Cerpen: Toilet
Oleh Hafid Satryadi
Bangun pagi yang menyenangkan. Dan ketika kubuka jendela kamarku pagi ini cahaya matahari yang keluar hanya cukup untuk melihat pandangan disekitarku saja. Hari ini awan mendung cukup untuk membuatku memperkirakan bahwa hari ini akan turun hujan yang sangat deras. Pikiranku pun membayangkan apa yang akan kulakukan hari ini apabila hujan deras benar-benar akan turun. Pergi tergesa-gesa ke kampus berharap tidak kehujanan yang pasti akan membuat basah bajuku. Kulihat jam bulat bertuliskan “Enjoy Coco Colo“ berdetak tak berhenti. Jarum panjang yang menunjuk angka 7 dan jarum pendeknya menunjuk kearah 6 seakan menyuruhku untuk berhenti membayangkan apa yang akan kulakukan hari ini. Tanpa pikir panjang aku menyambar handuk dan peralatan mandi dengan memikirkan semoga saja aku tidak telat dan diusir oleh dosen. Kuliah hari ini dimulai jam 8.00 wib. Dan aku memang seorang mahasiswa yang sering diusir oleh dosen karena telat hadir dalam perkuliahan.
Akhirnya aku tiba di toilet kost-kostanku yang berukuran 1,5 x 2 meter. Pintunya yang sebagian telah lapuk karena terlalu sering tersiram air dan membuatnya lembab seakan menyapa ku
“Selamat pagi!” katanya
“Selamat pagi juga,” jawabku
“Kenapa terburu-buru? Telat lagi? Kau memang manusia yang tak bisa berbuat apa-apa selain bangun kesiangan,” tanya ia sembari meledek diriku
“Ya, terserah. Yang penting aku hari ini tidak mau diusir oleh dosen. Mahasiswa itu harus selalu tepat waktu hadir diperkuliahan. Agar benar-benar menjadi seorang agent of change,” jawabku sombong
“Ah.. sombong sekali dirimu. Baru mahasiswa tingkat 1 saja sudah berani berbicara seperti itu. Kau boleh berbicara seperti itu kalau kau hadir di depanku 2 jam lebih awal dari sekarang,” Kembali ia meledekku dengan kata-katanya yang sok tahu.
“Sudahlah sekarang aku ingin masuk dan segera mandi. Kau membuat waktuku terbuang percuma saja,” Jawabku sambil mendorong ia.
Brrr..udara dingin dan lembab menusuk tulang-tulangku ketika kubuka pakaian yang aku kenakan. Dan kebiasaan aku ketika masuk ke toilet kembali akan menghabiskan waktuku pagi ini. Duduk di jamban sambil merenung dan menghayal sering membuatku lupa waktu. Berpuluh-puluh menit sering aku habiskan hanya untuk melakukan itu semua. Terkadang kupikir itu tidak ada gunanya, tapi kenapa aku selalu melakukannya? berpikir aku sambil duduk di jamban yang berwarna biru tanpa mengeluarkan apapun.
“Selamat pagi,” sapa jamban kepadaku
“Selamat pagi juga,” jawabku pelan sambil berpikir
“Kali ini apa yang engkau pikirkan, manusia malas?” ejek jamban kepada ku
“Enak saja kau memanggilku seperti itu, dasar!! Jamban jelek dan bau,” balasku
“Memang kenyataannya seperti itu. Dan aku memang tak berbicara bohong,” jawabnya membela diri
“Sudahlah kau mengganggu pikiranku saja,” ucapku lirih seakan tak mau meladeni jamban yang jelek dan bau itu.
“Hei manusia malas! Apa yang kau pikirkan? Siapa tahu saja aku bisa membantumu,” ucapnya ingin tahu
“Hei jamban jelek dan bau. Aku sedang berpikir kenapa setiap pagi aku selalu saja melakukan ritual bodoh ini. Duduk di atasmu sambil merenung dan menghayal yang tidak jelas,” jawabku dan berharap ia menjawab
“Mungkin karena engkau tidak dapat berpikir di tempat lain atau bisa saja engkau telah lama melakukan ini yang akhirnya menjadi sebuah kebiasaan,” jawabnya
Benar juga, aku melakukan ini semenjak aku bersekolah di SD. Dan itu semua tanpa aku sadari. Pikiranku pun terbang dan menembus waktu ketika jamban itu selesai berbicara. Mengenang masa-masa indah ketika aku masih sekolah. Kenangan masa SD, SLTP, hingga SMA yang kualami begitu indah. Namun satu hal yang paling kuingat adalah aku tak pernah bangun kesiangan dan datang terlambat ke sekolah, kalaupun ada itu hanya sesekali dan masih bisa aku hitung. Mungkin karena setiap pagi aku dibangunkan oleh orangtua ku yang tak ingin melihat anaknya datang terlambat ke sekolah. Tapi sekarang semenjak aku menjadi mahasiswa yang bisa aku ingat adalah berapa kali aku datang pagi-pagi ke kampus.
“Hei jamban. Berapa kali aku tidak merenung dan menghayal ketika aku duduk di atasmu?” tanya ku kepada jamban
“Entahlahlah seingatku kau selalu saja melakukan ini setiap pagi sebelum kau berangkat kuliah. Tapi tunggu dulu, pernah kau tidak melakukannya ketika kau tidak mandi di pagi hari. Namun itu juga kau alihkan ke sore hari ketika kau sakit perut,” jawab jamban yakin
“Ah, bohong!! Mungkin orang lain yang kau lihat. Selain aku masih banyak penghuni kostan ini yang melakukannya setiap pagi,” jawabku mengelak
“Tak tahulah, yang pasti wajah kalian sama ketika kalian datang kesini” seloroh jamban.
Aku berusaha mengingat kapan aku tidak melakukan kebiasaanku setiap pagi ini. Dan pikiranku pun kembali terbang. Seingatku ketika aku bangun kesiangan dan sama sekali tak memikirkan hal lain selain tiba di kelas tepat waktu. Hari itu aku ada ujian yang sangat penting. Kalau aku tidak mengikuti ujian tersebut aku akan mengulang tahun depan. Dan aku tak ingin bertemu dengan dosen yang mengajarkan mata kuliah tersebut untuk kedua kalinya.
Semakin aku berpikir untuk tidak memikirkan hal lain semakin genjar pula ingatan-ingatan yang lain datang secara bersama-sama masuk ke dalam pikiranku. Dan toilet ini membuatku tenang dan mampu mengatur mereka untuk aku atur seperti bebek yang akan masuk ke kandang. Satu persatu mereka aku giring masuk kepikiranku. Masalah yang pertama masuk membuatku berusaha untuk berpikir keras. Dan kembali jamban jelek itu bertanya ingin tahu.
“Kenapa? Masalah uang? Memangnya apa bedanya kalau kau punya uang atau tidak? Lantas apakah kau akan terus-terusan seperti ini?” tanya jamban kepada ku
“Ya, enggak lah. Hidupku harus berubah. Dan tidak mungkin aku harus seperti ini terus, benarkan?” Jawabku dan langsung meminta keyakinan dari jamban.
“Iya benar, dan aku tak akan menyalahkan itu. Namun apapun itu kau harus mempertanggung jawabkannya,” jawab jamban dengan penuh kebijaksanaan
Huah….lega sekali rasanya perut ku. Sepertinya jalan keluar untuk masalah ku telah kutemukan. Kemudian masalah berikutnya kembali ku giring masuk ke dalam pikiranku. Kali ini selalu menjadi suatu masalah yang membuat aku selalu tidak dapat mengerti. Ketika kutemukan jalan keluar untuk masalah ini ternyata jauh di sana masih terdapat labirin yang panjang dan membuat otakku berputar-putar untuk menyelesaikanya. Cukup lama aku berpikir untuk mencari ataupun membuat jalan keluar untuk masalah ini.
“Gila…dimana jalan keluarnya?” teriakku
“Hooo…pelan-pelan. Kau membuatku kaget. Nafsu ku untuk makan terganggu. Kenapa lagi? Baru saja kau mengeluh tadi, sekarang kau malah teriak tak karuan,” jawab jamban seraya terkejut
“Hei jamban. Aku sedang putus cinta atau istilah kerennya broken heart,” jawabku kesal
“Asyik…masalah cinta. Aku selalu suka mendengarnya. Ayo cepat ceritakan,” jawab jamban kegirangan
“Aku menyukai dia. Namun ia sudah memiliki pacar. Susah ya kalau sudah menyangkut hati,” jawabku
“Sepertinya benar, karena kau menjawabnya dengan yakin,” Jawab jamban pura-pura mengerti.
Dasar jamban…diajak berbagi cerita malah membuatku semakin bingung. Sekarang siapa yang bodoh, jamban jelek itu atau aku? Aku mengajak ia bebicara dari tadi. Tapi sejak memulai pembicaraan hari ini aku merasa ia membenarkan ucapan ku dan hanya sesekali ia membantah. Dasar jamban…
Perutku terasa lebih lega sekarang. Setelah semuanya ku keluarkan dan masalah-masalah ku yang ada dapat ku lupakan sejenak dan sebagian telah menemukan jalan keluarnya. Segera ku berdiri dan bersiap menahan dinginnya air yang telah terisi penuh di dalam bak mandi. Seperti kotak yang ada dalam pikiran ku yang nantinya akan terisi penuh dengan masalah-masalah yang tak berhenti masuk kedalam otakku.***
Hafid Satryadi, mahasiswa Manajemen Resort & Leisure angkatan 2005