Cerpen : Lelaki Penghitung
Ini sudah menjadi penantiannya bertahun-tahun. Mungkin bukan waktunya lagi ia mengitung hari yang telah lama memenangkan pertandingan. Sudah tidak penting memandangi jarum jam. Atau sekedar mengeja bulan bulan yang melenggang semakin jauh. Senja telah beberapa kali memerahkan dunianya. Namun, ia tetap saja duduk di bangku itu. Datang setiap pagi dan sore. Musim hujan atau kemarau. Bertahun-tahun dilaluinya hanya duduk dengan tatapan kosong. Ia tak melakukan suatu apapun. Tak bicara. Tak menyapa.
Taman yang sama. Baju yang sama. Perasaan yang sama. Ia menyesal. Kenapa keadaan juga harus ikut tetap sama? Lelaki tua. Entah apa yang ditunggunya setiap hari. Mungkin kenangan. Atau sekedar masa lalu yang enggan dilepaskannya.
Orang-orang senang membicarakannya. Aku dengar, ia menanti istrinya yang telah lama hilang bersama anak-anak mereka. Aku juga dengar, bahwa sebenarnya ia adalah lelaki penyendiri. Tak memiliki keluarga dan mengasingkan diri dari dunia luar. Ku pikir, mungkin benar juga. Aku tak pernah melihatnya mengobrol dengan seseorang. Dalam cerita berbeda, ada yang mengatakan ia sebagai lelaki pensiunan yang emosinal. Mudah marah. Mudah menangis.
Sore itu aku duduk lebih dekat dari jarak biasanya. Ku perhatikan wajahnya yang mulai keriput. Uban tumbuh di beberapa bagian kepala. Matanya merah. Duduk diam tanpa memerdulikan sekitar. Tak memerhatikan satu apapun. Aku penasaran. Apa sekiranya yang dipikirkannya selama bertahun-tahun? Duduk manis, sedang usia makin menua. Apa benar ia menanti istrinya yang telah lama hilang?
Tak tampak rasa bosan dalam gurat wajahnya. Orang-orang terus saja menebak-nebak yang dilakukan lelaki itu. Tetapi tak ada yang berani untuk menegur dan menanyakan langsung. Mereka hanya saling berbisik di belakangnya. Menceritakan yang mereka ketahui. Mengembangkan kisah yang belum jelas. Mencoba menerka-nerka yang terjadi. Orang-orang memang senang menduga-duga. Melebih-lebihkan cerita. Mungkin itu sebuah trik yang digunakan agar mereka terlihat seperti orang yang banyak tau.
Hari semakin gelap. Betahun-tahun ia seperti ini terus. Bertahun-tahun lalu mungkin ia pernah berbincang dengan seseorang. Atau pergi ke restoran untuk makan. Tetapi, tahun-tahun itu kini sudah berubah menjadi tahun-tahun penantiannya. Penantian tanpa ujung. Tanpa belas kasih. Ia seperti sudah tau apa yang akan menghadangnya di ujung jalan. Namun, ia tetap saja datang ke taman itu untuk menunggu kenangan yang habis terkuras waktu. Usianya makin menua. Ingatannya mulai pikun. Baru baru ia sadar bahwa ia tak akan bisa melawan kodrat.
Malam itu hujan. Deras. Ia masih duduk di bangku itu. Ku perhatikan lekat dirinya yang tak tampak kedinginan. Ini tak biasa. Ia memeluk sesuatu. Tak pernah terjadi sebelumnya. Selama bertahun-tahun penantiannya. Ia tak pernah dengan seseorang atau sekedar menenteng apapun. Aku mendekat. Ia tak bergerak, tak menyapa. Tak ada suara kecuali guyur hujan yang coba memandikan taman.
Waktu berhenti. Lama. Aku tak sempat menghitungnya karna terlalu sibuk memikirkan apa yang dipikirkan lelaki itu. Benda dalam pelukannya jatuh ke tanah bersama tubuhnya. Aku berteriak sekencang yang ku bisa. Guyur hujan di atas genteng-genteng rumah penduduk tak mau kalah dengan teriakanku yang akhirnya hanya menjadi angin lalu. Aku mencoba mengangkat tubuhnya yang hampir kaku.
Seseorang menghampiriku. Wajahnya tak jelas. Ia mengangkat tubuh yang mulai kaku itu. Dingin malam yang disempurnakan hujan sudah terlalu dalam menusuk sampai ke tulangnya. Tentu itu akan merobohkannya. Bertahun-tahun ia duduk seperti ini terus.
Aku melihat punggung si pemopong semakin jauh. Jauh, meninggalkan bangku taman yang bertahun-tahun menjadi tempat si lelaki menanti kenangannya. Mereka hilang, tenggelam dalam pekat malam. Sekarang hanya ada aku dan sisa hujan.
Bertahun-tahun kembali berlalu. Lelaki itu telah berhenti menghitung. Ia tak lagi menandai kalender-kalendernya dengan tanda silang warna merah. Sudah berpuluh-puluh bulan ia duduk menanti. Bukan istri atau anak anaknya. Tapi kenangan yang akan dikubur bersamanya.
Tahun-tahun penuh kekejaman berakhir di sebuah taman tanpa bunga, tanpa pohon. Hanya ada pigura foto yang tergeletak di tanah basah. Waktu membunuhnya perlahan. Ku perhatikan pigura itu. Aku masih tampak muda dengan gaun putih pernikahan. Ia membiarkan dirinya larut bertahun-tahun.
Ratapan bertahun-tahun itu kini telah menjemput masa lalunya.
Bulan-bulan telah berganti nama sejak kejadian bertahun-tahun itu. Bertahun-tahun (dulu), sehari setelah lelaki tua pensiun, istrinya bunuh diri. Berhari-hari ia tak membiarkan orang-orang masuk dan mengubur istrinya. Ia biarkan mayat itu membaui rumah yang mencekam. Bau kematian tidak hanya tercium di tempat tidur. Tapi juga di kamar, di dapur, di seluruh ruangan.
Itu telah bertahun-tahun lalu. Dan kini, tahun-tahun itu telah berganti tanggal. Tahun-tahun yang dihitung telah berganti jumlah. Hingga angka-angka menjadi bukan sesuatu yang pasti lagi. Ia telah menjemput kenangannya kembali.
Fanny Marini Tiara, Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2010