Kenali Konsep Sigmund Freud Lewat Oedipus
Oleh Reza Agung P.
Bumi Siliwangi, isolapos.com? Mengenal sebuah konsep Sigmund Freud dengan berdiskusi ataupun mengkaji buku mungkin sudah lazim di kalangan mahasiswa psikologi, namun kali ini format berbeda dan menarik disusung oleh Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dalam Kuliah Lintas Ilmu dengan cara mengapresiasi monolog berjudul Oedipus, pada Rabu (04/05) di Auditorium Fakultas Ilmu Pendidikan UPI).
Oedipus sendiri merupakan karya yang disadur dari naskah teater Adre Gide yang diterjemahkan oleh novelis Indonesia Eka Kurniawan. Kisah ini menceritakan tentang kematian Raja Laius dari Thebes yang terbunuh tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Tidak lama, raja baru Thebes diangkat dan ia bernama Oedipus. Namun selang kepemimpinannya, kerajaan tersebut selalu dirundung malapetaka. Masyarakat pun resah dan gelisah terutama para pendeta, Tiresias san Nabi Buta salah satunya .
Titik cerah pun ditemukan! Dewa memberi wahyu pada masyarakat Thebes untuk memulihkan kerajaannya dengan cara menemukan pembunuh Raja Laius dan menghukumnya. Pilihan tersebut akhirnya memaksa Oedipus untuk ikut campur dalam kasus tersebut sebagai pengusut sekaligus hakimnya. Oedipus tidak sadar bahwa keputusan itulah yang akhirnya membawanya pada lembah nasib yang ironis. Niscaya Oedipus lah yang menjadi hakim atas dosa yang harus ditebusnya, Nah!
MIF Baihaqi, yang merupakan penggagas konsep Kuliah Lintas Ilmu ini menyatakan bahwa monolog berjudul Oedipus ini mengenalkan banyak teori psikologi Sigmund Freud bagi masyarakat apalagi Mahasiswa Psikologi UPI. Salah satunya adalah konsep bahwa seorang anak akan melewati fase oral, anal, phallic, latency, dan genital. Oedipus merupakan refleksi bahwa pada fase phallic, anak akan memiliki kecenderungan untuk mempunyai ketertarikan seksual terhadap orangtuanya yang berlawanan jenis, seperti kisah Oedipus yang berakhir dengan mencintai ibunya sendiri.
“Jika hanya mengajar di kelas, diskusi, menerjemahkan buku, maka saya tidak bisa menyampaikan konsep-konsep estetis,” ujar Baihaqi. Dia mengaku bahwa metode belajar dengan cara menyimak monolog dapat menggugah hati mahasiswa untuk bisa mengapresiasi seni. Adapun menurutnya akan sulit bagi dosen manapun untuk menerjemahkan ekspresi dalam kelas seperti dalam karya teater ataupun monolog. Untuk itu Baihaqi sering mengajak mahasiswanya untuk berkunjung ke galeri seni ataupun teater lain di luar.
Para mahasiswa yang mengikuti Kuliah Lintas Ilmu ini sering menjadikan monolog tersebut sebagai bahan diskusi di kelas. Baihaqi bahkan kerap memasukan bahasan monolog tersebut sebagai bahan ujian ketika Ujian Akhir Semester sehingga mahasiswa wajib menyimak monolog tersebut sampai akhir. “Entah mereka mencatat atau enggak pokoknya bahasan ini pasti ada di ujian,” tuturnya dengan sedikit tawa canda.
Gagasan mengenai pementasan monolog ini juga diakuinya merupakan dukungan dari berbagai pihak seperti komunitas teater. Sekalipun fasilitas yang cenderung minim membuat pementasan terbatas pada format monolog saja, tetapi gagasan tersebut dapat diklaim sukses karena telah menelurkan beberapa judul seperti; “Mengandung Tuhan,” yang mengandung muatan pencarian agama yang sangat kental, adapun juga apresiasi teater yang bercerita tentang pencarian identitas remaja pada Peristiwa Mei 98 yang sempat dipentaskan di Universitas Sriwijaya, lalu muncul juga “Monolog Inggit” yang menuturkan kepahlawanan perempuan Sunda.
Dedi Warsana, aktor sekaligus sutradara “Monolog Oedipus” juga menyatakan kesiapannya untuk turut membantu dalam setiap Kuliah Lintas Ilmu jika dia diundang lagi dalam pementasan monolognya. Pria yang akrab disapa Dewa ini berujar bahwa dirinya salut dengan MIF Baihaqi sebagai dosen yang dapat mengapresiasi seni. Menurutnya monolog ini sangat bermuatan psikologi sehingga dapat menjadi pembelajaran yang efisien bagi mahasiswa psikologi.
Pria yang pernah menekuni kegiatan teter di Teater Mahasiswa IKIP Bandung (TMIB) itu bercerita bahwa sedikit kesulitan dalam memerankan peran Oedipus apalagi dalam format monolog. Sekalipun pernah memerankannya dalam format teater, penjiwaan terhadap karakter Oedipus memerlukan emosi dan amarah yang banyak. “Saya gak bisa ngebayangin ya bagaimana menikahi ibunya sendiri dan untuk memikirkannnya pun saya gak mau,” katanya.
Akhirnya Dewa menyiasatinya dengan membuka kembali memori-memori lamanya yang dapat mengeluarkan ekspresi-ekspresi tersebut di atas panggung. Bahkan dengan sedikit bercanda dia mengaku seing menyangkutpaukan kejengkelannya terhadap hotel di Setiabudhi dengan amarahnya di panggung. “Panggung adalah wadah ekspresi saya,” tuturnya.
Dewa menutup dengan pernyataannya bahwa Monolog Oedipus ini dapat sukses jika dipentaskan secara luas. Dewa menganggap banyak kritik terhadap pemerintah dalam Oedipus ini. Salah satunya adalah mengkritik pemerintah yang tidak tahu malu akan kesalahan-kesalahannya dan justru menutup mata akan kebobrokan negaranya. Sementara dalam kisah Oedipus, Raja Oedipus rela menghukum dirinya sendiri setelah mengetahui dosa-dosanya. “Seorang pemimpin (red, ketika) merasa bersalah, kalaupun tidak ada yang bisa menghukumnya ya dia menghukum diri sendiri, nah kalo di negeri kita kan susah ya? disebut korupsi aja susah,” pungkasnya.