kondusif untuk mempersiapkan mahasiswa dalam kegiatan akademik. Jadi selama itu kami bermaksud biar mahasiswa baru itu mengenal UPI dengan baik, mempersiapkan perkuliahan dengan baik, baru kemudian ada kesempatan untuk diberikan kesempatan dengan para senior yang disebut kaderisasi dan sebagainya. Jadi bukan dilarang tiba-tiba nggak boleh, tetapi kita mempertimbangkan dari segi efektivitas waktunya.” ucap Yudi Sukmayadi. 

Dukungannya terhadap kegiatan kaderisasi yang ada di ormawa UPI juga masih belum didasari dengan jaminan bahwa ormawa UPI tidak melakukan hal-hal yang tak diinginkan oleh universitas itu sendiri yaitu perpeloncoan. 

Yudi juga menambahkan, bahwa aksi demonstrasi untuk menanggapi surat edaran seperti yang dilakukan tahun sebelumnya, dapat dikatakan tidak relevan dan ingin tetap menjaga kondusifitas serta kekeluargaan yang berlaku di UPI. 

“Nanti gini, pemahaman aksinya jangan seperti gimana-gimana, itu juga sudah tidak relevan. Dan seperti tadi, kita tetap menjaga kondusifitas dan kekeluargaan” ujar Yudi. 

“Silahkan mendatangi kami, kita ngomong seperti ini, mungkin ada pemikiran-pemikiran baru yang mungkin belum kami pahami. Mangga nanti kalau mau diskusi, (kita-Red) sangat terbuka.” pungkasnya.

Ketua Divisi Kerjasama dan Ormawa, Pandu Hyangsewu, menjelaskan bahwa mahasiswa tidak dilibatkan karena surat edaran tersebut merupakan hasil evaluasi tahun sebelumnya. Menurutnya, jika audiensi akan dilaksanakan nantinya, maka keterlibatan mahasiswa akan lebih terbuka. “Nah, kalau memang ada audiensi, mungkin nanti di situ kita bisa lebih membuat atau menjadikan sebuah pertimbangan akal yang baru.” ujarnya. 

Tak hanya pihak universitas, ormawa UPI memiliki kekhawatiran tersendiri atas beredarnya surat edaran tersebut. Bayang-bayang molornya timeline dan regenerasi yang terhambat, menjadi kekhawatiran dari ormawa yang ada di UPI. Menurut Zulfaqar, salah satu perwakilan dari Himpunan Mahasiswa Civic Hukum FPIPS UPI, adanya surat edaran tersebut menurunkan empati mahasiswa baru terhadap organisasi yang berada disekitarnya. 

“Kaderisasi itu penting sekali sebagai pilar untuk berjalannya berlangsungnya kehidupan organisasi itu sendiri. Kaderisasi itu disiapin buat regenerasi dari organisasi… Empati dan rasa memiliki ke himpunan itu dapat hilang semisal kaderisasi juga hilang ataupun kendor dikit gitu. Makanya esensi kaderisasi bukan ajang perpeloncoan ya.” ujarnya. 

Ia juga menambahkan, bahwa surat edaran yang beredar juga masih memiliki kekuatan hukum yang kurang kuat untuk memberikan sanksi karena hanya berbentuk himbauan. 

Zulfaqar berpendapat bahwa surat edaran tersebut memiliki kekuatan hukum yang kurang untuk memberikan sanksi. Hal ini dikarenakan surat edaran tersebut tidak memiliki pertimbangan hukum yang kuat seperti dari Statuta UPI atau peraturan Rektor, saat mengeluarkan empat poin di dalamnya. “Jadi kekuatan hukumnya kurang. Urgensinya tidak jelas.” tegasnya.

Pandangan serupa disampaikan Angel, perwakilan mahasiswa dari salah satu fakultas di UPI. Ia menyatakan bahwa di setiap rangkaian kaderisasi yang ada di himpunannya selalu diperbarui sesuai dengan kurikulum dan indikator mahasiswa baru. Menurutnya, kurikulum yang diterapkan kali ini juga menyesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa baru yang akan diarahkan untuk menjadi guru di kemudian hari sesuai dengan yang akan dipelajari saat perkuliahan. 

“Kalau memang indikator dari mahasiswa barunya tidak tercapai yaudah berarti makin lama karena sesuai dengan kebutuhan mahasiswa baru juga. Ditambah kita juga sudah kerja sama dengan mahasiswa jadi gak bakal ada perpeloncoan yang kayak gitu-gitu. Terutama kan kita digodoknya atau dididiknya untuk menjadi seorang guru, jadi gak mungkin lah kita keras ke anak murid gitu.  Nah makanya pengkaderan juga diajarin untuk menjadi guru tersebut.” ujar Angel. 

Di sisi lain Ketua BEM KEMA FPOK, Ozan Sangga, menganggap pengaruh dari surat edaran tersebut akan berdampak ke berbagai hal, walau begitu pihaknya akan terus melanjutkan kegiatan kaderisasi karena tidak sedikitpun mengandung unsur perpeloncoan di dalamnya. Menurutnya, taraf kaderisasi di fakultasnya sesuai dengan kegiatan mahasiswa FPOK sehari-hari. 

“Sedangkan kami melakukan kaderisasi tidak ada gitu, unsur perpeloncoan ataupun hal semacam itu gitu. Makanya kami mungkin akan terus melakukan kaderisasi karena tidak ada sedikitpun unsur perpeloncoan… Tapi tidak menyalahkan stigma-stigma dari orang lain juga terkait kaderisasi kami yang semi-militer. Tetapi harus disesuaikan juga oleh fakultas kami sendiri, fakultas olahraga.” Ujar Ozan. 

Menanggapi permasalahan yang terjadi, BEM REMA UPI, menginisiasi konsolidasi bersama ormawa di UPI sebagai bentuk penolakan larangan kaderisasi yang dianggap membatasi hak untuk berorganisasi. Konsolidasi diadakan di Taman Partere UPI, pada 13 Agustus 2025 yang dihadiri oleh seluruh fakultas yang ada di UPI. 

Hasil konsolidasi tersebut melahirkan delapan tuntutan yang akan di audiensi bersama pimpinan UPI yaitu: (1) Penghapusan dan pencabutan surat yang dikeluarkan, (2) Rasionalisasi pengeluaran surat edaran, (3) Melakukan audiensi secara transparan, (4) Nota kesepahaman rektor dan mahasiswa, (5) Data dari pihak rektor terkait perpeloncoan, (6) Meminta jaminan kepada pihak rektor apabila surat yang serupa dikeluarkan di tahun berikutnya, (7) Penyebaran surat dilakukan di jam kerja, dan (8) Penyelesaian masalah yang lebih urgent dibutuhkan oleh mahasiswa. 

Wakil Presiden BEM REMA UPI, Najril, menambahkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan saat ini merupakan efek dari luputnya keterlibatan mahasiswa dalam struktur Majelis Wali Amanat (MWA) UPI. “Karena memang akhirnya ketika MWA dari Unsur Mahasiswa bisa hadir, seperti kebijakan-kebijakan ini, tidak akan jalan di tempat. Lain halnya jika Unsur Mahasiswa tidak dilibatkan di MWA UPI, maka akan seperti ini terus pada akhirnya.” ujarnya.

Najril juga menanggapi terkait jaminan ormawa tidak melakukan perpeloncoan yang dipertanyakan oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Bisnis. Menurutnya, dalam ormawa sendiri memiliki badan legislatif yang mengatur undang-undang kaderisasi. 

“Sebetulnya dari ormawa sendiri memiliki yang namanya badan legislatif, yang artinya aturan atau undang-undang kaderisasi dari pihak legislatif bisa dijadikan acuan. Karena di sana nanti bisa kita laporkan kepada pihak rektor bahwa secara undang-undang pun, di sini dikatakan tidak boleh adanya perpeloncoan, pun nanti akan diperjelas melalui kurikulum kaderisasi yang dimiliki di setiap himpunan.” imbuhnya.

Sementara, menurut salah satu peserta konsolidasi, Fahri Akbar, surat edaran yang berlaku saat ini telah mencederai Statuta UPI pada pasal 47 dan 48 yang mengatur tentang organisasi kemahasiswaan di lingkungan UPI.

“Terkait Statuta UPI, yang dimana di pasal 48, pasal 47 sudah diberlakukan bahwasannya hak-hak dari mahasiswa itu sendiri harus dijaga. Terkait kebebasan berpendapat, terkait juga kebebasan beropini dan lain-lainnya. Tapi dengan adanya surat edaran ini membuktikan bahwasannya dari pihak rektorat itu sendiri membatasi terkait kaderisasi dan juga orientasi mahasiswa.” ujar Fahri. 

Ia juga menanggapi, jaminan untuk tidak melaksanakan perpeloncoan di dalam kegiatan kaderisasi, harus berdasarkan bukti berupa pihak mana saja yang melakukan perpeloncoan itu sendiri. Ia juga sepakat dengan perwakilan mahasiswa FPMIPA yang hadir di konsolidasi dan memaparkan bahwa kegiatan kaderisasi di ormawa UPI baiknya memiliki pedoman khusus. Fahri juga menambahkan pedoman khusus tersebut dapat disepakati oleh kedua belah pihak sesuai dengan pasal 1338 Undang-Undang KUHPerdata yang menyatakan ‘perjanjian yang dibuat secara sah harus ditaati dan dilaksanakan oleh para pihak yang terlibat. 

Ia berharap bahwa K3 juga dapat berjalan lebih masif dalam memantau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh ormawa UPI. Mengingat laporan-laporan yang diberikan himpunan terkait kaderisasi terlalu banyak diolah sehingga tidak terlihat letak perpeloncoannya. 

Perbedaan pandangan antara pihak universitas dan ormawa soal kaderisasi masih belum menemukan titik temu. Pertemuan lanjutan akan menjadi penentu, apakah aturan ini akan direvisi, dipertahankan, atau justru memunculkan kebijakan baru di UPI.[]

Redaktur: Sennita Tya Divany

You might also like