Maksud Baik Anda Untuk Siapa?
“ kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : “kami ada maksud baik”
dan kita bertanya : “maksud baik untuk siapa ?”
ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
“maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?”
Penggalan sajak WS Rendra yang berjudul Pertemuan Mahasiswa seolah menjadi suatu pertanyaan besar yang sama bagi para mahasiswa ketika dihadapkan dengan maksud baik dan kebijakan yang diberlakukan kepada mahasiswa. Menurut pembuat kebijakan, tindakan mereka merupakan suatu maksud baik untuk mahasiswa dan universitas, lalu kembali kita mahasiswa bertanya, maksud baik itu untuk siapa?
Beberapa pekan ini mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mulai terlihat pergerakannya dengan mengkritisi dan meminta pertimbangan akan kebijakan yang ditetapkan pihak universitas untuk mahasiswa. Reaksi yang selalu disebut-sebut hanyalah dinamika oleh pihak universitas bukanlah tak berdasar dan sekadar mencari sensasi, namun hal itu disuarakan mahasiswa sebagai bentuk kepedulian mereka untuk kemajuan universitas berjargon pendidikan ini.
Terdapat tiga kebijakan yang sontak menimbulkan reaksi dari kalangan mahasiswa, Kebijakan yang pertama adalah peraturan rektor yang keluar di penghujung tahun 2010 yaitu peraturan No.8052/H40/HK/2010 tentang Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) di lingkungan UPI. Peraturan yang objeknya adalah Ormawa UPI ini dianggap sebagai bentuk intervensi universitas terhadap ruang kebebasan mahasiswa untuk berorganisasi, dalam salah satu pasalnya, seluruh organisasi mahasiswa harus mendapatkan pengesahan terlebih dahulu dari pihak universitas. Padahal, di pasal 4 keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan No.155/U/1998, tertulis bahwa organisasi mahasiswa merupakan organ non struktural universitas yang dengan kata lain memiliki hak untuk terbebas dari campur tangan universitas.
Hal lain yang membuat mahasiswa jengah terkait peraturan rektor tentang Ormawa adalah pihak universitas tidak melibatkan perwakilan terlebih dahulu dalam penyusunan peraturan ini. Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa UPI-pun, mengaku tidak dilibatkan. Mengenai hal ini, Cecep Darmawan, Direktur Kemahasiswaan UPI mengklarifikasi bahwa terbitnya peraturan ini merupakan suatu niat baik bagi para Ormawa agar tertib dan memiliki kelegalan dari sisi hukum.
Meski seperti itu, dengan adanya peraturan rektor tentang Ormawa ini, Ormawa jadi harus dipusingkan untuk meng-SK-kan himpunannya. Dan Ormawa seoalah dibayang-bayangi birokrat dan diintervensi oleh peraturan tersebut, bisa saja jika kegiatan Ormawa dituduh sepihak melanggar aturan itu, lantas organisasi mereka dibubarkan. Meskipun universitas-pun optimis, bahwa mahasiswa berkegiatan tidak akan melanggar aturan. Lalu, jika optimis mahasiswa tidak akan melanggar aturan, kenapa harus ada aturan? Hal ini sungguh sangat lucu, kembali mengutip sajak WS Rendra diatas, “Lantas, Maksud baik sodara untuk siapa?”
Belum usai dagelan universitas dengan munculnya peraturan rektor tentang Ormawa, muncul lagi parodi lucu yang berjudul “Tarif Masuk Kendaraan”. Universitas menerbitkan kebijakan melalui peraturan Rektor No.2050/UN40/HK/2011, kebijakan yang langsung ditandatangani rektor Sunaryo Kartadinata ini “memaksa” para mahasiswa yang berkendaraan untuk membayar tarif masuk dan parkir di kampus pendidikan ini. Dalam peraturan ini semua civitas akademika, kecuali pejabat kampus, yang membawa kendaraan diharuskan untuk membayar “jasa universitas yang menyediakan lahan” untuk setiap kendaraan yang parkir.
Tak pelak, hal itu membuat mahasiswa kegerahan, mereka menilai kebijakan kampus ini sebuah langkah komersialisasi yang bertendensi bisnis. Bahkan ada mahasiswa yang nyeletuk, jangan-jangan nanti di setiap WC universitas tertera “Buang air kecil Rp 1000, buang air besar Rp 2000”. Celetukan tadi tak mustahil dilaksanakan universitas jika orientasinya sudah komersil, segala dieksploitasi untuk kepentingan bisnis universitas.
Mahasiswa langsung bereaksi sejak peraturan ini baru sekadar rancangan. Betapa tidak, kampus dengan jargon pendidikan ini ingin mendidik mahasiswanya dengan uang. Hal ini sungguh sangat lucu, karena kampus pendidikan yang seharusnya mencetak pendidik yang memiliki nilai-nilai luhur dan rela memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bangsa, dibentuk untuk menjadi pendidik yang profesional jika dibayar dengan mahal. Kesimpulan tersebut ditarik dari pernyataan Pembantu Rektor Bidang Keuangan, Sumber Daya dan Usaha, Idrus Afandi yang menyatakan jika mau profesional ya harus bayar “Di dunia ini tidak ada yang gratis, semua harus bayar.”
Sungguh sangat menggelikan wajah tempat pencetak Oemar Bakri ini. Segalanya diukur dengan uang, bagaimana nasib pendidikan indonesia jika pendidiknya dididik di universitas “pemungut” uang, sudah diprediksilah bagaimana produk universitas ini memperlakukan anak didiknya, segalanya diukur dengan uang.
Kejengahan mahasiswa di tanggapi sang pembuat kebijakan, Idrus Affandi, yang berperan sebagai Pembantu Rektor Bidang Keuangan dan Sumberdaya. Dan lagi-lagi menurutnya, terbitnya kebijakan ini atas “maksud baik” universitas untuk menertibkan, dan menghijaukan kampus ini. Menurutnya, dengan pemberlakuan tarif masuk kampus dan parkir ini akan menekan laju kendaraan yang ada di universitas yang menurut pandangannya “amburadul”.
Universitas “bermaksud baik” dengan dipungutnya tarif parkir bagi mahasiswa diharapkan akan tercipta kampus yang hijau dan tertib dan menekan jumlah kendaraan yang masuk ke UPI. Jika niatnya seperti itu kenapa yang ditarif hanya mahasiswa? Bukankah dosen dan karyawan juga menyumbang “keamburadulan” dan menyumbang peningkatan jumlah kendaraan di UPI?” Lalu maksud baik anda untuk siapa?”
Mahasiswa tak tinggal diam dengan realitas seperti itu, berbagai kajian dilakukan bersama-sama, bahkan survei kepada mahasiswapun dilakukan untuk membuktikan bahwa “maksud baik” universitas ini tak berlaku baik bagi mahasiswa. Dan benar saja, hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 85% mahasiswa yang disurvei tidak menyetujui dan keberatan atas diberlakukannya peraturan parkir berbayar.
Menindaklanjuti hal itu,perwakilan mahasiswa dari setiap elemen Ormawa dibawah BEM Rema UPI menggelar audiensi bersama para petinggi dan pemegang kebijakan, namun beberapa kali beraudiensi tak juga aspirasi mahasiswa itu ditanggapi, malah kepedulian mahasiswa itu dituduh “Apriori” oleh sang pemegang kebijakan.
Para aktivis mahasiswa sontak saja terluka atas pernyataan tersebut, ditambah lagi pernyataan Idrus Affandi bahwa kebijakan ini akan tetap dipaksakan yang dibumbui dengan kalimat “Tangan Besi, mungkin diperlukan”, yang dilontarkan Idrus dalam audiensi yang kesekian kalinya digelar. “Maksud Baik” yang menjadi awal munculnya kebijakan ini, berubah menjadi pernyataan yang justru terkesan “memperkosa”, lantas kita bertanya, “Maksud baik anda itu untuk siapa?”
Tak cukup kelucuan itu membuat mahasiswa tersenyum miris, muncullah keputusan rektor No.0654/H40/KU/2011 tentang biaya pendidikan jalur masuk Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun akademik 2011/2012, dalam besaran biaya yang terlampir dalam keputusan itu, biaya masuk bagi mahasiswa baru tahun akademik 2011/2012 berkisar antara 12 sampai 17 juta. Angka yang cukup fantastis mengingat kenaikannya yang berkali-kali lipat dari tahun sebelumnya yang masih 5-7 juta. Kenaikan SPP untuk mahasiswa barupun meningkat hampir ratusan persen dari tarif sebelumnya.
Hal ini memunculkan tanggapan, betapa komersilnya tempat pencetak guru ini. Mahasiswa naik pitam dengan kemunculan keputusan ini, kepedulian mereka terhadap masyarakat Indonesia yang akan menempuh bangku kuliah melalui SNMPTN, terpanggil dan terdorong untuk mengambil tindakan kongkrit yaitu dengan menyuarakan satu kata “Tolak”.
Betapa tidak, dari hasil survei yang dilakukan Dr.Asep Supriatna, mantan dekan Fakultas Pendidikan Matematika, menunjukkan bahwa dari sembilan ribu calon mahasiswa yang mendaftar SNMPTN ke UPI, sekitar enam ribu calon mahasiswa berada pada tingkat ekonomi menengah kebawah dan tidak mampu. Dengan hal itu, jelas-jelas kenaikan ini menjadikan akses pendidikan bagi calon mahasiswa kurang mampu yang mengidamkan bangku kuliah menjadi sangat kecil, keputusan ini seolah menjadi penjegal calon mahasiswa yang akan berjuang mencari ilmu dan mendamba menjadi pendidik.
Tak bosan, lagi-lagi kebijakan ini didasarkan atas “maksud baik” universitas yang menginginkan peningkatan kemajuan dan moderenisasi kampus. UPI yang menuju entah “World Class University” atau “World Cost University”, membutuhkan dana yang besar untuk membiayai gedung-gedung bertingkat, dan kenaikan itu digunakan untuk mengembangkan fasilitas dan gedung-gedung bertingkat yang lebih baru, juga dipakai untuk membayar utang pinjaman biaya pembangunan gedung dari Islamic Development Bank.
Atas dasar kebutuhan biaya kampus itulah yang menjadikan universitas memutuskan untuk menaikkan biaya kampus berkali-kali lipat, mungkin tanpa mempertimbangkan kondisi calon mahasiswa yang tidak seluruhnya memiliki uang untuk membayar itu, apalagi hanya cuma bermodal nilai akademik baik dan meminta kasihani, universitas ini seolah menjadi rembulan yang didamba dan dirindukan oleh pungguk.
Dan yang mencengangkan, dalam audiensi yang kesekian kalinya dilakukan oleh perwakilan mahasiswa, Dadang Sunendar, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kemitraan melontarkan pernyataan yang entah harus ditertawakan atau tangisi, dengan ucapannya yang berisi “Mari kita berdo’a, agar mahasiswa yang masuk ke UPI ini bukan dari kalangan menengah ke bawah”. Terdengar miris dan kembali kita ingat dengan penggalan sajak WS Rendra, “Lalu, Maksud baik anda itu untuk siapa?”
Berbagai adegan dagelan tersebut memang harus ditanggapi serius oleh para agent of change. Kebijakan komersil ini tidak bisa dibiarkan mengakar di kampus pencetak para pendidik ini, bagaimana pendidik bangsa kita dimasa depan jika itu dibiarkan?.
Sepekan lebih ini, mahasiswa menggelar aksi demonstrasi di kampus UPI, berbagai orasi disuarakan mahasiswa sebagai bentuk kepedulian mereka atas “maksud baik” universitas. Dalam aksi yang pertama, mahasiswa meminta rektor sunaryo kartadinata untuk keluar dari sarangnya di gedung Villa Isola, namun betapa kerasnya riuh mahasiswa mengajak bapaknya itu untuk berdialog, namun rektor tak mau juga keluar, malahan, entah takut atau memang tidak mau menemui mahasiswa, terdengar kabar bahwa rektor pergi melalui pintu belakang universitas menghindari mahasiswa.
Hal itu membuat para mahasiswa yang sejak pagi menunggu kecewa, namun mereka tak seharusnya surut semangat dengan kepengecutan itu, justru mereka harus berbangga karena perjuangan mereka untuk bangsa indonesia sungguh berani, mereka juga mesti berbangga atas perjuangan mereka untuk memperbaiki wajah pendidikan dan universitas tercinta tak akan berbuah sia-sia. Dan semoga saja motto kampus UPI yang edukatif, ilmiah dan religius ini tidak berganti menjadi “Edukatif, Ilmiah, dan Religius Jika dibayar”
Tentu saja kita bertanya :
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
Kita mahasiswa tidak buta!
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akankah menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ? –WS.Rendra
Hidup Mahasiswa!