Cerita Mahasiswa UPI Jalani Kuliah Sambil Mondok

89

Oleh : Naufal Febriyan & Lira Septia Zahra

Bumi Siliwangi, Isolapos.com“Kuliah sambil mondok” adalah istilah yang lumayan populer di kalangan mahasiswa, tapi tidak banyak yang memilih untuk melakukannya. Kebanyakan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) lebih memilih tinggal di indekos atau apartemen. Padahal, pondok pesantren memiliki keunggulan yang tidak dimiliki indekos. Seperti biaya yang relatif lebih terjangkau atau memberi wadah kegiatan positif bagi mahasiswa dalam mengisi waktu luang.

Di sekitar kampus UPI Bumi Siliwangi sendiri terdapat beberapa pondok pesantren mahasiswa, seperti Pondok Pesantren Mahasiswa Arrohmaniyah di Cidadap, Miftahul Khoir di Dago, atau Daarut Tauhiid di Geger Kalong. Sayangnya, informasi mengenai keberadaan pondok-pondok ini belum banyak tersosialisasikan. Kebanyakan informasi pondok pesantren didapat dari mulut ke mulut. Minimnya informasi ini membuat sebagian mahasiswa merasa lebih mudah mencari indekos daripada pesantren.

Selain itu, beberapa mahasiswa merasa sudah cukup terbebani dengan tugas kuliah dan keorganisasian. Sehingga mereka enggan menambah beban aktivitas dengan rutinitas pondok yang dikhawatirkan menambah kesibukan baru. Namun, bagi sebagian lainnya, menjaga nilai agama dianggap sama pentingnya dengan mengenyam pendidikan tinggi. Mereka memilih mengisi waktu luang kuliah dengan kegiatan pengajian, tadarus Al-Qur’an, hingga kajian rutin.

Beberapa narasumber yang isolapos.com wawancarai mengaku sudah mengenal dunia pesantren sejak sebelum kuliah. Namun, hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi mereka yang belum pernah mondok. Seperti Nanda, Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Tahun 2024 sekaligus Ro’isah (Kepala Santri Putri) Pondok Pesantren Miftahul Khoir Dago, mengatakan bahwa pengalaman mondok justru menjadi pengalaman baru.

“Meskipun sebenarnya awal-awal tuh aku kurang percaya diri ya, karena pasti teman-teman yang lain tuh udah pasti sebelum-sebelumnya pesantren gitu. Apakah aku bisa mengimbangi? Ya tapi ternyata beberapa dari temanku juga itu ada yang belum pesantren.” ujarnya.

Hal senada disampaikan Fatimah Zahra, mahasiswa Pendidikan Teknik Arsitektur UPI yang kini tinggal di Pondok Pesantren Daarut Tauhiid. Ia menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk takut mencoba mondok meski tanpa bekal hafalan Quran. “Jadi, walaupun, misalkan dia, ‘aduh hafalan saya, belum ada hafalan sama sekali’, tapi itu (tetap-Red) bisa (diterima di Daarut Tauhiid-Red), karena mau gimana pun juga kita di sana itu mahasiswa,” jelas Fatimah.

Anwar Sadath, Alumni UPI program studi Pendidikan Agama Islam 2021 yang kini aktif mengabdi di Pondok Pesantren Al-Barokah, menilai bahwa metode pembelajaran di pesantren lebih cocok untuk dirinya daripada metode pembelajaran agama di perkuliahan. “Jadi memang budaya (kuliah-Red) yang dibangun itu kita belajar menganalisis berbagai referensi, ngulik sendiri. Padahal menurut saya itu kurang tepat. Seharusnya kita diarahkan dulu oleh guru, baru kita bisa ‘berfatwa’ mengeluarkan pendapat soal agama” ujarnya.

Ia juga menegaskan dengan tinggal di pondok pesantren, idealisme organisasi harus dikurangi supaya dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan pondok nantinya, serta mahasiswa yang memilih mondok harus dapat mengambil hal duniawi secukupnya saja, sisanya kelancaran diserahkan pada faktor barokah.
Akan tetapi, menjalani “kuliah sambil mondok” tidak selalu mudah. Beberapa mahasiswa mengaku mengalami kesulitan membagi waktu antara kuliah dan kegiatan pondok. Jadwal kuliah yang padat sering kali berbenturan dengan kewajiban pondok.

“Kalau untuk kesulitan sih pasti ada seperti culture shock. Karena di SMA mata pelajarannya biasa saja, sedangkan di kuliah beda lagi mata kuliahnya sehingga banyak tugas dan harus bisa membagi waktu,” ujar S, Mahasiswa UPI yang tinggal di Pondok Pesantren Mahasiswa Arrohmaniyah.

“Tapi menurut saya sendiri, ketika mondok di sini kuliah dan ngajinya tidak ada bentrokan. Karena keduanya dapat berjalan dengan baik. Jadi menurut saya harus bisa mengatur waktunya” lanjutnya.
Meskipun begitu, mayoritas mahasiswa yang memilih jalur ini merasa lebih terbantu secara ekonomi. Beberapa pondok hanya memungut biaya Rp150.000,00 per bulan, dengan pengeluaran tambahan contohnya iuran beras kolektif sekitar Rp50.000,00. Biaya ini jauh lebih murah dibanding indekos yang rata-rata mencapai Rp500.000,00 hingga Rp1.000.000,00. Sehingga dengan memilih untuk tinggal di pondok, biaya hidup bisa ditekan.

Fatimah menilai pilihan tempat tinggal saat kuliah sebenarnya kembali ke kenyamanan masing-masing. Ia yang mondok di Daarut Tauhiid mengaku lebih cocok dengan lingkungan pondok. “Rasanya lebih aman dan ada komunitas yang terus mengingatkan. Kalau di kos, kita bisa lebih bebas, tapi belum tentu bisa menjaga diri,” ujarnya.

Pada akhirnya, “kuliah sambil mondok” menjadi pilihan hidup sebagian mahasiswa. Bagi mereka, pesantren bukan sekadar tempat tinggal, melainkan rumah kedua yang menjaga mereka dari pergaulan bebas, membiasakan disiplin, serta menyeimbangkan dunia akademik dan spiritualitas.

Redaktur: Sanjaya Setia Permana

You might also like