Menagih “Negara Hadir” Untuk Anak Buruh Migran
“Cari kerja semakin susah, di kampung mau kerja apa? Mau sukses, makanya kerja ke luar negeri.”
Begitulah sekelumit rayuan para makelar pencari tenaga kerja ke luar negeri menggaet ‘mangsanya’. Dengan iming-iming mendapat pekerjaan yang layak dan penghasilan yang tinggi telah menyihir ribuan orang berbondong-bondong menjadi tenaga kerja ke luar negeri. Ada yang ke Arab Saudi, Singapore, Taiwan, Korea, dan Malaysia. Namun yang cenderung menjadi pilihan mereka adalah Malaysia. Kedekatan budaya dan lokasi geografis Malaysia yang masih ‘sepetak’ dengan Indonesia, menjadi suatu alasan memilih Malaysia.
Data statistik ekonomi keluarga Indonesia kuartal kedua menunjukkan jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia sebanyak 1,94 juta (Bank Indonesia dan BNP2TKI 2014). Sejalan dengan itu, Kasi Analisis dan Evaluasi Kementerian Luar Negeri RI, Bonifosius Agung Nugroho, menyatakan saat ini terdapat 2,6 juta warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di Malaysia. Sebanyak 1,1 juta orang yang legal. Sisanya 1,5 juta illegal. TKI ada 1,94 juta. Sementara, jumlah anak TKI usia sekolah di Sabah ada 53 ribu dan di Serawak ada 3.800 anak (Kebumenekspres.com, 29/8/2015).
Meski tidak dapat dipungkiri, kehadiran tenaga kerja ke Malaysia juga berjasa dalam mengisi pundi-pundi devisa negara Indonesia, namun masalah lain juga kemudian timbul. Bukan hanya soal keruwetan masalah ketenagakerjaan dan keimigrasian, tetapi juga pendidikan anak-anak buruh migran.
Kita tidak dapat menutup mata, bahwa dari 20 ribu anak- anak buruh migran hanya sekitar 800 anak yang bisa mencicipi pendidikan. Meski hanya di sekolah non-formal, yang lazim disebut Community Learning Center (CLC). Ironisnya, Pemerintah Malaysia hanya meluncurkan izin pendirian CLC di dalam ladang. Padahal, definisi ladang di sini, ialah perkebunan kelapa sawit. Itu artinya, hanya segelintir anak-anak buruh migran yang dapat menikmati CLC. Sedangkan, anak-anak buruh di perkebunan sayur mayur atau lainnya, hanya bisa gigit jari.
Masalah lain, mengenai fasilitas dan akses ke lokasi CLC. Mereka yang ‘beruntung’ bisa sekolah itu, harus menempuh berjam-jam perjalanan menggunakan lori. Belum lagi, kondisi CLC yang masih sangat minim akan tenaga pengajar dan penunjang belajar. Satu orang guru dapat mengajar beberapa kelompok kelas dalam satu waktu. Mereka hanya dipisahkan punggung badan yang menjadi sekat.
Di suatu tempat lain, ratusan bahkan ribuan anak-anak belia tidak kalah ironis. Mereka bercucuran keringat bekerja di perkebunan. Mereka adalah sekumpulan yang tidak seberuntung anak-anak buruh migran yang bisa sekolah. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang sudah harus menghadapi peliknya urusan rumah tangga karena pernikahan dini.
“Negara hadir” dalam Nawacita
Masih segar diingatan kita, sebuah janji yang dilontarkan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla beberapa waktu silam. Sebuah jalan yang digagas sebagai prioritas perubahan Indonesia yang mempunyai kedaulatan secara politik, mandiri secara ekonomi serta berkepribadian dan berkebudayaan itu, diberi nama Nawacita.
Dari 31 agenda yang disuguhkan, akhirnya disarikan menjadi 9 agenda prioritas. Dengan menggaungkan tagline “negara hadir”, Nawacita digadang-gadang dapat menyelesaikan berbagai persoalan Indonesia yang ada. Di antaranya adalah permasalahan untuk memperjuangkan nasib para “Pahlawan devisa negara”. Begitulah, sebutan yang nyaring terdengar di telinga kita pada TKI.
Agenda yang menjadi sorotan ketika bicara soal TKI, adalah butir pertama Nawacita. Janji itu membisikkan bahwa Jokowi-JK akan menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Janji akan melindungi hak dan keselamatan warga negara Indonesia di luar negeri, khususnya pekerja migran, katanya.
Pada butir kelima, juga disebutkan bahwa Negara akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Di antaranya dengan langkah peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan “Indonesia Pintar” dengan menjamin bebas biaya pendidikan 12 tahun. Juga wacana revolusi mental dalam pendidikan yang digulirkan dengan memfokuskan pendidikan kewarganegaraan dan patriotisme. Di sini jelas, Nawacita mengisyaratkan bahwa ‘negara hadir’ untuk para buruh migran beserta anak-anaknya yang di dalam mereka mengalir darah Indonesia.
Hak Anak Buruh Migran
Lalu bagaimanakah hak-hak anak buruh migran dilihat dari kacamata Nawacita? Anak-anak buruh migran yang bekerja di Serawak Malaysia adalah juga manusia Indonesia yang disebutkan dalam Nawacita. Sehingga hak mereka serupa untuk dilindungi keamanan dan keselamatannya. Mereka tak sepantasnya dilepas untuk bekerja di perkebunan sawit atau semacamnya, bergelut dengan panas dingin serta bahaya yang mungkin mengancam. Harus ada payung hukum yang dijalankan secara tegas, untuk perlindungan kerja anak-anak di bawah umur.
Mereka juga berhak untuk memperoleh fasilitas pendidikan yang merata dan bermutu. Jaminan sekolah 12 tahun itu harus benar-benar terealisasi. Pemerintah dengan menggandeng berbagai pihak terkait harus bekerja ekstra keras untuk meng-goal-kan pembangunan fasilitas pendidikan di Malaysia hingga tingkat lanjut. Ketersediaan guru berkualitas juga harus segera menjadi perhatian Pemerintah.
Sebagai satu kesatuan Bangsa Indonesia, mereka juga berhak mendapatkan pendidikan tentang nasionalisme dan patrionalisme Indonesia. Jangan sampai mereka seperti kacang lupa kulitnya. Mereka lupa dari mana mereka berasal, akhirnya melupakan Indonesia sebagai bumi pertiwi yang menitiskan darah Indonesia. Maka, selama program Nawacita tersebut belum sampai di tanah Serawak Malaysia, adalah hak anak-anak buruh migran untuk terus menggemakan suara, menagih janji “negara hadir” untuk mereka. [Nurul Nur Azizah]