Awas Cyberbullying Sebabkan Kematian!
Oleh: Reza Agung Pratama*
“On Friday morning my daughter was found hanged, last night I seen her Ask fm account and someone had been telling her to die,” begitu tulis Dave Smith pada laman Facebooknya setelah menemukan fakta mengejutkan tentang kematian anaknya, Hannah Smith.
Jumat, 2 Agustus 2013 lalu, dunia digemparkan dengan anomali kematian seorang remaja berumur 14 tahun asal Lutterworth, Leicestershire yang diduga bunuh diri setelah mendapat banyak cacian dari akun anonim di salah satu media sosial. Dilansir dari theguardian, Sabtu (06/08) 2013, kisah ketir itu dimulai ketika Hannah mulai mendapat pesan mengganggu di akun ask.fm– nya.
Ask.fm sendiri merupakan sebuah website media sosial yang memungkinkan para penggunanya saling bertanya tentang apapun, dari sekadar salam sapa hingga pertanyaan bersifat pribadi. Ask.fm pun memiliki fitur anonim yang dapat menyembunyikan identitas si penanya. Namun sayangnya fitur itu sering disalahgunakan oleh para penanya iseng (troll). Ada yang memiliki tujuan “main-main” saja, hingga paling parahnya dengan tujuan menindas orang tertentu, atau lebih populer disebut bullying.
Penindasan itulah yang didapatkan di laman akun Hannah ketika muncul banyak pernyataan bernada keji seperti “Mengapa kamu tidak bunuh diri saja?, tidak ada yang peduli padamu” ataupun “Kamu jelek sekali”. Bahkan Hannah pernah mendapat makian seperti “Pamanmu pantas terkena kanker dan mati,” sekalipun Hannah berani membalas pernyataan-pernyataan tersebut, nyatanya tidak cukup untuk membuat Hannah mengurungkan niatnya itu. Ditemukan di kamar kakaknya, Jo —sebuah pesan berisi ungkapan depresi Hannah terhadap penindasan tersebut “I wonder if it’s ever going to get better,” dilansir dari reporter The Mirror.
Seolah-olah menjadi pengingat bahwa dunia telah menjadi begitu cyber sampai-sampai kriminalitas pun terangkum dalam wujud digital. Media sosial bagaikan telah menyentuh titik puncaknya. Kini banyak bermunculan media sosial baru yang menjadi tren di kalangan remaja, penyebarannya pun bagaikan virus, orang-orang banyak membicarakannya, dan ketika masyarakat tidak ikut arus utama, maka katakanlah selamat tinggal terhadap julukan “gaul.” Mengambil data yang diperoleh socialmediatoday.com, pengguna media sosial telah mencapai 2.206 Miliar pengguna aktif, yang merupakan 30% dari statistik populasi dunia. Bahkan fakta mencengangkan menyebutkan bahwa 12 orang membuat akun sosial setiap detik, yang berarti penambahan satu juta orang pengguna setiap harinya. Tak heran, jika nantinya setengah populasi dunia akan menjadi masyarakat digital dalam waktu dekat ini, jumlah yang cukup untuk membuat kita waspada akan berubahnya pola pikir masyarakat modern.
Mengacu pada kasus Hannah Smith, banyak bermunculan pendapat yang cenderung menyalahkan media sosial sebagai sistem yang salah. Kematian Hannah seolah merupakan kesalahan Ask.fm sepenuhnya yang menawarkan sistem anonim sehingga polisi tidak dapat melacak tersangka. Dilansir dari theguardian, Philip Parsons, dari Southport, juga menulis di Change.org: “When does the freedom of the internet become a cancer that destroys lives? Websites like this need to be taken down immediately. The governments need to get serious about the cyberbullying issues across the globe. RIP.”
Sekalipun menuai banyak dukungan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Ask.fm hanyalah segelintir media sosial di antara ratusan media sosial lain yang memiliki kasus sama, sebut saja nama Megan Taylor, Phoebe Prince, Amanda Todd, Katie Webb, Jade Stringer, dan mungkin banyak nama lain yang belum terekspos yang bunuh diri akibat Facebook, Ask.fm, dan Twitter. Untuk itu, sepertinya adalah hal yang mustahil untuk menutup sistem media sosial tanpa menyinggung 30% masyarakat dunia.
Mungkin nama-nama di atas tidak seperti nama orang Indonesia layaknya Surti dan Tejo dan selidik punya selidik ternyata memang jelas bukan orang Indonesia. Lalu apa yang perlu kita khawatirkan kalau begitu?
Perlu dicatat bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia merilis hasil survei berjudul Profil Terkini Internet Industri Indonesia, yang dipublikasi di Jakarta, Jumat (17/01/2014), didapatkan fakta bahwa pada tahun 2013 lalu pengguna internet Indonesia menembus angka 71 juta orang. Itu hasil data tiga tahun lalu, entah peningkatan seperti apa yang terjadi akhir-akhir ini, tetapi itu membuktikan bahwa Indonesia telah menyumbang banyak partisipan dalam dunia digital. Merujuk pada data tersebut kita dapat melihat betapa potensialnya Indonesia sebagai negara yang dapat melakukan cyberbullying terbanyak di dunia.
Moral pengguna medsos Indonesia pun belakangan ini dipertanyakan. Tiga bulan yang lalu, April, seorang ayah meninggal akibat serangan jantung karena tak tahan menerima cacian pengguna internet (netizen) terhadap anaknya Sonya Depari. Kejadian tersebut ditengarai oleh video Sonya Depari yang menolak ditangkap polisi ketika merayakan kelulusan SMA dengan ricuh dan mencatut nama Deputi Penindakan Badan Narkotika Nasional (BNN), Arman Depari. Seketika kritik bernada pedas mencuat dari mulut para netizen yang beberapanya cenderung menghina secara keterlaluan.
Mengubah sistem terbukti lebih sulit dibanding mengubah penggunanya. Bagaikan peribahasa “Buruk Muka Cermin Dibelah,” kebanyakan masyarakat lebih sering menyalahkan sistem ketimbang introspeksi terhadap dirinya sendiri. Masyarakat masih menutup mata akan pentingnya kecakapan bermedia, alih-alih menerapkan sopan santun dalam membalas komentar publik, kata kasar seperti anj*ng, g*blog, hingga pernyataan berbau SARA sering terlontar menyerang subjek tertentu. Melihat fakta yang seperti itu, jangan-jangan orang terdekat kita sempat berpikir untuk bunuh diri? Bagaimana jika kita menemukan mereka menggantung diri di kamarnya?
Untuk itu pemerintah perlu meningkatkan kemampuan bermedia pengguna medsos di Indonesia dengan pendidikan literasi media, ironisnya di era digital seperti ini pendidikan semacam itu masih minim di pendidikan formal. Padahal dibutuhkan kesiapan dan mental yang cukup untuk menghadapi era tersebut. Bukan hanya kesiapan mental, melainkan pemahaman hukum dan etika bermedia yang tercatat dalam peraturan negara juga patut dipelajari.
Menanggapi minimnya pengetahuan tentang media literasi khususnya cyberbullying, telah muncul beberapa gerakan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang peduli terhadap masalah itu. Sabtu, 28 Juni 2016 lalu beberapa mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi UPI yang menamai dirinya Smart Media Forces sempat menyelenggarakan seminar tentang media literasi yang bertemakan “Waspada Cyberbullying” di SMK 45 Lembang.
Pemateri seminar tersebut diisi oleh mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi sendiri yang terdiri dari angkatan 2014. Mereka memaparkan pengalamannya dalam literasi media, etika bermedia, dan dampak dari media. Dengan memanfaatkan fungsi tutoring juga, mereka secara persuasif menghimpun siswa SMK 45 Lembang untuk berani bicara tentang kasus cyberbullying yang mereka hadapi. Selain itu Smart Media Forces juga mlakukan simulasi untuk menemukan solusi bagi cyberbullying.
Mawaddah Nuwairiyyah, salah satu pemateri dalam seminar tersebut menyampaikan bahwa golongan muda seperti mahasiswa harus lebih peduli terhadap literasi media karena dalam segi bermedia, pengguna internet Indonesia masih tergolong lemah dalam beretika. ”Masyarakat harus sadar perannya di media,” tuturnya pada saat seminar berlangsung.
Sekali lagi, bukanlah sistem yang patut untuk disalahkan, melainkan masyarakat yang harusnya turut berperan menjaga etika dalam bermedia sosial.
*Reza Agung Pratama, Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2014