Bahasa Indonesia Nonstandar
Oleh Muhamad Patoni*-
Bahasa berkaitan erat dengan pemiliknya, yaitu manusia. Maka, tak heran bila bahasa beragam karena manusia sebagai pemiliknya begitu beragam. Keberagaman tersebut terlihat dari keinginan, kegiatan, dan keadaan yang berbeda antarmanusia.
Di zaman sekarang, bahasa yang selaras, tanpa ragam, kecil kemungkinan ada. Kecuali di masyarakat pedalaman yang pola hidupnya monoton serta tak berhubungan dengan dunia luar. Sedangkan masyarakat yang mengenal dunia luar (selain daerah mereka) atau pola hidupnya dinamis tentu saja bahasanya beragam.
Bahasa Indonesia pun mengalami keragaman tersebut. Hal itu terjadi karena manusia Indonesia mempunyai beragam keinginan, kegiatan dan keadaan. Apalagi, bahasa Indonesia digunakan oleh berbagai suku dengan berbagai latar belakang bahasa daerah yang berbeda. Hal tersebut semakin membuat bahasa Indonesia beragam.
Keberagaman bahasa sendiri paling mencolok dalam perbendaharaan kosa kata. Pada dasarnya setiap ragam memiliki sistem fonem, kata, dan kalimat yang sama dengan bahasa standar, yang membedakannya hanya kosa kata saja. Hal itu terlihat dengan setiap ragam memiliki kamus tersendiri, misalnya kamus bahasa gaul, kamus bahasa jurnalistik, kamus istilah biologi, kamus istilah ekonomi dll.. Akan tetapi, sistem fonem, kata, dan kalimat tetap sama, kalau pun berbeda tidaklah dominan.
Dalam ranah nonformal di Indonesia, selain kita menggunakan bahasa daerah, kita juga bisa menggunakan bahasa Indonesia nonstandar atau kita sebut bahasa Indonesia dialek Jakarta. Bahasa Indonesia nonstandar digunakan di Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan daerah dekat Jakarta lainnya. Bahasa Indonesia nonstandar ini pun lahir lewat proses yang panjang, terutama penyerapan kosa katanya. Berikut sekilas tentang dua bahasa yang memberikan sumbangsi pada perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia nonstandar.
Bahasa Prokem
Bahasa prokem lahir sekitar tahun 70-an atau akhir 80-an. Ciri bahasa prokem adalah disisipkannya -ok- dalam kata-katanya setelah dua fonem paling akhir dihilangkan. Seperti kata prokem yang berasal dari kata preman, kata preman dihilangkan dua fonem terakhirnya menjadi prem, lalu di sisipkan -ok- menjadi prokem. Seperti juga kata bapak yang menjadi bokap. Kata bapak dihilangkan dua fonem terakhirnya menjadi bap, lalu disisipikan -ok- menjadi bokap.
Selain penyisipan -ok-, proses morfologis bahasa prokem ini bisa dilakukan dengan mengganti kata ke lawan kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem, distribusi fonem, penambahan awalan, atau akhiran. Contohnya kata dagadu yang artinya matamu. Perubahan kata ini menggunakan rumusan pergantian fonem, dimana fonem /m/ diganti dengan fonem /d/, sedangkan fonem /t/ diubah menjadi fonem /g/. Sementara fonem vokal sama sekali tidak mengalami perubahan. Rumusan ini didasarkan pada susunan fonem pada aksara Jawa yang dibalik dengan melompati satu baris untuk masing-masing fonem.
Dalam ragam bahasa Indonesia nonstandar kata-kata dari bahasa prokem ini kita gunakan.
Bahasa Betawi
Bahasa Indonesia yang bersinggungan dengan bahasa daerah membuat lahirnya bahasa nonstandar sangat mungkin. Dalam kasus kenonstandaran bahasa Indonesia, bahasa Betawi cukup banyak menyumbang kenonstandaran tersebut. Kita tentu mengenal kata gua, elu, belon, cuman. Itulah beberapa contoh kata-kata dari bahasa Betawi yang kita sering gunakan dalam pertuturan bahasa Indonesia nonstandar. Pada bahasa asalnya, bahasa Betawi, kata-kata tersebut kata-kata yang baku, namun pada bahasa Indonesia tidak baku.
Yang menarik meskipun interferensi kosa kata bahasa Betawi pada bahasa Indonesia cukup banyak, pelafalan kata bahasa Betawi belum kita ikuti. Kata apa, bawa, aja, masih kita lafalkan /apa/, /bawa/ dan /aja/, belum menjadi /ape/, /bawe/ dan /aje/. Padahal, pada bahasa Betawi fonem /a/ yang berada di akhir kata selalu dilafalkan /e/.
Bagaimana Kita Menyikap Bahasa Indonesia Nonstandar ini?
Ahli bahasa yang berpaham prespektif mengatakan bahasa nonstandar merusak bahasa Indonesia. Padahal, kenonstandaran itu sendiri muncul karena kebutuhan sosial masyarakat pemilik bahasa, misalnya ketika kita sedang mengobrol dengan penuh canda dengan teman akrab, tentu saja untuk melahirkan keakraban itu dibutuhkan bahasa yang tidak kaku, maka didasari kebutuhan tersebut digunakanlah bahasa nonstandar. Contoh lain ketika seorang manusia berada pada usia remaja, secara sosial ia ingin terlihat berbeda dengan orang tua dan anak-anak, maka, keinginan berbeda tersebut salah satunya diekspresikan lewat penggunaan bahasa yang berbeda dengan orang tua dan anak-anak, maka lahirlah bahasa nonstandar. Jadi, pelarangan terhadap penggunaan bahasa nonstandar tidak mungkin karena penggunannya pun didasari oleh kebutuhan sosial dari penggunanya.
Paling pelarangan yang bisa kita lakukan ketika bahasa nonstandar digunakan tidak pada ranahnya. Kita tidak perlu menyoal ketika sekelompok mahasiswa berbahasa “gue, elu” di kantin karena itu memang ranah nonformal, ranah bagi bahasa nonstandar. Kita baru bisa menyoal mahasiswa tersebut ketika ia berbahasa “gue, elu” di ranah formal misalnya perkuliahan dan seminar.
Untuk itu, marilah kita membedakan konsep bahasa yang benar dan baik. Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan tata baku bahasa. Sedangkan bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan ranah atau situasinya. Sekelompok mahasiswa yang berbahasa “gue, elu” ketika di kantin sedang menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Hal tersebut sah dalam berbahasa.
*Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, angkatan 2010. Bergiat di Masyarakat Linguistik Indonesia.