Nilai Demokrasi yang (kembali) Dikebiri
Sudah 17 tahun sejak Reformasi lahir di Indonesia, sejarah tentang bagaimana seluruh lapisan masyarakat memperjuangkan haknya untuk mendapat kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sungguh tak masuk akal ketika hari ini masih saja ada pembungkaman atas kebebasan itu, khususnya dalam dunia Pers.
Kemerdekaan Pers itu ternyata belum bisa diraih, terlebih lagi kasus kali ini harus menimpa Pers Mahasiswa yang status hukumnya baru bisa berteduh dibawah payung hukum kampus. Jika kita mengacu kembali pada Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada Bab II tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, pasal 6 telah diatur bahwa segala macam bentuk pengembangan budaya akademik mahasiswa harus didukung dan difasilitasi oleh pihak kampus itu sendiri.
Namun saat ini momentum reformasi itu masih bernada palsu. Pengembangan budaya akademik pun kembali dikebiri. Hal ini lah yang sekarang dirasakan oleh teman se-LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) kami: Pers Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dengan Majalahnya Lentera nomor 3/2015.
Mereka mendapat kecaman dari pihak aparat dan birokrat kampus atas majalahnya yang berjudul “Salatiga Kota Merah” karena mengangkat isu memperingati 50 tahun pembantaian simpatisan PKI di Salatiga dan sekitarnya. Akibatnya, tepat pada hari Sabtu, 17 Oktober lalu pihak aparat Kepolisian, Tentara, dan Wali Kota Salatiga melakukan penarikan, pemberhentian distribusi, dan rencana pemberangusan secara sepihak atas majalahnya.
Pertanyaannya kemudian, mengapa di iklim yang serba demokratis ini, cara-cara intimidasi tersebut masih digunakan? Bukankah kita telah meninggalkan lembaran kelam masa lalu disaat kebebasan berpendapat telah dipasung, dan menyambut lembaran baru kehidupan demokrasi yang menuntut kebebasan dan transparansi informasi? Sehingga sangat keliru jika pihak kampus dan aparat terkait melakukan tindakan intervensi dan bahkan intimidasi semacam itu terhadap Lentera.
Dalam hal ini, kita menyaksikan kembali sebuah momentum nilai demokrasi yang kembali dikebiri. Upaya represif yang seharusnya sudah hilang dalam 17 tahun terakhir kembali menjadi momok yang menyeramkan dan harus sesegera mungkin ditindaklanjuti oleh pihak terkait. Sehingga, Indonesia menjadi Indonesia yang seutuhnya, dengan kebebasan informasi yang seharusnya dijunjung tinggi.